Napoleon adalah film epik sejarah karya sineas kawakan Ridley Scott yang naskahnya ditulis oleh David Scarpa. Film ini dibintangi oleh Joaquin Phoenix, Vanessa Kirby, serta Tahar Rahim. Scott seperti sebelumnya juga membawa kru regulernya, sebut saja Dariusz Wolski (kamera), Claire Simpson (editor), hingga Janty Yates (kostum). Film ini merupakan produksi Apple Studios yang tak lama lagi bakal dirilis dalam platform streaming Apple TV+. Melihat sosok nama besar titelnya dan sentuhan sang sineas, mampukah Napoleon bersaing dengan film-film kolosal berkualitas sebelumnya, seperti Gladiator hingga Kingdom of Heaven?
Berlatar tahun 1793, ketika Perancis berada di ambang revolusi besar-besaran. Cerita dibuka dengan adegan pemenggalan kepala ratu Marie Antoinette di muka publik sebagai simbol runtuhnya monarki. Dikisahkan setelah jasa besarnya dalam pengepungan di Toulon, Napoleon Bonaparte (Phoenix) diangkat menjadi brigadir jendral. Dalam pergaulan barunya di level atas, ia pun mengenal janda aristokrat, Josephine (Kirby) yang tak lama ia nikahi. Kisahnya berkembang lebih luas ketika Napoleon mulai mengambil kekuasaan tertinggi di Perancis, aksi-aksinya sebagai pemikir taktik perang yang ulung, hingga liku-liku hubungannya dengan Josephine.
Untuk urusan sejarah, harus diakui bahasan ini memang di luar kompetensi penulis yang hanya tahu secuil tentang sosok besar ini. Tawaran kisah yang dipaparkan memang terlihat ringkas yang tak akan mampu mewakili kisah hidup Napoleon secara utuh. Plotnya berjalan teramat cepat yang tampak sekali memangkas cerita dengan terfokus pada momen-momen penting bagi sang tokoh. Plotnya didominasi intrik politik kekuasaan hingga pasang surut hubungan Napoleon dengan Josephine. Di luar ini adalah aksi-aksi kolosal yang mampu mengalihkan kisahnya dari rasa bosan yang luar biasa.
Untuk urusan ini, sang sineas memang adalah jagonya. Sulit membedakan, mana aksi kolosal yang menggunakan sentuhan efek visual dan mana yang nyata karena aksi perangnya begitu natural. Satu pertempuran pamungkas yang tersohor di Waterloo, disimpan sebagai aksi klimaks yang heboh. Seperti Gladiator dan Heaven, Scott mampu menyajikan aksi dan strategi perang berskala besar dengan begitu mengesankan. Aksi-aksi inilah yang membuat kisah filmnya hidup dan bergerak maju. Sinematografer kawakan, Dariusz Wolski (kolaborator Scott dalam Prometheus, Exodus, dan The Martian) mampu menangkap momen-momen aksinya dengan terukur melalui lensa kameranya.
Untuk urusan akting, dua tokoh yang paling dominan hanyalah Phoenix dan Kirby. Ibarat puluhan karakter lainnya hanya sekilas muncul tanpa ada sesuatu yang membekas. Phoenix pun, hanya melanjutkan kisahnya sebagai sang kaisar (Gladiator) ke “kaisar” lainnya tanpa ada satu penampilan pun yang menggigit seperti perannya dulu. Kirby sebagai sang permaisuri justru terlihat lebih baik walau perannya tak cukup banyak waktu untuk mengolah perannya lebih dalam. Chemistry keduanya yang seharusnya punya peran lebih dalam plotnya terasa kurang menghentak. Entahlah, apa mungkin karena keduanya bukan orang asli Perancis? Faktor bahasa bisa jadi penyebab walau ini minor.
Di luar capaian aksi kolosal yang mengesankan, Napoleon bukan karya terbaik sang sineas, namun bukan pula yang terburuk. Tak banyak yang kita dapatkan dari sisi cerita karena kerumitan intrik politiknya. Kisahnya bisa jadi bakal lebih mudah dinikmati bagi orang yang sudah tahu betul kisah hidup sang tokoh. Dari berita dan ulasan yang ada, akurasi sejarah yang abai konon menjadi minus. Ini tentu satu hal di luar konteks bahasan artikel ini. Setidaknya, Ridley Scott, di usia uzurnya masih mampu menyajikan aksi-aksi kolosal demikian memikat. Walau harus diakui, Gladiator dan Kingdom of Heaven jauh lebih memikat dan menghibur ketimbang karyanya ini. Kita tunggu kelak, sekuel Gladiator yang kini tengah dalam pengerjaan.