nostalgia

Tak semua film pada akhirnya meninggalkan bekas-bekas antusiasme di benak penonton—menjelma sebuah blockbuster yang mengantongi daya magnet yang kuat. Tak semua film dapat ditonton dengan maksud merobek lembar-lembar kelelahan dari aktivitas keseharian kita. Film tak melulu berada pada pengartian umumnya yang kita ketahui—tak bisa terus-menerus menjadi media hiburan. Bila kalian mencari film yang dapat menyerap kelelahan atau kebosanan kalian, maka Nostalgia bukanlah jawabannya. Begitu pula jika kalian ingin menonton film yang mengandung berjuta-juta kalimat motivasi, Nostalgia tidak juga datang sebagai sebuah jawabannya. Butuh tenaga ekstra dan kesabaran yang memadai buat menguntit durasi demi durasi film ini. Karena gairah dan semangat di dalamnya, cenderung tersuling dan mengeras dalam gambar-gambar yang bergerak begitu pasif—yang mana kota dan langkah terasa sebongkah batu yang tak hanya sulit dipecahkan, tapi juga digerakkan.

Felice pulang setelah 40 tahun kehidupannya ia habiskan jauh dari kampung kelahirannya. Napoli tak lagi sama, demikian wajah ibunya. Ibunya semakin menua, sementara Napoli terasa baru sejak Felice terakhir kali meletakkan masa remajanya. Hanya satu yang menariknya kembali, yaitu ibunya. Entah keberuntungan atau tidak, ibunya meninggal seiring dirinya memunguti nostalgia di kotanya, di kampungnya, di sebuah rumah yang sulit dikenalnya lagi. Kepergian ibunya seharusnya memutus tali antara Felice dan Napoli. Tetapi sebuah pertemuan kecil di kafe dengan Raffaele—seorang tua yang pada masanya giat mengunjungi rumah Felice, menyulut bara masa lampaunya dengan salah seorang sahabatnya, Oreste. Pada saat itu juga, terjalin relasi antara Felice dan Don Luigi, seorang pastur. Ternyata bukan hanya Napoli saja yang dirasa berbeda oleh Felice, tetapi juga sahabat masa remajanya, Oreste. Oreste, yang disebut badman oleh masyarakat setempat, adalah ketua gangster di kawasan Napoli, dan Don Luigi, pastur itu, adalah musuh bebuyutannya.

Film ini disutradarai oleh Mario Martone, berdasarkan novel karya Ermanno Rea. Ditayangkan perdana pada Festival Cannes 2022, Nostalgia, diperankan oleh aktor karismatik Itali, Pierfrancesco Favino, Tomasso Ragno, serta aktris lawas Aurora Quattrocchi. Sebenarnya tak lebih juga tak kurang, Nostalgia berhenti pada tema nostalgia itu sendiri. Namun ada bumbu-bumbu yang berusaha dihadirkan untuk diserap—yang menjadi dasar daripada alasan-alasan Felice agar tetap di Napoli, mulai dari hasratnya menjumpai Oreste dan perkenalannya dengan Don Luigi. Hasrat dan relasi pertemanan yang baru tersebut mengkristal menjadi suatu yang tak cuma nostalgia, melainkan sebuah penawaran dari sebuah nostalgia yang liyan.

Baca Juga  Transformers: Rise of the Beasts

Nostalgia bukan The Godfather atau American Gangster yang tampil begitu riil dengan senjata dan konfliknya. Memang, embel-embel gangster mewarnai film ini. Tapi mereka hadir dengan nyala yang redup—tak gemerlapan layaknya baku tembak pada film-film gangster yang lainnya. Sehingga Nostalgia tak jarang jatuh pada keambiguan genrenya sendiri. Akhirnya yang benar-benar berhasil kita lacak dari beberapa tawaran yang ada pada film ini ialah cuman perjalanan Felice mendaki gudang-gudang masa lalunya. Hanya itu. Hanya nostalgia belaka. Sisanya, perseteruan Ereste dan Don Luigi, yang hanya dibahasakan lewat percakapan dan bukan penampakkan, berhenti sebatas alasan Felice menetap lagi di Napoli.

Mario Martone jelas tidak mengulurkan bantuan pada durasi tengah maupun akhir. Napoli dan segala keriuhannya, perseteruannya, nostalgianya, dijalankan dengan sonder intensitas. Tapi Nostalgia merupakan film yang baik. Film yang sadar. Ini yang sulit saya khianati. Kepasifan tempo diiringi dengan kesadaran memainkan cerita. Mario Martone tahu mana yang perlu dipoles dan mana yang perlu dibiarkan organik. Kesederhanaan tempo, plot, dan cerita yang cenderung tidak variatif, merupakan kelebihan dari Nostalgia. Dan segala yang di dalamnya juga bertumpu pada karakter sentral, yaitu Felice. Favino selaku aktor yang memerankannya, begitu mahir, semuanya datar, tak ada yang meledak-ledak dalam karakter yang ia mainkan—sehingga semua terasa begitu koheren. Antara plot dan tokohnya, terkadang canggung secara bersamaan, juga terkesiap secara bersamaan.

PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaHouse of the Dragon
Artikel BerikutnyaSlumberland
Azman H. Bahbereh, lahir dan besar di Singaraja, Bali. Saat ini menempuh pendidikan di Kota Malang. Kegemarannya menonton film telah tumbuh semenjak kecil ketika melihat tarian dengan iringan musik dari jagat sinema Bollywood, terkhusus Soni Soni Akhiyon Wali di film Mohabbatein. Selain menulis film-film yang ditontonnya, ia juga aktif menulis puisi dan bergiat di komunitas sastra yang ada di Kota Malang.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses