Film horor ini disutradarai oleh Erwin Arnada, yang menyutradarai film-film, seperti Rumah di Seribu Ombak (2012) dan Guru Ngaji (2018). Pengalamannya memproduksi film horor telah ia rintis ketika menjadi produser dan penulis naskah Tusuk Jelangkung (2002) dan Jelangkung 3 (2007). Kali ini, sang sutradara mengambil kisah tentang legenda hantu Nini Thowok (Jelangkung yang berisi roh perempuan). Setidaknya tema ini cukup fresh untuk diangkat menjadi film horor. Kisah legenda Nini Thowok ini juga sebelumnya pernah diangkat dalam film dengan judul Nini Towok (1982). Walaupun demikian tidak ada kesamaan cerita maupun sebuah remake.

     Film ini bercerita tentang Nadine (Natasha Wilona) yang menerima warisan sebuah hotel tua bernama Mekar Jiwo di Kota Solo. Nadine menerima warisan tersebut dari Neneknya yang baru saja meninggal. Ayah dan Ibunya telah tiada, hanya ia bersama adik perempuannya, Naya (Nicole Rossi). Dari Jakarta, Nadine akhirnya pindah ke hotel tersebut dan mengelolanya, dibantu oleh tunangannya. Di hotel tersebut konon ada satu kamar yang tidak boleh dibuka. Nadine memaksa untuk masuk meski Mbok Girah sebagai tetua pelayan di hotel tersebut bersikeras menolaknya. Karena rasa penasaran serta adanya beberapa kejadian aneh, Nadine nekad untuk masuk dan menemukan hal-hal aneh setelahnya.

     Sang sineas mengemas kisahnya menarik dengan memanfaatkan setting terbatas pada hotel tua tersebut. Plot filmnya hanya terfokus pada aktivitas yang terjadi di hotel tersebut. Pada awal cerita, penonton telah digiring dengan baik ke misteri kamar terlarang, namun sayangnya sineas tidak mampu mempertahankan intensitas cerita sejak kamar dibuka. Misteri cerita menjadi mudah terpecahkan dan fokus cerita beralih pada eksplorasi penampakan sosok hantunya, seperti film-film horor umumnya. Mitos mengenai Nini Thowok sendiri kurang dieksplor dengan baik, serta hanya terjebak pada kisah latar belakang sejarah pemilik bangunan lama tersebut. Beberapa kejanggalan terdapat dalam konflik cerita yang dibangun. Misalkan saja, Naya yang menghilang secara tiba-tiba, tidak ada kejelasan mengapa ia bisa berada di pasar loak. Adegan ini pun sebenarnya adalah titik klimaks yang tidak menunjukkan efek ketegangan berarti karena terlalu cepat prosesnya.

Baca Juga  Sunya

     Satu aspek teknis yang menarik dalam film ini sebenarnya adalah pengambilan gambar yang mapan dengan tempo lambat dan tidak tergesa-gesa. Sayangnya, ini hanya terdapat dalam segmen-segmen awal saja. Ketika sang nenek masih hidup, adegan-adegannya berkesan mistis dan penuh misteri. Dengan penekanan visual, sang sineas berusaha membangun adegan per adegan yang memiliki sebuah makna. Amat disayangkan, pendekatan ini tidak mampu konsisten dibangun sepanjang filmnya.

     Walaupun kisah Nini Thowok terbilang fresh ketimbang film-film yang beredar saat ini, namun sang sineas tidak mampu mengolah cerita menjadi sebuah film yang membuat bulu kuduk kita merinding. Menakuti penonton melalui sosok seram dan efek suara/musik seolah menjadi formula umum dalam film horor kita, tanpa mampu bisa diimbangi dengan cerita yang kuat. Kisah-kisah lokal seperti Nini Thowok dalam mitologi masyarakat Jawa ini, sebenarnya bisa dieksplor lagi menjadi tema dengan kisah yang amat menarik. Beberapa usaha adaptasi kisah-kisah lokal yang diangkat dari berbagai daerah juga sudah dilakukan dalam beberapa film, namun hasilnya masih belum juga memuaskan, padahal kisah-kisah ini sebenarnya memiliki potensi besar.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaTomb Raider
Artikel BerikutnyaBlack Panther Tembus US$ 1 Milyar!
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.