Past Lives adalah film drama produksi AS – Korea Selatan yang digarap oleh sineas debutan Celine Song. Film ini dibintangi oleh Greta Lee, Teo Yoo, dan John Magaro. Past Lives melakukan debut tayangnya secara impresif di Sundance Film Festival pada awal tahun ini. Film ini belum lama ditayangkan melalui platform Prime Video setelah beberapa bulan tayang di teater secara terbatas. Apa yang ditawarkan film yang dipuji banyak pengamat film ini?

Nora (Lee) dan Hae-sung (Yoo) adalah pasangan yang sudah bersahabat sejak mereka cilik di Seoul. Nora pun pernah berujar pada orang tuanya bahwa ia akan menikahinya kelak.  Namun takdir berkata lain, Nora berimigrasi ke AS bersama keluarganya dan hubungan mereka lepas begitu saja. Dua belas tahun berselang, kini Nora berkarir sebagai penulis dan Hae-sung baru saja menyelesaikan tugas wajib militernya. Nora mencoba mencari Hae-sung via medsos dan mengontaknya. Gayung bersambut. Hari-hari mereka diisi percakapan jarak jauh yang intim hingga suatu ketika Nora pun kembali memutus hubungan mereka.

Dibuka dengan adegan yang memikat di sebuah bar, Past Lives berkisah sederhana dan membumi. Kisahnya mencoba untuk mengeksplorasi hubungan asmara antara pria dan perempuan berselang lamanya waktu. Perasaan mereka tak berubah, namun situasi dan perasaan mereka sendiri yang justru mempermainkan mereka. Tak ada yang istimewa dari hubungan ini selain hanya “selipan” konsep reinkarnasi di dalamnya. Apakah seseorang di kehidupan masa lalu adalah bagian dari hidup kita sekarang, atau sebaliknya? Jutaan pertanyaan terus bergulir di benak dua tokohnya mempertanyakan takdir jika semuanya berjalan berbeda. Terlihat jika naskahnya begitu personal yang bisa jadi adalah pengalaman sang sineas sendiri yang juga menulis naskahnya. Seseorang mampu memahami kisah ini secara penuh jika pernah merasakan pengalaman yang sama.

Baca Juga  Foxtrot Six

Satu hal yang amat menarik dalam penyajian kisahnya adalah penggunaan elemen-elemen visual dalam mendeskripsikan secara simbolik adegannya. Kombinasi sinematografi terukur melalui komposisi serta elemen mise_en_scene seringkali memberi makna ganda (subteks). Sang sineas terlihat cerdik untuk mengolah beragam setting di sekitar, seperti jalanan pemukiman pada adegan di Seoul yang memperlihatkan Nora dan Hae-sung yang berjalan berlawanan ketika mereka terakhir berpisah. Setting Patung Liberty (simbol kebebasan) yang begitu megah digunakan saat Nora dan Hae-sung menikmati kebersamaan mereka di New York. Lalu satu shot berkelas ketika wahana komidi putar menjadi latar belakang Nora dan Hae-sung yang duduk berdampingan, secara brilian menggambarkan pikiran mereka yang terombang -ambing. Banyak shot senada digunakan jika kita jeli sewaktu menonton.

Past Lives menyajikan kisah personal yang mengeksplorasi tema “takdir” dengan gaya estetik elegan dan bersahaja. Sang sineas terbukti piawai dan memiliki selera berkelas dalam mengeksplorasi sisi visual pengadegannya. Selain itu, dua bintangnya juga turut mendukung kuat capaian naskah dan sajian visualnya. Greta Lee dan Tae Yoo bermain natural tanpa banyak ekspresi berlebihan dalam tiap adegan yang memiliki emosi tinggi. Chemistry keduanya terjalin apik dan dalam. Lalu bicara konsep “takdir” yang menjadi inti kisahnya, rasanya kurang memiliki eksekusi akhir yang menggigit. Melalui kemasan estetiknya, siapa pun tidak mengharap klimaks yang memuaskan. Namun, misteri tentang hidup, takdir, soulmate, ataupun reinkarnasi rupanya hanya sekadar wacana dalam kisahnya.

1
2
PENILAIAN KAMI
overall
75 %
Artikel SebelumnyaAfter Life
Artikel BerikutnyaTalk to Me
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.