Saya sering mendengar pertanyaan, bagaimana perbandingan antara Pengabdi Setan versi lawas (1982) dengan versi Mas Joko (Anwar, 2017). Seringnya pertanyaan semacam itu saya jawab dengan sekenanya “Yang versi lawas mencekam, versi baru mengagetkan”
Jawaban saya itu memang simplifikasi saja dan mungkin tidak sepenuhnya betul. Hanya kan sulit juga kalau mau menjelaskan dari sisi cerita, keaktoran, pengambilan gambar, make up, tone pewarnaan, lighting, editing dsb plus membandingkannya satu demi satu.
Tapi coba kita bahas sebisanya disini.
Pengabdi Setan versi Mas Joko jauh dari kata buruk. Saya tidak bisa tidak sepakat bahwa ini adalah kenaikan satu kelas dari genre horor indonesia belakangan ini.
Satu hal yang paling unggul dalam Pengabdi Setan versi Mas Joko adalah setting 80-an yang tampak sangat hidup. Set, dekorasi dan lighting benar-benar membawa kita kembali kepada era itu. Gantungan imitasi tengkorak rusa, jam dinding, lampu, bingkai foto, kipas angin dan bermacam lagi set di sana-sini membuat saya merasa pulang ke rumah nenek saya sendiri.
Dan set itu hidup, tidak seperti pada banyak film lain yang setting zamannya dimasa lalu, seringkali kita dapati set yang terasa tempelan, terlalu artifisial. Tidak di film ini. Set dan dekorasi adalah hal yang tak terlupakan.
Awalnya saya sedikit merasa terganggu dengan pencantuman setting tahun “1981” dengan tulisan besar di menit-menit awal film. Seringnya, pencantuman tahun semacam itu ada di film-film berlatar belakang sejarah. Apakah Mas Joko tidak bisa menyampaikan tahun kejadian dengan cara yang lebih elegan? Apakah Mas Joko menganggap penonton Indonesia sebegitu bodoh sampai-sampai harus diberi tahu demgan sebegitu jelas mengenai setting zaman?
Tapi seiring film berjalan, saya jadi mengerti alasannya. Sutradara sedang menegaskan bahwa film ini ber-setting tahun 1981 (!) yang berarti terjadi sebelum Pengabdi Setan garapan alm. Sisworo Gautama Putra (1982) yang berarti ini adalah Pengabdi Setan yang beda, film yang jauh berbeda. Bahkan pada beberapa sisi, dengan mudah kita bisa membaca bahwa Mas Joko berniat membuat antitesis dari Pengabdi Setan garapan terdahulu.
Dari sisi konstruksi kritik sosial yang dibangun misalnya. Pengabdi Setan lawas adalah kritik terhadap kaum kelas menengah yang jauh dari agama dan kehidupan sosial. Ada hal yang penting disini. Sering kita baca ulasan yang mengatakan film ini (versi 1982) adalah semacam film dakwah yang sekedar mengajak orang kembali ke masjid. Mungkin ada benarnya juga, tapi rasanya ada sesuatu yang lebih.
Agama dalam film awal ini adalah agama sebagai alat perekat sosial bukan sekedar ibadah formal. Sebab agama sebagai ritual, formalitas fiqh, juga mendapat kritik dalam adegan ketika Tommy sholat dan mendapat gangguan dari arwah ibunya. Dalam versi garapan Mas Joko, adegan “sholat digangguin setan” digubah dan disempurnakan ketika Rini (Tara Basro) sholat, teror bermula sejak Rini mengambil air wudhu di sumur.
