The Chronicles of Narnia: The Voyage of the Dawn Treader (2010)

113 min|Adventure, Family, Fantasy|10 Dec 2010
6.3Rating: 6.3 / 10 from 168,870 usersMetascore: 53
Lucy and Edmund Pevensie return to Narnia with their cousin Eustace where they meet up with Prince Caspian for a trip across the sea aboard the royal ship The Dawn Treader. Along the way they encounter dragons, dwarves, merfolk, a…

Beberapa tahun setelah kejadian di seri kedua, Lucy (Henley) dan Edmund (Keyness) yang kini bertambah dewasa kini bersekolah di London. Sementara kedua kakak mereka, Harry dan Susan bersekolah di Amerika. Lucy dan Edmund mengeluhkan kehidupan keseharian mereka yang membosankan jauh dari masa-masa indah petualangan mereka di Narnia. Sampai suatu ketika mereka berkesempatan kembali masuk ke Narnia, kali bersama sepupu mereka Eustace (Will Poulter).

Seperti sebelumnya konon seri film Narnia hingga yang ketiga ini loyal dengan novelnya. Terlepas seperti apapun novelnya, hingga seri yang ketiga ini tidak menawarkan sesuatu yang istimewa. Baik novel maupun filmnya memang lebih ditujukan untuk anak-anak. Mereka yang bisa menikmati film ini lebih baik. Bagi penonton dewasa, bisa diibaratkan film ini berakhir sesaat film ini bermula, sama seperti dua seri sebelumnya. Kisah filmnya hanya mengusik kita di awal filmnya namun setelah tokoh-tokohnya melompat ke negeri Narnia, konflik yang ada setelahnya hanyalah menjemukan belaka. Membosankan. Boleh dibilang film ini sebenarnya tidak memiliki konflik selain konflik dalam diri karakternya masing-masing tanpa substansi cerita yang mendalam.

Baca Juga  Glass

Berbeda dengan seri sebelumnya kali ini yang mencuri perhatian adalah karakter Eustace yang diperankan menawan oleh Will Poulter. Akting sang aktor cilik yang sinis dan menyebalkan justu mendapat tempat tersendiri ketimbang karakter Lucy, Edmund, hingga Kaspian. Boleh dibilang jika tak ada karakter ini film ini sama sekali tidak menghibur dari segi cerita.

Seri ketiga ini yang menggunakan format 3D jelas menawarkan pencapaian visual yang mengagumkan ketimbang dua seri sebelumnya. Separuh setting cerita yang berada di kapal dan lautan semakin mendukung efek 3D-nya. Pencapaian efek visual sangat menawan misalnya tampak pada lautan yang terbelah di pantai batas negeri Aslan. Efek visualnya sungguh-sungguh tampak nyata dan mengagumkan.

Narnia seri ketiga ini secara umum tidak menawarkan sesuatu yang baru selain efek 3D-nya. Sayang sekali, sebenarnya kisah filmnya memiliki potensi lebih untuk digali lebih dalam. Sosok singa bijak, Aslan sebenarnya bisa disandingkan dengan sosok Gandalf atau Yoda jika kisahnya digarap lebih dalam. Seri Narnia memang berbeda dengan seri Harry Potter atau Lord of the Ring, film ini semata-mata hanyalah film anak-anak. Go on enjoy the movie kids! (C)

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaRapunzel (Tangled)
Artikel BerikutnyaBuried
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.