Kapan kali terakhir menonton film Indonesia dengan lokalitas dari tanah Papua? Orpa memanggil kembali ingatan seputar daya tawar dalam film dari wilayah timur tersebut dengan arahan Theo Rumansara. Ia pula yang menulis skenarionya di bawah produksi Matta Cinema –yang juga menangani Ziarah (2016). Namun, kali ini Ismail Basbeth bertindak sebagai salah satu supervisornya. Drama keluarga ini dimainkan oleh Orsila Murib dan Otiana Murib, serta Michael Kho, dan Arnold Kobogau –yang memang penduduk asli dari daerah setempat. Lantas, sejauh mana eksplorasi Orpa dalam memainkan kandungan lokalitas di sana?
Kultur perjodohan masihlah kental di desa-desa terhadap gadis-gadis belia yang baru menginjak usia remaja. Tidak lain, salah satunya karena uang alias alasan ekonomi. Begitulah yang dialami Orpa (Orsila). Tidak merasakan kebebasan akan dirinya sendiri, karena sudah dihadapkan pada perjodohan walau baru saja lulus dari sekolah dasar. Ayahnya (Arnold) hanya tahu satu-satunya cara bagi seorang perempuan untuk hidup “layak” adalah lewat pernikahan dengan seorang laki-laki kaya. Ester (Otiana), ibu Orpa, pun tidak memiliki hak suara untuk mendebat suaminya. Jadi mulailah kemudian aksi kabur dari rumah yang dilakukan Orpa, hingga mempertemukannya dengan Ryan (Kho).
Setiap film kedaerahan atau berkonten unsur-unsur lokal, baik tradisi, budaya, kesenian, maupun adat istiadat setempat pada dasarnya selalu punya titik awal lebih unggul. Ketimbang, misalnya, film-film Jakarta sentris yang telah terlampau umum dalam beragam aspeknya. Termasuk penyelesaian masalah, penggerak cerita, sumber konflik utama, atau dari segi kebahasaannya. Meski kerap kali dengan ide, pola, struktur, plot, atau alur cerita yang telah sangat umum. Semacam Uang Panai’ (2016), Lara Ati (2022), dan Mappacci (2023) dengan orang ketiga serta drama percintaannya; A Perfect Fit (2021) dan Notebook (2021) dengan perjodohannya; bahkan Ngeri-Ngeri Sedap (2022) dengan masalah komunikasi antara orang tua dan anak.
Begitu pula Orpa. Inti kisahnya adalah seorang gadis desa dengan ayah berpemikiran sempit sekaligus diktator, kasar, dan keras, enggan dikekang atau punya mimpi besar untuk mengejar pendidikan hingga ke kota. Plot yang sudah tentu acap dijumpai untuk kali kesekian dari pelbagai film ihwal hubungan orang tua dan anak. Ketika seorang anak memiliki keinginan besar untuk meraih impiannya, tetapi terhalang restu orang tua. Misalnya dalam Catatan si Boy, Virgo and the Sparklings (2023), NKCTHI (2020) pula Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang (2023), Gara-Gara Warisan (2022), serta Yuni (2021), baik melalui tokoh utamanya sendiri maupun lewat tokoh-tokoh lain.
Namun, Orpa menawarkan bentuk-bentuk pengejawantahan bilamana kisah umum tersebut dituturkan melalui diri seorang remaja awal dalam lingkungan sosial masyarakat Papua. Ada kultur kesukuan yang kental dalam salah satu daerah dengan lokalitas yang masih kuat macam tanah Papua. Dua di antaranya muncul dalam Orpa. Pun lanskap Papua dengan hutan hujan tropis lebatnya yang masih mendominasi sebagian besar tanah di sana, sejauh mata memandang hingga ke cakrawala lepas. Selain tentang bahasa setempat, Orpa memiliki dua daya tawar kuat untuk mendapatkan posisi strategis di antara film-film nasional lainnya. Demikian juga dengan adanya para pemeran asli Melanesia. Perhatian yang dilakukan pula oleh Bayu Skak lewat Lara Ati-nya.
Kendati demikian, Orpa juga mengandung sejumlah kelemahan. Karena ceritanya sudah umum, alhasil alurnya jadi mudah ditebak. Selain itu, ada beberapa keteledoran yang luput dari pandangan sineas terkait detail-detail kecil perkara logika. Sebut saja keberadaan Ryan di Papua yang tanpa persiapan apa pun. Barang bawaannya minim dan pengetahuannya rendah seputar alam di Papua. Bahkan wadah air minum pun tidak ia bawa. Sebetulnya, seperti apa penulis menciptakan penokohan untuk Ryan? Jauh-jauh ia dari Jakarta untuk berburu suara-suara alam –pasti dengan biaya yang tidak sedikit pula, tetapi pengetahuannya akan alam sangat minim. Minimal, mestinya ia paham akan pengetahuan mendasar seputar cara bertahan hidup. Termasuk tidak mempermasalahkan untuk minum air sungai yang jelas-jelas masih jernih, bersih, dan menyegarkan.
Orpa memang berdaya tawar kuat lewat lokalitas dan lanskap alaminya, tetapi melupakan sejumlah detail terkait logika penokohan. Meski masih ada keteledoran lain seputar inkonsistensi dan masalah kontinuitas dari aspek artistik. Pun beberapa informasi penting tentang sesosok wanita penolong yang hanya meminta kembali seekor anak babi hutan dari Ryan dan Orpa. Juga ihwal obat herbal pereda asma yang menjadi salah satu topik pertengkaran Orpa dengan ayahnya, karena berhubungan dengan salah seorang anggota keluarga mereka. Namun, rupanya Orpa masih memanfaatkan segmen penutupnya dengan sesuatu yang manis dan menghangatkan. Keputusan bagus Theo agar kesan yang ditinggalkan Orpa menguat, walau ada sejumlah kekurangan.