Ketika Pacific Rim (2013) sukses komersial, produksi sekuelnya, Pacific Rim Uprising tentu tidak mengejutkan banyak pihak. Hanya saja, kali ini Gullermo del Toro menyerahkan kursi sutradara kepada debutan Steven S DeKnight, sementara ia sendiri bertindak sebagai produser. Tanpa diduga, DeKnight mampu menggarap filmnya sama baiknya dengan del Toro bahkan dengan beberapa sedikit kejutan. Film sekuelnya dibintangi oleh John Boyega, Scott Eastwood, Cailee Spaeny, Rinko Kikuchi, serta bintang asal Tiongkok, Jin Tian. Setelah Legendary Pictures dibeli oleh Chinese Wanda Group pada tahun 2016 silam, semua orang pasti akan tahu target utama penonton film ini akan ke mana.

     Sepuluh tahun setelah kejadian Pacific Rim, warga bumi hidup tenang dan nyaman dengan membangun kembali yang runtuh, dan sebagian hidup di tengah reruntuhan masa lalu. Jake Pentecost yang merupakan putra dari sang legenda, Jendral Stacker Pentecost, memilih hidup dengan caranya sendiri yang jauh dari kehidupan militer. Pertemuannya dengan Amara, gadis cilik yang mampu membuat Jaeger (robot raksasa) merubah segalanya. Jake terpaksa kembali ke kehidupan lamanya untuk melatih para kadet Jaeger. Sementara di pihak lain, Shao Industry, pimpinan Liwen, berupaya untuk membuat Jaeger yang mampu dikemudikan dari jarak jauh. Di saat manusia bumi sibuk dengan urusannya, mereka tidak menyadari akan ancaman dari monster raksasa, “Kaiju”.

     Kita tahu persis apa yang akan ditawarkan filmnya, tentu saja aksi para robot raksasa melawan Kaiju. Dengan pencapaian visual yang mengesankan, pertarungan robot vs Kaiju bisa disajikan dengan realistik. Tentu saja ini bakal menghibur penonton kebanyakan dan penikmat seri pertamanya. Namun, hal yang mengejutkan adalah pada separuh awal filmnya, plotnya tidak lantas begitu saja mengumbar adegan aksi. Proses awal cerita berjalan menarik dengan memperkenalkan dua tokoh baru yang dimainkan oleh John Boyega dan Cailee Spaeny dengan sangat baik. Sementara paruh kedua hingga klimaks filmnya sudah tak banyak lagi kejutan, seperti film aksi sejenis kebanyakan. Hanya saja, lokasi di Tokyo membuatnya menarik dan juga sebagai tribute karena di sinilah asal muasal film monster raksasa, dan bahkan satu robot raksasa ikonik anime ditampilkan dalam satu adegan.

Baca Juga  Mickey 17 | REVIEW

     Kedua pemain utamanya memang amat menonjol di film ini. Dengan aksen aslinya (Inggris), Boyega bisa keluar dari perannya di seri Star Wars yang mempopulerkan dirinya. Sementara yang mengejutkan, Spaeny ternyata adalah penyanyi serta aktris debutan yang baru kali ini bermain dalam film panjang. Scott Eastwood yang wajahnya mirip sang ayah, rupanya karirnya mulai menanjak, namun ia di sini masih bermain dalam peran tipikalnya yang tak banyak menguras akting. Sementara beberapa bintang Tiongkok, dimotori si cantik Jin Tian, bakal menarik penonton lokal untuk membanjiri bioskop. Tak hanya pemain, lokasi cerita pun sebagian di sana. Strategi marketing yang efektif untuk target penonton Tiongkok yang kini sudah jamak dilakukan film-film besar produksi Hollywood.

     Pacific Rim Uprising menawarkan apa yang ditawarkan film pertamanya dengan beberapa sedikit kejutan. Penonton yang menyukai seri pertama jelas bakal menikmati film ini. Film ini jelas tidak buruk dan cukup menghibur tanpa banyak mengambil resiko untuk sekuelnya kelak. Entah kurang menyimak, namun saya kehilangan tokoh utama film pertamanya, Raleigh Becket. Tak ada penjelasan, ke mana sosok penting ini sepanjang filmnya? Satu hal yang saya tahu, sang aktor Charlie Hunnam tak ikut dalam produksi film ini karena bentrok jadwal syutingnya. Sekuelnya mungkin?

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
65 %
Artikel SebelumnyaAvengers: Infinity War Cetak Rekor Penjualan Tiket
Artikel BerikutnyaIndiana Jones 5 Mulai Produksi Tahun Depan.
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses