ne zha 2

Ne Zha 2 adalah sekuel dari Ne Zha (2019) yang masih digarap dan ditulis naskahnya oleh Jiaozi. Film ini masih diadaptasi dari novel yang rilis di abad 16 berjudul Investiture of the Gods yang ditulis Xu Zhonglin. Ne Zha yang hanya berbujet USD 22 juta, namun meraih lebih dari USD 740 juta! Tentu ini adalah satu  pencapaian yang sangat fenomenal. Kini, bermodal bujet USD 80 juta tentu memberikan ekspektasi yang sangat tinggi. Faktanya, hingga ulasan ini ditulis, Ne Zha 2 telah meraih USD 2 milyar!! Nezha 2 saat ini tercatat sebagai film animasi terlaris sepanjang sejarah. Akankah ini lantas menjadikan sekuelnya ini melampaui kualitas film pertamanya?

Plotnya melanjutkan kisah seri pertamanya, di mana warga Chentang didukung sang jendral dan istrinya, serta pendeta Taiyi, berupaya untuk memberikan raga pada Ne Zha dan Ao Bing melalui ritual bunga lotus suci. Di saat bersamaan, raja naga yang percaya jika putranya (Ao Bing) tewas, mengerahkan seluruh pasukannya untuk mengepung Chentang. Pada saat genting, Ne Zha mendapatkan raganya kembali, namun tidak bagi Ao Bing karena bunga lotus dirusak. Mengetahui jiwa putranya masih hidup, raja naga pun memberikan waktu beberapa hari agar Taiyi dan Nezha mampu mengembalikan raga putranya. Niat Taiyi adalah menjadikan Ne Zha seorang dewa melalui tes di kerajaan langit sehingga mendapat akses untuk mendapatkan ramuan pemulih bunga lotus yang rusak.

Untuk memudahkan memahami plot sekuelnya, ada baiknya jika kalian menonton film pertamanya terlebih dulu. Sekalipun pada pembuka terdapat narasi eksposisi, namun tetap saja latar karakter, relasi antar tokoh, hingga selera humor pun punya kaitan erat dengan sekuelnya. Dibandingkan plot Ne Zha, sekuelnya kini bertambah rumit dengan hadirnya banyak karakter baru serta intrik-intrik “politik” terselubung dari pihak antagonis. Penggunaan bahasa Tiongkok yang mengharuskan penonton membaca teks, tidak lantas membuat kita langsung paham karena tempo dialog yang cepat. Pemahaman cerita film pertama adalah satu solusi ringkas untuk membantu menikmati film sekuelnya. Kelemahan minor film sekuelnya hanyalah pada aspek ini saja.

Baca Juga  Guy Ritchie's The Covenant

Satu pencapaian besar yang jauh dari seri pertamanya adalah aspek visual. Bujetnya yang berlipat, kini sungguh-sungguh terbayar dengan pencapaian gambar yang sangat fantastis. Nuansa lokal terasa kental dalam gaya animasinya dengan tingkat kehalusan gambar yang menyamai bahkan melebihi film-film animasi besar di Barat sana. Warna-warnanya juga lebih terasa soft dan natural ketimbang film pertamanya. Visualisasi aksi pertarungan antar dewa yang mendominasi paruh kedua, sangat nyaman di mata dengan beberapa aksi kolosal level dewa yang begitu memesona. Visualisasi segmen klimaksnya sungguh sangat memuaskan, bahkan untuk pencapaiannya saya lebih memilih ini ketimbang dua seri Avatar.

Satu lagi perbedaan adalah selera humornya yang kini lebih berkelas. Humornya, kini tidak banyak dipaksakan seperti seri pertama yang sering terlihat mengada-ada. Satu contohnya adalah ketika Ne Zha di antar ke toilet di istana kayangan dan ia pun mempertanyakan banyak hal, mengapa dewa masih harus buang air kecil. Lelucon pun tidak sampai di sini, hingga sang bocah rupanya buang air di tempat yang salah. Hingga mid credits scene pun, selera humornya justru bekerja semakin menjadi. Saya boleh katakan, ini adalah (ending) credits scene terbaik yang pernah saya lihat sepanjang sejarah menonton film. Saya tidak bisa membayangkan betapa riuh tawa penonton, jika seisi bioskop penuh.

Melalui visual dan kisah lokalnya, Ne Zha 2 adalah pencapaian animasi terbaik di luar produksi studio barat yang selama ini mendominasi. Tak heran, jika film ini ditonton berulang kali karena pesona visualnya. Akhirnya dan seperti sudah diduga, negeri Tiongkok mampu mengambil-alih kejayaan industri film Barat, setidaknya ranah animasi. Terbukti potensi penonton lokal memiliki jumlah yang fantastis jauh melebihi jumlah di AS. Ne Zha 2 menjadi tonggak sejarah baru baru bagi industri film di dunia, khususnya Tiongkok. Semoga ini diikuti pula dengan film live action-nya yang rasanya tinggal menanti waktu untuk bisa sukses secara global. Untuk membuktikan kalian harus menonton filmnya sendiri sebagai saksi sejarah akan dinamika seni film yang terus berkembang.  

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaSnow White | REVIEW
Artikel BerikutnyaA Working Man | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses