Ouija: Origin of Evil (2016)

99 min|Drama, Horror, Mystery|21 Oct 2016
6.2Rating: 6.2 / 10 from 76,732 usersMetascore: 65
In 1967 Los Angeles, a widowed mother's daughter tries to communicate with her late father through a Ouija board, but unleashes a demon instead.

Ouija: Origin of Evil adalah prekuel dari Ouija (2014) yang sukses komersil dan kini disutradarai oleh Mike Flanagan. Prekuel ini kembali menegaskan tren film horor berbujet rendah yang beberapa tahun belakangan ini seringkali sukses komersil bahkan kritik. Kisahnya yang berupa prekuel menggambarkan serta menjelaskan latar belakang beberapa karakter yang muncul di seri pertamanya dengan mengambil lokasi yang sama namun latar waktu beberapa puluh tahun sebelumnya.

Alkisah di era 1960-an, Alice yang berprofesi sebagai peramal hidup bersama dua putrinya, Lina dan Doris. Suatu ketika Alice tertarik membeli papan permainan arwah, Ouija, untuk ia pakai sebagai trik untuk para kliennya. Tanpa sengaja Alice memanggil arwah tak dikenal ketika ia menggunakan papan tersebut dan melanggar aturan mainnya. Si cilik, Doris rupanya terkena efek dari kejadian tersebut dengan mulai berperilaku aneh di rumah maupun di sekolah. Situasi menjadi memburuk ketika Lina menemukan secarik kertas yang ditulis Doris bertuliskan bahasa asing yang mustahil untuk ditulis adiknya.

Kisah prekuelnya kini rupanya lebih fokus kepada para tokohnya ketimbang papan Ouija yang menjadi judul filmnya. Kisah filmnya pada separuh durasi awal menjanjikan sebuah kisah yang amat menarik. Plotnya di awal lebih cenderung ke drama keluarga ketimbang horor, ini yang tak lazim di film-film horor masa kini. Menarik sekali ketika konflik dan drama dibangun perlahan-lahan seolah kita akan dibawa ke sebuah klimaks yang hebat. Tempo film juga berjalan lambat dan sineas di awal beberapa kali menggoda kita dengan beberapa trik horor umumnya. Namun setelah klimaks, filmnya menjadi serba tak terjelaskan motifnya. Mereka sebenarnya berhadapan dengan siapa? Arwah dokter psikopat, iblis seperti di seri Conjuring, ataukah (sempat terpikir) mahkluk luar angkasa? Kita hanya bisa berandai-andai tanpa bisa tahu motif sebenarnya. Amat disayangkan, motif konflik keluarga yang telah terjalin demikian kuat di awal mengapa tak digunakan sebagai solusi disini. Ah saya lupa ini hanya sebuah prekuel.

Baca Juga  Renfield

Sejak penggunaan opening logo Studio Universal klasik sudah menggambarkan kemasan filmnya baik secara cerita maupun estetik. Tak ada pengaruh signifikan secara sinematik motif klasiknya selain tempo kisah yang lambat serta trik horornya. Bisa dibilang tak ada aksi horor berkualitas disini. Semuanya biasa tak ada adegan yang bakal membuat Anda melompat dari kursi. Bahkan tak ada ilustrasi musik mengagetkan lazimnya pada genre ini. Penonton justru lebih banyak berpikir pada plotnya ketimbang aksi horornya. Namun yang hebat adalah kastingnya. Semuanya bermain menawan terlebih si kecil Doris yang dimainkan oleh Lulu Wilson. Lulu adalah bintang di film ini.

Ouija: Origin of Evil awalnya menjanjikan sebuah kisah drama horor yang menarik dengan kasting menawan hingga sepertiga akhir menjadikan semuanya menjadi tak terjelaskan. Mungkin tak usah dipikir terlalu dalam, toh ini hanya sebuah permainan dengan segala aturannya bukan? Patut diapresiasi pilihan sang sineas menggunakan formula klasik yang tak lazim digunakan pada film-film horor modern kini. Tak ada kejutan maupun sesuatu yang baru disini. Jika dibandingkan dengan seri pertamanya prekuelnya ini memang lebih baik. Ketimbang kisahnya, akting si kecil Lulu Wilson lebih menarik untuk dinikmati. Film ini sepertinya juga memungkinkan dibuat prekuelnya lagi mengisahkan dokter psikopat yang memangsa dan menyiksa para kliennya. Kita lihat saja.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaTrolls
Artikel BerikutnyaCatatan Dodol Calon Dokter
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.