Anda yang biasa sholat malam pasti faham betap menyebalkannya imajinasi; jangan-jangan ada yang tampak ketika kita membasuh muka. Sialnya mimpi buruk itu dituangkan betul dalam film ini. Dalam versi lawas ketika Tomy akhirnya tidak bisa menyelesaikan sholatnya karena ibunya datang sambil “Hentikan ituh!” Tomy lantas menyelimuti diri dengan sarung, penonton menanti akan ada teror apalagi. Rupanya teror selesai. Imanjnasi penonton ketika Tomy selimutan sarung (istilah kerennya; kemulan sarung) dibawa kembali oleh Mas Joko dengan membuat adegan Rini menutup diri dengan mukena, terjebak belitan mukena dan mendapati diri berhadapan face to face dengan sosok mengerikan didalam mukena. Ini salah satu adegan yang saya suka sekali. Well done Mas Joko!
Kembali ke soal kritik sosial. Misal bisa kita lihat pada bahasa gambar menjelang ending versi 82. Secara klise memang, ilmu hitam dikalahkan dengan ayat-ayat oleh seorang ustadz. Dan adegan ini menarik, karena Ustad hanya sekali membacakan ayat versi terjemahan untuk kemudian berdiam, ayat mengalun sendiri BUKAN dari mulut ustadz. Tapi ustadz tidak sendiri, dia berdiri bersama masyarakat. Masyarakat yang oleh keluarga itu tidak dipergauli dengan baik. Masyarakat yang diabaikan oleh kelas menengah.
Pesannya jelas, sekaya apapun anda tetap butuh masyarakat sekitar. Saat itu belum ada Meikarton dan anak orang kaya belum bisa seenaknya bilang “aku ingin pindah ke Meikarton”
Pada Pengabdi Setan lawas, gambaran keluarga kelas menengah ini juga dibuat menjadi gambaran pola pembangunan negara pada masanya.
Film awal ini memang musti dilihat pada konteks zamannya. Dia terbit ketika negri ini sedang lepas landas terjun bebas ke arena liberalisme ekonomi di awal 80-an. Penggambaran keluarga kelas menengah atas yang “keluarga kami tidak ada yang sholat” (dialog Tomy di toku buku) juga merupakan ejawantah dari kesadaran pembangunan negara yang konsentrasi pada fisik belaka, ingat dialog bapak dikantor dibawah foto presiden “Usaha kita kan sesuai dengan tujuan pemerintah. Membangun sebanyak mungkin dan perumahan untuk masyarakat demi untuk meningkatkan taraf hidup mereka”.
Pembangunan yang titik fokusnya pada infratruktur, dengan birokrat-birokrat yang memaksakan standard hidup layak versi mereka tanpa dialog, tanpa menggiring proses bersama tapi malah memposisikan diri sebagai fihak yang lebih tahu dan lebih beradab dari masyarakat pada umumnya. Dengan sendirinya pula, tolok ukur negara maju berkiblat pada kemegahan dan ketertataan dari bangsa lain, hal ini yang bila kita singkat merupakan; penjajahan tolok ukur dan cita rasa.
Bisa dibilang sebenarnya fenomena serupa masih kita alami saat ini, namun Mas Joko tidak begitu tertarik mengeksplorasi tema ini.
Tampak sedikit kritik pada industri hiburan tapi juga tidak di fokuskan kesitu. Ya mau bagaimana lagi. Sutradara, produser dan hampir seluruh yang terlibat di dalam film kan orang-orang yang hidup dari industri hiburan juga, mereka tentu tidak bisa frontal betul pada wilayah berburu makan mereka.
Pada Pengabdi Setan veri Mas Joko, kritik yang paling tampak adalah justru ditujukan kepada simbol agama formal yang selalu bicara hitam-putih, surga-neraka, halal-haram namun gagal menjadj solusi pada persoalan real masyarakat.
Pak Ustadz sebagai simbol agamwan yang normatif, dialognya dibuat mirip dengan Ustadz versi 82 tapi dengan kesan yang jauh berbeda. Ustadz dalam film ini tidak berkesan heroik seperti dalam film terdahulu. Pada akhirnya pun, ustadz tidak menjadi solusi persoalan, bahkan pralaya tanpa perlawanan berarti.
Sayangnya penulisan naskah Pengabdi Setan versi Mas Joko ini yang malah tampak berjarak dengan masyarakat.
