Setelah absen 4 tahun, aktor superstar India, Shah Rukh Khan kembali dengan heboh melalui film aksi spionase, Pathaan. Film berbahasa Hindi ini diarahkan oleh Siddharth Anand dengan diproduseri kolaborator reguler sang bintang, yakni Aditya Chopra. Khan kali ini didampingi bintang-bintang besar, antara lain Deephika Padukone, John Abrahams, hingga Salman Khan. Bagi yang sudah akrab dengan film India, khususnya film aksi, tak ada lain yang ditawarkan selain aksi yang hingar-bingar serta tentu saja lagu dan musiknya.

Pathaan (Khan) adalah seorang agen RAW (CIA-nya AS) tangguh yang kali ini mendapat misi melawan satu kelompok bernama Outfit-X yang dipimpin mantan agen pembelot, Jim (Abrahams). Outfit-X bekerja di bawah seorang jendral Pakistan yang dendam dengan negara India. Dalam satu momen, Pathaan diselamatkan oleh Rubina (Padukone), agen ISI (Pakistan). Mereka kemudian bekerja sama melawan Jim dan kelompoknya yang berniat untuk menggoyahkan hubungan antara India dan Pakistan.

Layaknya film-film aksi barat, Pathaan membuka filmnya dengan segmen aksi yang menggelegar. Opening-nya memberi kesan kuat terhadap penonton, apa yang bakal kita hadapi sepanjang film berdurasi 146 menit ini. Kisahnya hanya mengantarkan satu aksi ke aksi lainnya, tidak lebih. Jika kamu sudah akrab dengan film-film 007 atau Mission Impossible, kisahnya tidak jauh dari ini. Plotnya berpindah dari satu lokasi ke lokasi eksotis lainnya di banyak negara. Lantas apa bedanya? Tentu saja aksinya. Berbeda dengan RRR, melalui aksi-aksi hebohnya yang kisahnya membumi.  Aksi-aksi Pathaan banyak mengadopsi kisah dan aksi film barat populer. Aksinya banyak kemiripan dengan segmen aksi dalam film-film Bond (Daniel Craig), seri Mission: Impossible, hingga film-film Marvel Cinematic Universe (MCU), seperti Age of Ultron hingga The Winter Soldier.

Jelas tidak fair jika kita bandingkan dengan film-film tersebut, hanya saja, dalam Pathaan, aksinya mengabaikan banyak logika akal sehat. Tak ada masalah dengan ini sebenarnya, RRR pun melakukan hal yang sama, namun lebih segar. Aksi-aksi dalam Pathaan terasa melelahkan karena kita sudah sering melihat aksi tipikal macam ini. Aksi klimaksnya justru antiklimaks melalui aksi udara ala “Falcon ” (MCU) yang terlalu mengandalkan efek visual. Satu momen terbaik adalah aksi dalam gerbong kereta yang tengah berjalan. Aksi perkelahian yang dikemas dalam satu shot panjang disajikan begitu mengesankan, dan ada sedikit kejutan bagi fans Salman Khan dengan seri Tiger-nya.

Baca Juga  Elemental

Penuh dengan aksi heboh dan efek visual ala aksi barat, jika bisa mengabaikan nalar dan akal sehat, kamu bakal menikmati Pathaan. Selain aksi, tidak banyak yang ditawarkan Pathaan. Selipan roman juga kurang menggigit, padahal chemistry antara Khan dan Padukone tidaklah buruk. Selingan musikalnya hanya terdapat dua segmen, dan itu pun lebih terasa sensual layaknya seri Fast & Furious, ketimbang nuansa filmnya. Jika kamu fans para bintangnya dan penikmat film aksi India, apa lagi yang kalian tunggu? Segera tonton filmnya. The King is back!   

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaJalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang
Artikel BerikutnyaBuku Montase Press di Google Play Book
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.