Melihat banyaknya film bergenre drama yang rilis di layar lebar belakangan ini, Pantaskah Aku Berhijab menunjukkan komitmen untuk berfokus pula pada genre romansa. Memang Hadrah Daeng Ratu sudah tidak asing dengan dua genre ini, mengingat ia juga menyutradarai A Perfect Fit (2021) dan Mars Met Venus (Part Cewe) (2017). Apalagi, seperti A Perfect Fit, Pantaskah Aku Berhijab juga dibintangi oleh Nadya Arina. Kali ini bersama Bryan Domani sebagai lawan mainnya, mereka membuat duo dengan chemistry yang baik.

Sofi (Arina), menyadari bahwa dirinya hamil dari pacarnya di luar nikah. Takut dengan segala konsekuensinya, ia berupaya menyembunyikannya dan berusaha membujuk pacarnya untuk menikah. Saat gagal, Sofi perlahan memutuskan untuk menanggung segala akibatnya, melewati segala cobaan kehidupan yang menerpa. Salah satu yang menjaganya tetap kuat selain ibu dan adik-adiknya, adalah sahabat laki-lakinya, Aqsa (Domani). Aqsa pun membantu Sofi mengembalikan kepercayaan dan harga dirinya, menemukan kembali jalan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Pertama-tama, premis cerita ini terasa lemah, meskipun relatable. Dilema macam apa yang dialami Sofi untuk merasa pantas mengenakan hijab mungkin adalah salah satu hal yang paling banyak dialami para perempuan muslim. Namun, bahkan gaya penyutradaraan film ini tidak terasa cocok dengan niatan pengemasannya yang singkat dan padat seperti film layar lebar yang seharusnya. Terlalu sederhana dan kurang efektif.

Pacing-nya terasa lambat dan kurang engaging, seperti hanya ingin menunjukkan ‘reka ulang’ suatu cerita. Tidak ada trik kamera atau editing khas yang kreatif, semuanya terlihat ‘biasa’, yang sayangnya membuat akting penuh perasaan Arina dan Domani terasa murah. Ini cukup menarik, karena film layar lebar bergenre drama romansa tidak butuh banyak adegan dengan trik-trik berbujet besar. Hanya saja, mengandalkan cerita saja tidak akan cukup untuk membuat film menjadi memorable. Butuh suatu style dan keunikan tersendiri, entah itu editingnya, warna-warna yang ditampilkan di dalamnya, dan kreatifitas filmmaker dalam menyajikan adegan-adegannya saat proses pengambilan gambar.

Mungkin ada satu hal yang menonjol selain performa Arina dan Domani di film ini, yaitu fashion hijab yang ada di dalamnya. Sayangnya eksplorasi aspek ini terkubur di bawah konflik-konflik cerita dan tidak digunakan secara efektif untuk menambah keunikan dan pesan film ini. Hanya ada satu rangkaian melalui teknik montage untuk menunjukkan sisi fashion, dan itu pun tidak dipertajam dengan memuaskan. Rasanya menunjukkan baju-baju bermodel cantik dan tertutup di film ini sia-sia.

Seharusnya apabila memang Sofi memiliki bakat dan ketertarikan seputar fashion, pengemasan aspek ini bisa menjadi senjata untuk menambah lapisan kedalaman karakter Sofi. Jika ada beberapa scene yang menunjukkan betapa berartinya fashion bagi Sofi, daripada adegan-adegan yang diulur-ulur dengan dialog tidak efektif demi durasi, mungkin Sofi akan menjadi karakter yang lebih tiga dimensional.

Baca Juga  Dear Nathan: Hello Salma

Bicara soal adegan yang diulur-ulur, konflik dalam cerita ini bisa saja dikemas dengan lebih singkat dan efektif. Dialog dan screentime dari karakter selain tokoh utama bisa dipotong lebih pendek, mengingat bahkan para karakter ini pun terdengar kaku dalam menyampaikan bagian mereka. Karakter-karakter seperti adik-adik Sofi, Suster dan Dokter, bos dan teman kerja Sofi, bahkan Ibu Sofi, kadang menggunakan bahasa yang terlalu formal dengan logat yang dipaksakan, yang jelas tidak biasa mereka pakai sehari-hari saat sedang tidak akting.

Soal screentime yang tidak perlu pun, terlihat di adegan-adegan yang punya banyak karakter ekstra bahwa keberadaan mereka di film ini terlalu diulur-ulur. Seperti adegan ibu-ibu kompleks, adegan di rumah sakit, adegan di klinik aborsi, dan adegan di tempat kerja. Seolah filmmaker ingin semua orang di film ini bicara atau punya dialog, dan berlama-lama mengambil gambar tokoh-tokoh ekstra ini daripada berfokus dengan plot Sofi dan Aqsa.

Kontras dengan penampilan para karakter ekstra, sekali lagi performa akting Arina dan Domani adalah faktor yang sedikit menyelamatkan film ini. Arina memiliki keberadaan yang kuat setiap ia muncul di suatu adegan. Meski karakternya terus membuat keputusan-keputusan yang tidak ideal, Arina bisa membuat penonton merasa bahwa itu adalah hal yang wajar dilakukan di situasi itu. Dia berhasil menggambarkan karakter yang membuat keputusan-keputusannya karena terpaksa atau tertipu situasi. Meskipun itu adalah keputusan yang mungkin terlihat bodoh bagi penonton.

Begitu pula dengan Domani, yang menggambarkan karakter setia dengan sempurna. Di awal, karakternya memang tidak terlalu mencolok sebagai sahabat dekat Sofi, tapi aktingnya sukses membuat penonton perlahan-lahan jatuh cinta dengan karakternya. Dan penggambaran karakter Aqsa adalah keputusan terbaik yang diambil filmmaker untuk film ini. Bahkan kata-kata klise seperti ‘Tapi gue maunya elo’ yang ia ucapkan terasa cocok dan pas saat ia mengucapkannya.

Rasanya jika filmmaker berniat mengemas film dengan gaya seperti ini, akan lebih cocok jika cerita ini dijadikan sinema elektronik atau serial saja. Sisi teknis produksi film ini terlalu low-effort untuk standar layar lebar. Padahal cerita ini memiliki potensi yang cukup menarik meski premisnya biasa-biasa saja. Jika bukan karena akting dua tokoh utama dan pesan mendalam di balik ceritanya, mungkin film ini akan sama sekali tidak memiliki nilai untuk dinikmati atau didiskusikan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaHeretic
Artikel BerikutnyaHidup ini Terlalu Banyak Kamu

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.