Penataan pekuburan umum tampak terlalu rapih untuk ukuran masyarakat yang tidak begitu memuja keteraturan dan satu hal kecil yang cukup mengganggu misal adalah ustadz yang menurut dialog baru saja pindah ke wilayah itu namun sudah menjadi tokoh masyarakat, ditunjukkan dengan dialog “nanti malam saya kumpulkan warga untuk bikin pengajian disini” untuk ukuran perkampungan Jakarta yang rata-rata setiap wilayah kecil memiliki tokohnya sendiri, hal ini sulit diterima. Tapi itu juga masih mending dibanding Pengabdi Setan lawas yang ustadznya malah muncul sewaktu-waktu entah dari mana.
Dalam Pengabdi Setan versi Mas Joko keluarga ini memang berbeda dari keluarga pada versi 82. Kalau pada versi awal hanya ada ayah, Rita dan Tomy serta Pak Karto penjaga rumah yang sakit asma. Keluarga mereka adalah keluarga berada yang tak acuh pada kondisi kemasyarakatan. Mas Joko men-cut hal itu. Keluarga dalan Pengabdi Setan versi Mas Joko anggotanya lebih banyak; Ayah, Rini, Tomy, Bondy, Ian dan Nenek.
Dan mereka memang bukan bagian dari masyarakat, mereka pernah kaya tapi sudah melarat dan rumah tempat sentral terror disini bukan rumah mereka. Ini adalah rumah nenek. Jadi tolong kalau anda berkunjung ke lokasi syuting fim ini dan posting foto di socmed jangan pakai tagar #RumahIbu ya, nanti nenek marah. Soalnya rupanya antara Nenek dan Ibu memang tidak akur bahkan sampai ketika dua-duanya sudah tidak hidup.
“Saya memang anak ustadz tapi saya terbuka pada teori-teori lain” ada kalimat serupa itu yang diucapkan oleh Herman. Herman versi Mas Joko walau nasibnya tak jauh beda dengan Herman dalam versi lawas juga mengalami pergeseran.
Dalam versi sebelumnya, Herman sama sekali bukan anak ustadz, bukan dukun muda berbakat yang penasaran dengan penampakan disiang bolong lantas kembali ke pemakaman malam-malam.
Herman versi lawas adalah teman hedon Rita, tulus hati menemani sang gadis ke diskotik dan dengan baik hati mencubunya sepulang ajojing. Istilah yang tidak peka gendernya ‘Teman menang banyak’ yakni suatu pola relasi pria-wanita yang berlandaskan kebodohan wanita dan otak mesum pria.
Hanya saja untuk sampai ke taraf menakutkan, mencekam. Memang Pengabdi Setan versi 1982 belum tumbang. Pengabdi Setan versi lawas membangun horor pada situasi, nuansa remang, pencahaayaan, musik score yang sederhana dan latar suara alam malam yang natural. Penonton seperti dipaksa masuk ke alam mimpi buruk yang sepi tak berkesudahan. Ketika si aktor tampak terkejut karena melihat sesuatu, objek yang dilihatnya sering belum masuk frame, sementara cahaya dan musik sudah berdenyut-denyut memacu ketakutan. Adegan semacam ini sering ada dan rasanya seperti penantian abadi dalam mimpi yang berlapis-lapis.
Bukan berarti dalam Pengabdi Setan versi Mas Joko tidak terbangun kesan mencekam. Kesan semacam itu ada, hanya sang sutradara sepertinya lebih berkonsentrasi untuk meunjukkan kelihaiannya dalam mengecoh perhatian penonton. Penonton akan memperhatikan ke sisi sini untuk kemudian nah! Muncul di sebelah situ. Selalu mengejutkan, dan kejutannya selalu menjadi lebih baik.
