Officer Black Belt adalah film aksi kriminal produksi Korea Selatan arahan Kim Joo-Hwan. Film rilisan Netflix ini dibintangi oleh Kim Woo-bin, Kim Sung-kyun, Kim Yo-han, Kang Hyoung-suk, Cha Wang-hyeon, serta Lee Hae-young. Mampukah film berdurasi 109 menit ini memberikan sentuhan segar bagi tipikal plot genrenya yang telah banyak rilis di pasaran?

Di Korea Selatan, setelah seorang narapidana menyelesaikan hukuman penjara, mereka memiliki masa percobaan selama beberapa bulan yang diawasi oleh satuan tugas khusus layaknya polisi. Para tahanan tersebut dipasang alat deteksi gerak di kaki mereka yang dipantau dari kantor pusat. Para petugas ini memiliki resiko tinggi khususnya untuk para tahanan kambuhan. Cerita film ini terfokus pada fenomena kekerasan seksual pada perempuan maupun bocah cilik di Korea Selatan.

Lee Jung-do (Woo-bin) adalah seorang pemuda tangguh yang memiliki sabuk hitam untuk taekwondo, judo, dan Kendo. Di sela membantu restoran ayahnya sebagai pengantar makanan, suatu ketika Jung-do menolong seorang petugas khusus yang dianiaya seorang kliennya. Oleh karena jasanya, Jung-do pun ditawari untuk bekerja sementara menggantikan petugas yang cuti. Jung-do pun menemukan jati diri baru dalam pekerjaan yang amat menantang tersebut. Setelah beberapa kasus di lapangan, Jung-do dan seniornya, Kim (Sung-kyun) mendapat misi khusus untuk mengawasi seorang tahanan kelas kakap yang menghebohkan satu negara.

Premis plotnya memang boleh jadi segar karena melihat perspektif seorang petugas/pengawas lapangan yang sebelumnya jarang diketahui orang. Namun belum jelas, apakah petugas resmi semacam ini bisa merekrut siapa pun yang mereka mau tanpa kualifikasi atau standar tertentu? Jung-do begitu mudahnya bergabung hanya karena rekomendasi seseorang. Terlepas Jung-do kompeten atau tidak, ini memang bukan urusan penonton, namun alangkah eloknya jika informasinya diperjelas karena dalam beberapa momen diceritakan program ini mendapat anggaran dari pemerintah. Pemerintah selalu identik dengan birokrasi dan standar sertifikasi yang rumit.

Baca Juga  Star Wars Episode VII: The Force Awakens

Plotnya sendiri, sejatinya tidak jauh dari film-film kriminal gangster lokal kebanyakan. Tipikal detektif versus gangster yang sering kali kita lihat dalam film-film yang dibintangi Ma Dong-seok dengan segala aksi hebatnya. Hanya saja, kali ini melalui perspektif yang berbeda. Investigasi mandiri untuk mendapat info hingga perkelahian kolektif (baca: keroyokan) menjadi tradisi dalam subgenre ini. Sekalipun begitu, alur plot Officer Black Belt masih intens sepanjang kisahnya dan sisi ancaman sungguh terasa nyata. Ini yang mengakibatkan tiap momennya menarik untuk diikuti. Selipan komedi dan sentuhan (drama) humanis seperti biasa juga hadir. Untuk urusan sisi dramatik, film-film Korea Selatan memang jagonya tanpa memandang genre.

Lalu bagaimana aksinya? Keahlian sang protagonis yang ahli dalam tiga jenis beladiri terlihat dalam semua koreografi aksinya. Ini jelas menarik, khususnya bagi fans tiga olahraga tersebut. Beberapa momen aksi terlihat menegangkan, terutama momen menjelang babak ketiga, serta tentunya segmen klimaks yang memuaskan, walau kadang tersaji dengan sadis dan brutal. Lalu aksi kucing-kucingan antara kriminal dan petugas memang sudah sering kita lihat, namun tetap saja menghibur. Seperti biasa, untuk urusan kasting, film Korea Selatan tak pernah miss, khususnya dalam menghadirkan sosok-sosok antagonis yang bengis dan kejam. Satu kekurangan hanyalah tak ada satu pun sosok protagonis perempuan dalam plotnya, padahal isu kisahnya menyinggung mereka.

Officer Black Belt menggunakan pola tipikal genre kriminal-gangster, namun tetap saja aksi dan kisah yang intens bakal memuaskan fans genrenya. Bicara soal subgenrenya ini, film-film produksi Korea Selatan tidak ada tandingannya. Isu dan topik cerita yang hangat, aksi koreografi yang menawan, selipan komedi, protagonis dan anatagonis yang karismatik, sisi brutal dan sadisme, hingga sisi dramatik yang menyentuh, semuanya komplit tersaji dalam satu tontonan. Officer Black Belt menambah satu koleksi bagus bagi subgenrenya di tengah film-film senada yang sudah banyak jumlahnya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaUglies
Artikel BerikutnyaNever Let Go
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.