Kian banyak film-film baru yang dibuat berdasarkan karya-karya dari era klasik Indonesia, terutama serial televisi. Salah satunya ialah Noktah Merah Perkawinan arahan Sabrina Rochelle Kalangie ini. Sutradara debutan yang baru kali kedua ini mengarahkan film panjang, setelah Terlalu Tampan tiga tahun lalu. Skenarionya ia tulis bersama Titien Wattimena, dengan rekam jejak variasi karya-karya dramanya. Tiga pemain sentral dalam film drama keluarga produksi Rapi Films ini antara lain, Oka Antara, Marsha Timothy, dan Sheila Dara Aisha. Kemudian dengan salah seorang pemeran dari serial televisinya, Ayu Azhari. Melihat faktor kedekatan antara kisah dalam film ini dengan masyarakat muda hari ini, apakah masih relevan?

Pernikahan dengan usia 10-11 tahun bukan lagi muda bagi pasangan Gilang (Oka) dan Ambar (Marsha). Jika ada perkara yang menyebabkan pertengkaran hebat di sana, anak paling besar yang tengah beranjak remaja pasti bisa merasakannya. Keharmonisan Gilang dan Ambar sedang terombang-ambing. Komunikasi yang buruk, ditambah lagi campur-tangan pihak luar, para mertua. Dalam kondisi rumah tangga yang tidak baik-baik saja ini, hadirlah sosok Yuli (Sheila). Perempuan asik, seru, supel, ramah, dan disukai kedua anak Gilang dan Ambar.

Kerja bagus untuk Noktah Merah Perkawinan dari banyak sisi. Kendati ide cerita berupa problematika komunikasi dalam internal rumah tangga dan perselingkuhan bukanlah barang baru. Tahun 2019 misalnya, kita pernah disuguhi oleh Wedding Agreement. Namun, eksekusi yang elegan dari Sabrina tetap berhasil mengajak penonton turut larut dalam cerita. Sang sineas paham betul kelawasan topik dalam film ini. Alhasil, ia masukkan logika-logika sederhana dalam permasalahan rumah tangga usia 10-11 tahun, agar konflik-konflik yang tercipta tetap masuk akal. Beberapa kali bahkan tak ingin muluk-muluk dalam membius penonton, tanpa melupakan detail-detail kecil interaksi antarpersonalnya.

Trio pemain inti dalam film ini, Oka, Marsha, dan sang selingkuhan, Sheila, pun bermain apik lewat peran masing-masing. Kontradiktif pemikiran dan tindakan antara Gilang dan Ambar tersampaikan dengan baik melalui permainan keduanya. Begitu pula dengan kehadiran sosok Yuli. Boleh jadi sebab Noktah Merah Perkawinan tak melibatkan terlalu banyak orang, kita pun dapat berlama-lama mengikuti setiap tindakan para tokoh sentralnya. Apalagi, para penulis membuat skenarionya begitu padat masalah, sehingga jarang membiarkan perhatian penonton terlempar ke hal lain. Pengetahuan Oka dalam memahami sosok Gilang juga amat kentara. Di mana tokoh tersebut merupakan seseorang yang memiliki banyak lapisan masalah, tetapi di sisi lain harus tetap terlihat baik-baik saja.

Baca Juga  Cinta Pertama, Hanya Mengejar Romantisme

Sabrina dan Titien sudah berhati-hati dalam mengolah skenario Noktah Merah Perkawinan. Sang sineas lantas beranjak ke detail-detail sinematik yang penting. Salah satunya ialah bagaimana ia memperhatikan sejumlah bagian yang penting untuk ditampilkan visualnya. Bahkan gambar-gambar awal yang membuka film ini pun sudah menyiratkan banyak hal. Termasuk seperti kondisi cerita beserta para tokohnya yang dimulai dengan situasi tidak baik-baik saja. Cukup dengan gambar-gambar pembuka. Terkadang barangkali kita akan merasakan tempo yang melambat, tetapi tak berselang lama diikuti dengan ketegangan baru dan tensi yang meningkat. Teriringi dengan musik-musik dengan penempatan dan volume yang tepat.

Ihwal unsur musiknya, Noktah Merah Perkawinan tak bermain terlalu berlebihan. Musik-musik yang dihadirkan menempati posisi-posisi yang sudah seharusnya. Bahkan tanpa merasa perlu, untuk berusaha memenuhi bagian lain yang sekiranya lebih baik dibiarkan hanya diisi oleh dialog dan suara atmosfer. Jelas ini merupakan salah satu keputusan tepat dalam mengelola penempatan musik dalam Noktah Merah Perkawinan. Salah sedikit saja dan mengakibatkan musiknya terlalu berlebihan, maka akan berakhir sama seperti Miracle in Cell No. 7. Dramatis, tetapi berlebihan karena terlalu menggelegar.

Meski dari serial televisi rilisan lawas, Noktah Merah Perkawinan mengantongi trik-trik tersendiri agar dapat diterima dengan baik oleh khalayak masa kini. Terlepas dari betapapun sang sineas mengolah aspek sinematik Noktah Merah Perkawinan, kesederhanaan penulisan skenarionya yang solid, dekat, relevan, dan masuk akal tetap yang paling banyak mencuri perhatian. Sang sineas memahami dengan baik kelemahan cerita yang dikerjakannya, sehingga ia memasukkan logika dan trik khusus untuk membuat Noktah Merah Perkawinan lebih mapan.

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaEmily the Criminal
Artikel BerikutnyaLara Ati
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.