Bedanya mencekam dan mengejutkan memang disitu. Film mencekam bisa kita tonton berulang-ulang dan semakin sering ditonton malah semakin terasa kesan mencekamnya, tapi jatuhnya malah suspense alih-alih horror. Sementara yang mengagetkan, mengejutkan akan mendapat perhatian pada kali pertama ditonton namun sensasinya semakin berkurang bila ditonton ulang.
Setting tahun 80-an yang ditunjukkan selain dari dekorasi set, make up dan kostum juga sebenarnya diusahakan tampak melalui bahasa semi formal ala film-film pada masa itu (Semi Dunia Dalam Berita istilahnya) sayangnya hal ini kurang ditingkatkan. Maksudnya, dialog naskah memang sudah menggunakan kata ganti “aku” dan “kau” tapi karena cuma itu, sementara gerak tubuh dan intonasi bicara para aktor tidak mengimbangi sehingga alih-alih terdengar jadi seperti bahasa semi formal kadang malah terdengar jadi seperti logat Batak atau logat Sulawesi, tentu saja ini tidak buruk. Hanya berpotensi membuat penonton salah faham dengan setting lokasi cerita. Saya pribadi sebenarnya menatikan dengan kangen-kangen rindu akan ada sapaan khas seperti “Bung”, “Sodara” atau sumpah serapah ala film silat pada masa itu seperti “Biadab”, “Setan alas”, ” Keparat” Baiklah, ini memang bukan film silat but hey, Darminah mengucapkannya sepenuh hati kan di versi 82? (Adegan Darminah berhadapan dengan ustadz)
Tapi ini juga bisa kita mengerti, kalau cita rasa film sepenuhnya dibuat 80-an tentu resiko besar untuk penjualan terutama untuk sasaran tembak kawula muda masa kini. Tidak semua produser mau mengambil resiko sebesar itu.
Saya kurang bisa merumuskan Pengabdi Setan versi Mas Joko ini sebenarnya apakah dia remake, reboot, rebuild, spin off, atau malah prekuel dari film Pengabdi Setan sebelumnya. Yang jelas, tentu bukan sekuel. Biarpun banyak pintu cerita yang dibuka oleh sutradara dan barisan pengabdi eh penulis naskah versi awal agar bisa dikembangkan, rupanya Mas Joko tidak begitu tertarik. Mas Joko lebih tertarik mengambil esensi-esensi halus dari versi lawas Pengabdi Setan.
Esensi halus itu misal, suara asma Pak Karto (IM Damsyik) diterapkan dalam film ini jadi suara asma Nenek dan kelak menjadi petanda apabila yang sedang beraksi adalah arwah nenek.
Atau suara lirih setengah berbisik arwah ibu “Tommy… Tommy…” juga dipakai untuk kemudian dikembangkan secara megenjutkan. Penikmat film ini versi lawas bisa saya pastikan tertipu berat dengan adegan ini.
Rupanya belum cukup dengan kelihaiannya ‘menipu’ perhatian penonton, Mas Joko kemudian pun tergoda untuk ‘menipu’ jalan cerita.
Dalam film versi awal ceritanya memang sederhana saja, dimulai dari ibu meninggal kemudian teror dari arwah ibu yang secara tidak mengejutkan rupanya adalah ulah Darminah (Ruth Pelupessy) Sang Pengabdi Setan yang menyamar menjadi asisten rumah tangga mereka, gambaran kejahatan murni yang (menurut dialog) “akan selalu datang kepada keluarga yang jauh dari agama” adalah perspektif tasawwuf yang mungkin cukup mudah dimengerti untuk mereka yang pernah membaca kisah Nabi Muhammad SAW meminta iblis mengajarkan ilmu tauhid pada sahabat-sahabatnya.
Kemudian bisa kita tebak, puncak ketegangan diakhiri dengan kejahatan vs kebaikan, Darminah vs Ustadz yang diperankan oleh Dody Kesuma, yang juga pemeran salah seorang jendral dalan film Pengkhianatan G30S/PKI.
