Virus Corona Covid-19 rupanya tidak hanya mematikan bagi umat manusia, namun juga seluruh sendi kehidupan, tidak terkecuali industri film. Sejauh berita ini ditulis, virus ini telah menyebar ke 151 negara dan menjangkiti lebih dari 150 ribu orang dengan total angka kematian lebih dari 5000 jiwa. Kabar baiknya, nyaris separuh di antaranya sudah dinyatakan sembuh (lebih dari 75 ribu orang). Sejak Flu Spanyol di awal abad lalu yang memakan puluhan juta jiwa, pandemik ini dianggap yang terburuk dalam sejarah umat manusia di era modern. Nyaris di seluruh dunia, perekonomian lumpuh, aktivitas warga dibatasi, bahkan di beberapa negara, satu kota diberlakukan tutup total “lock down”, warganya tak boleh keluar sama sekali. Situasi di beberapa kota besar di Eropa, sebut saja kota wisata Venice & Milan, Italia, diibaratkan seperti kota “zombi”. Sejauh ini, situasi di banyak negara semakin memburuk, namun justru di Tiongkok yang menjadi awal persebaran virus ini, situasi kini telah terkendali penuh, dan bahkan dikabarkan belasan rumah sakit darurat kini sudah ditutup karena tak ada lagi pasien.

Tak luput, dunia dan industri film pun terkena dampaknya secara global. Belum pernah, sepanjang sejarah sinema, industri film terdampak begitu global dan masif seperti sekarang. Penonton bioskop pun merosot drastis. Di Tiongkok, libur imlek awal tahun ini yang biasanya menjadi masa emas bagi industri film kini nyaris tak ada penonton bioskop. Di masa yang sama awal tahun lalu industri film di sana berhasil meraih USD 2,148 milyar dan kini hanya USD 3,9 juta saja! Coba hitung saja berapa besar kerugiannya. Di negara-negara besar, rata-rata prosentase penonton jatuh hingga 50%. Di Italia, bahkan sebelum “lock down”, jumlah penonton bioskop telah drastis merosot hingga 94%. Tentu tidak terkecuali di negeri Paman Sam yang menjadi pusatnya. Bandingkan saja, di waktu yang sama, rilis Captain Marvel tahun lalu menghasilkan USD 158 juga pada rilis minggu perdananya, sementara film unggulan Pixar, Onward hanya USD 39 juta. Pada minggu-minggu mendatang, jumlah penonton pasti akan semakin mengecil, bukan tidak mungkin nol jika situasi semakin memburuk.

Tak pelak, studio-studio besar pun menunda rilis film terbaru mereka. Mereka tak mau ambil resiko, terlebih Tiongkok adalah pasar terbesar mereka di luar peredaran domestik. Di awali seri James Bond terbaru, No Time to Die, yang seharusnya dirilis bulan Maret ini, mundur jadwal rilisnya hingga bulan November mendatang. Tak terkecuali film-film raksasa box-office musim panas tahun ini, sebut saja Fast & Furious 9, Black Widow, hingga The New Mutant, hingga film-film unggulan yang rilis pada bulan maret ini, seperti A Quiet Place 2 dan Mulan. Semua memundurkan jadwalnya hingga waktu yang belum ditentukan. Kasus menarik terdapat di Tiongkok yang telah menutup semua jaringan bioskopnya sejak awal Januari lalu dan mengganti rilis beberapa filmnya via streaming, seperti Lost in Russia dan Enter The Fat Dragon.

Produksi film pun juga tentu ikut terhenti. Studio raksasa Disney, sejak minggu ini telah menghentikan semua aktivitas produksinya hingga situasi kondusif. Produksi film Mission Impossible 7 yang mengambil lokasi di Kota Venice bulan lalu memulangkan semua kru dan pemainnya. Minggu lalu, aktor Tom Hanks bahkan positif terkena corona virus ketika pengambilan gambar produksi film tentang Elvis Presley yang segera saja menghentikan produksinya. Adapun beberapa produksi film besar yang dihentikan, antara lain The Batman, Jurrasic World: Dominion, serta film Marvel, Shang-Chi yang dikabarkan sutradaranya, Destin Daniel Cretton diduga terinfeksi virus Corona.

Baca Juga  5 Best & Worst Movies 2015 Versi Editor

Industri film yang terhantam demikian hebat juga berimbas pada ajang festival film. Nyaris seluruh festival film besar menunda penyelenggaraannya, diantaranya Tribeca Film Festival, South by Southwest, Beijing International Film Festival, dan puluhan lainnya. Ini belum terhitung ratusan festival film kecil lainnya. Komunitas kami sendiri yang mengikutkan beberapa film pendek, hampir tiap kali mendapat email yang berisi penundaan festival film dari berbagai negara di dunia. Tak terkecuali tentu, kritikus film. Tak ada film baru yang rilis, tentu tak ada pula film yang diulas. Sad but True.

Lalu bagaimana di Indonesia sendiri? Minggu lalu saja, kabarnya jumlah penonton bioskop (setidaknya di Jogja) menurun hingga 40%. Jika situasi memburuk tentu angka ini bakal semakin membesar. Semoga saja tidak. Terlihat sejak premiere Bloodshot rabu kemarin, suasana bioskop sudah terlihat sepi, dan hanya beberapa gelintir penonton saja di dalam studio. Bioskop jaringan XXI bahkan sudah mengiklankan di layar bioskop tentang pembersihan studionya menggunakan disinfektan untuk memberi rasa aman dan nyaman pada penonton. Di meja pembelian tiket, kini tersedia hand sanitizer yang bisa digunakan setiap saat. Pengaturan jarak bangku untuk penonton pun, rasanya tidak lama lagi bisa diberlakukan untuk lebih memberikan rasa aman. Penutupan bioskop bukan opsi yang mustahil jika situasi semakin memburuk. Sejauh ini film lokal yang menunda rilisnya hanyalah film horor, KKN di Desa Penari. Perkembangan bakal menghitung hari yang setiap saat bisa saja berubah.

Ketika artikel ini ditulis, Di Indonesia sendiri sudah 96 orang yang dinyatakan positif terjangkit virus corona (8 orang dinyatakan sembuh) dan 5 orang meninggal. Angka yang terjangkit pasti akan bertambah mengingat hasil tes yang memakan waktu beberapa hari.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai pecinta film? Jika tidak terpaksa tidak perlu menonton film di bioskop. Toh film-film (khususnya barat) baru tidak akan rilis dalam waktu sebulan ke depan. Jika ingin menonton, jaga jarak dengan penonton lain agar tidak kontak fisik. Jika tidak enak badan, tidak perlu menonton. Film-film yang rilis streaming, seperti Netflix bisa menjadi solusi.

Kini umat manusia hidup bagaikan dalam plot film-film bencana yang selama ini sering kita tonton. Bencana tidak memandang ras, suku, agama, status sosial, jabatan, warna kulit, orientasi seksual, dan lain sebagainya. Mungkin alam menyeimbangkan dirinya melalui ini karena kita terlalu tamak mengeksploitasi alam semata untuk keuntungan kita sendiri. Semoga umat manusia bisa belajar dari pengalaman berharga ini dan lebih arif dan bijak di masa datang. Seperti kata Dr. Malcolm (Jurassic Park), life always finds a way.    

Above all, just keep healthy and may the force be with us.

 

PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaMariposa
Artikel BerikutnyaThe Closet
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.