Film komedi romantis ini disutradarai oleh Andi Bachtiar Yusuf. Sang sutradara, kita kenal dengan produksi film-filmnya, seperti Hari ini pasti menang Garuda 19: Semangat Membatu (2014), Love For Sale (2018), dan Mata Dewa (2018). Film ini sendiri berlatar wilayah di Sumatra Utara dengan mengambil sudut pandang cerita dari Suku Batak. Animo masyarakat untuk menonton film ini tampaknya tinggi. Ketika saya menonton film ini pun, ruang bioskop pun hampir penuh. Beberapa penontonnya pun ternyata juga orang Batak. Mereka bisa jadi ingin melihat budaya Batak dalam medium film sekaligus bernostalgia dengan kampung halaman.
Film ini bercerita tentang Moan (Ganindra Bimo), seorang pemuda Suku Batak yang keluarganya telah lama tinggal di Jakarta. Moan adalah seorang pria playboy kaya raya. Hingga suatu ketika, sang mama menyinggung statusnya yang masih lajang. Akhirnya, sang mama menyuruhnya pergi ke kampung halaman untuk menemui pariban-nya bernama Uli (Atiqah Hasiholan). Sesampainya di kampung, Moan terpesona dengan saudara sepupunya tersebut. Namun, Moan pun harus berhadapan dengan Binsar (Rizky Mocil), seorang pemuda lokal yang telah lama mengejar-ngejar Uli untuk menjadi kekasihnya.
Pariban merupakan sebuah budaya dari masyarakat Batak tentang perjodohan dengan kerabat sendiri, yakni dengan saudara sepupu. Kisah filmnya bernuansa roman klasik yang dibalut dengan kebudayaan lokal, walau disajikan di masa modern. Kisahnya juga dikemas dengan pendekatan komedi yang dominan. Di awal film, sang sineas mampu membawa kita masuk ke dalam sosok Moan yang playboy, kerap mempermainkan wanita, serta hidup glamor. Sementara di kampung membuatnya berhadapan dengan Uli, sepupunya yang tentu berbeda gaya dengan perempuan-perempuan yang selama ini ia kenal. Situasi kontras inilah yang ingin coba ditekankan. Terlebih setting-nya juga sangat kontras dengan kehidupan gemerlap kota.
Plot filmnya memang terfokus pada Moan dan Binsar yang memperebutkan hati Uli. Proses inilah yang ditonjolkan dalam banyak adegannya dengan mengolah aksi kompetisi antara Moan dan Binsar. Dalam mengolah adegan keseharian, sineas menekankan pada dialog-dialog yang dikemas sebagai banyolan yang mengundang tawa. Sayangnya, hal ini pula yang menjadi satu kelemahan filmnya karena menyajikan adegan keseharian yang cenderung berulang dan datar tanpa pengembangan konflik yang menarik. Kadang pula sisi komedinya terlalu berlebihan dan lepas dari kisahnya.
Salah satu kekuatan film ini tentu saja terletak pada setting film yang sangat menawan dengan menyajikan panorama alam Danau Toba yang begitu memukau. Bicara soal gambar, sayangnya secara teknis terasa kurang mapan karena banyak gambar yang terlihat grainy. Sementara dari sisi akting harus diakui nyaris semua pemain bisa berakting baik serta mampu menghidupkan suasana, terlebih yang menggunakan bahasa berlogat Batak. Sebelumnya, kita mengenal film senada seperti Yowes Ben yang mencoba mengemas dengan keunikan bahasa lokal. Terlepas dari beberapa kekurangannya, tentu kita patut mengapresiasi dari sisi tema yang mengangkat budaya lokal macam ini untuk dikemas dalam medium film.
WATCH TRAILER