Dalam versi Mas Joko, ketika kita sudah mulai meraba-raba alur cerita. Bangunan cerita kemudian dibelokkan. Dari mulanya sekedar soal arwah (atau makhluk yang menyerupai) ibu dimasa muda, beralih ke persoalan sekte rahasia. Ternyata ibu anggota sekte itu.
Kita juga sedikit ‘ditipu’ dengan kesalah fahaman mengenai teror dari arwah nenek yang rupanya terungkap di akhir justru berniat melindungi keluarganya dari dosa masa lalu si ibu.
Keberadaan kelompok rahasia, secret society, entah kenapa sering sekali ada di film-film Mas Joko (yang paling saya ingat; Kala dan Pintu Terlarang). Saya pernah agak suudhzon, apa Mas Joko ini pengen banget dibahas oleh para penggemar teori konspirasi apa gimana?
Saya juga tidak begitu anti sama teori konspirasi, atau conspiracy reveal semacam itu. Hanya dalam bahasan, agak saya hindari menjadikannya pisau analisa. Sebab tolok ukurnya sering buram, sehingga kemudian konklusi yang muncul selalu hanya berkisar; golongan selain golonganku adalah pion atau sekurangnya korban konspirasi.
Sering muncul sikap kepedean dari para penganutnya, seolah seluruh dunia terkonsentrasi untuk menumbangkan golongannya. Temen-temen yang berkutat pada golongan tafsir agama keras, menganggap yang kolaborator konspirator adalah yang liberal, mereka yang liberal selalu bersyakwasangka bahwa kaum ekstrimis-fundamentalis adalah bentukan konspirator global. Tidak disini saja, di kalangan teman-teman Yahudi juga ada yang percaya dengan Arab conspiracy, sementara dikalangan beberapa orang Islam ada yang sangat percaya konspirasi globalis, Zionis, Yahudi, Illuminati, Freemason, Ouroboros, dan sebagainya. Percaya konspirasi belum masalah, ada bagusnya juga mungkin. Tapi kalau terus apa-apa segalanya dihubungkan sama konspirasi global kan melelahkan juga.
Kenapa saya malah ngomong soal teori konspirasi? Bikin panjang tulisan saja.
Kembali ke soal bangunan cerita, oleh Mas Joko cerita kemudian berlapis dan sekali lagi dengan lihai mengecoh. Ian (M Ahchdiyat, ya ampun aktingnya ini anak keren sekali) rupanyalah sumber segala petaka dan bencana. Ian ternyata adalah sosok anak iblis yang dinantikan oleh para penganut sekte.
Saya kurang mengerti, bagian mana dalam film lawas Pengabdi Setan yang ditafsirkan oleh Mas Joko sebagai keberadaan secret society itu, atau apakah sekedar Mas Joko mau membawa cerita versinya ke level yang berbeda?
Bagian mana kira-kira menurut pembaca yang budiman dari versi lawas ini yang menggambarkan keberadaan sekte rahasia? Apakah adegan Tomy digotong oleh segerombolan bertopeng berjubah merah? Seingat saya itu cuma mimpi, karena kalau bukan mimpi maka Tomy harusnya sudah tewas.
Ini juga pertanyaan menggantung, karena mendekati akhir, mayat hidup Pak Karto membopong sesosok pocong yang ternyata adalah… Tomy (!) untuk diperlihatkan kepada… Tomy (!) dan adegan ini jelas bukan mimpi.
Atau, apakah dekorasi kamar Tomy dengan gambar mata satu yang mentereng dan jelas bukan menggambarkan dekorasi kamar pemuda pada masanya (bandingkan dengan dekor kamar Rita yang sangat natural khas anak muda pada masanya) itu?
Keberadaan sekte rahasia yang ternyata diikuti oleh sang ibu semasa hidupnya demi mendapat keturunan sebenarnya bisa jadi pintu pembuka bila sutradara berkenan membawa kritik sosial berbau gender; Sebegitu keraskah tuntutan kepada kaum perempuan untuk memiliki keturunan sampai-sampai rela menjual jiwanya pada iblis? Tapi rupanya, Mas Joko tidak berniat berpanjang-panjang soal itu. Dan ini juga hak sutradara yang tidak bisa kita ganggu.
Nah coba kita perhatikan: keberadaan sekte rahasia dan penantian kepada sosok anak setan.
Saya tidak bisa menolak keterpautan tema itu dalam kepala saya untuk kemudian teringat pada Rosemarry’s Baby (1968) garapan Roman Polanski, disitu si anak iblis bernama Adrian (Ian-Adrian, bisa dimengerti donk kenapa saya jadi teringat film ini?). Tema anak titisan setan memang sudah sering diangkat dalam film-film Hollywood, tahun depan tema ini juga akan muncul kembali dalam sebuah film yang diadaptasi dari novel The Good Omen karangan Neil Gaiman, itu salah satu novel favorit saya. Pun soal secret society, sekte rahasia, sudah bertebaran misal dalam film yang sangat terkenal Eyes Wide Shut (1999) garapan Stanley Kubrick.
Juga beberapa adegan entah kenapa dalan film ini selalu mengingatkan saya pada karya Tarantino.
Adegan kecelakaannya Herman misalnya, beberapa detik awal dibuat mirip sekali dengan kecelakaan Herman versi lawas untuk diakhiri dengan detil adegan kecelakaan yang mengerikan. Mengingatkan pada Death Proof (Quentin Tarantino, 2007). Tapi ini jauh dari kesan plagiat, hanya sekedar nuansa, atau mungkin otak saya saja yang mengaitkannya. Adegan kecelakaan ala Mas Joko bahkan rasanya jauh lebih kena daripada Death Proof-nya Tarantino, dan sebagai seorang anak dari pensiunan Jasa Raharja, saya sangat merasa adegan seperti ini dalam film-film Indonesia perlu diperbanyak dengan serius. Agar orang lebih berhati-hati dalam berkendara. Hidup Jasa Raharja!
Banyak, dan masih banyak sekali yang bisa kita bahas dalam film Pengabdi Setan garapan Mr Joko Anwar. Ini karya mengagumkan.
Seperti bagaimana ending Pengabdi Setan versi lawas dibuat twist dengan kemunculan Darminah (kayaknya sih itu Darminah, kan disorot dari belakang) juga sebagaimana para penulis naskah versi pendahulu (jajaran penulis naskah legendaris; Sisworo Gautama Putra, Naryono Prayitno, Imam Tantowi) membuka banyak pintu untuk dikulik dari film tersebut. Mr Joko Anwar pula pada Pengabdi Setan versinya memilih menutup beberapa pintu dan membuka beberapa ‘Pintu Terlarang’ dalam pengisahannya. Alasannya apa? Tentu Tuan sutradara sendiri yang mengetahui, biarlah jadi “Modus Anomali” bagi kita yang menikmati, atau mungkin, bila Sang “Kala” telah sampai pada pemahaman zamannya. maka kita boleh sedikit mengetahui rahasia gelap dalam isi kepala sang sutradara dan kreator kisah yang epik ini.
Tidak diragukan lagi kalau karya ini berpotensi menjadi legenda, cult, dan merupakan standard baru bagi horor Indonesia bahkan mungkin Asia.
Dianya bisa dinikmati oleh generasi saya yang lahir pada akhir 80-an atau generasi yang pada era 80-an sudah seorang remaja belia seperti ibu di depan saya waktu nonton di bioskop.
Eh, itu ibu nonton sendirian? Koq tenang sekali sepanjang film? Ah entah, saya cuma melihat si ibu berjilbab itu dari belakang. Ada yang melihat Ibu itu juga di bioskop?
Muhammad Zuriat Fadil
Mantan penjaga rental yang masih suka memperhatikan film. Saat ini aktif sebagai penulis di web caknun.com dan sesekali terlibat dalam pementasan teater di Jogja.