Satan's Slaves (2017)

107 min|Drama, Horror, Mystery|28 Sep 2017
6.5Rating: 6.5 / 10 from 12,012 usersMetascore: N/A
After dying from a strange illness that she suffered for 3 years, a mother returns home to pick up her children.

Pengabdi Setan adalah film horor era 80-an yang pada masanya sangat populer. Saya sendiri masih ingat betul ketika menonton film ini di rumah tetangga sebelah semasa SD, entah lupa waktu itu kelas berapa.Detil cerita tentu sudah tak ingat, sebelum saya menonton film ini lagi di era sekitar menjelang milenium baru ketika VCD/DVD tengah marak. Adegan pemakaman jenazah dan pengajian di awal film, lalu adegan “zombi” bermain piano, adalah adegan yang masih saya ingat jelas hingga sekarang. Kala itu, Pengabdi Setan bersama Sundelbolong, Malam Satu Suro (serta film-film horor Suzanna lainnya), dan Leak adalah film-film horor yang sering kali dibicarakan di lingkungan rumah dan sekolah. Ya, tentunya bocah SD seumuran itu hanya tahu inti cerita dan sosok setan yang menakutkan, tidak lebih. Pencapaian estetik atau pesan moral tentu belum saya pahami benar.

Melihatnya kembali versi orisinalnya beberapa waktu lalu, harus diakui film ini memang sangat lemah di pengadeganan serta logika cerita. Kesampingkan faktor setting dan akting karena ini memang tipikal film-film di era tersebut. Tata rias wajah dan make-up zombi walau terasa kuno, namun dijamin masih tetap menakutkan untuk penonton sekarang. Beberapa adegan memang disajikan lumayan mencekam, seperti sosok zombi Herman bermain piano serta ketika Rita dan Tomi malam-malam di tengah derasnya hujan menggali kuburan ibu mereka, walau dengan teknik kamera dan editing sederhana. Satu shot zombi yang membawa jenazah berbentuk pocong mampu disajikan begitu menakutkan.

Namun, bicara logika cerita, banyak sekali lubang plot di sana-sini. Hal-hal tak wajar mudah sekali terjadi sehingga tampak sekali dipaksakan. Adegan Rita dan Tomi menggali kuburan misalnya. Apa masuk akal dilakukan malam hari di tengah hujan lebat. Walau kita tahu ini adalah dramatisasi sebuah adegan yang memang suasananya lebih menyeramkan. Namun, bicara pesan moral, film ini boleh dibilang adalah film propaganda religius yang sangat kuat. Bahkan, hingga Darminah, sang pengabdi setan, ikut memberi “ceramah” sembari meneror menjelaskan mengapa keluarga ini yang menjadi korban. Hitam dan putih jelas batasannya. Intinya sederhana, kita harus beriman pada Allah dan menjalankan semua perintahnya agak tidak diganggu setan atau iblis. Film-film horor era ini rasanya banyak memiliki pesan yang senada.

Dengan segala pencapaian versi orisinalnya, tentu saya penasaran bagaimana, Joko Anwar, salah satu sineas piawai kita, me-remake filmnya. Pengabdi Setan versi remake ini muncul di tengah mood penonton yang bagus akan film horor, setelah sukses fenomenal Danur pertengahan tahun ini. Dan ternyata, sang sineas mampu menggarap remake-nya dengan sangat baik. Alur cerita memang jauh berbeda dengan versi aslinya dan beberapa tokoh pun ditambah, dengan pesan akhir yang berbeda pula.

Segmen awal film, tidak hanya sekedar mampu menyajikan latar informasi cerita, namun juga gelagat nuansa horornya. Bangunan rumah lawas, baik eksterior dan interiornya turut membantu membangun ini. Sang ibu yang tengah sakit berada di kamar atas, dan kita semua tahu teror bakal bersumber di sini. Memang, terasa sedikit janggal pada adegan awal ketika Rini masuk ke kamar ibunya, ia sudah tampak was-was dan takut, dan herannya sang ibu pun sudah dirias wajahnya sedemikian seram. Namun, menit-menit berikutnya dengan berbekal suara kelinting bel adalah segmen terbaik filmnya. Walau tak lagi baru triknya, namun sensasi menonton yang kita rasakan sama persis ketika menonton film-film horor barat yang mapan. Sekitar 20 menit awal filmnya, memang istimewa sekali. Adegan tahlilan yang termasyur di versi aslinya juga kembali disajikan di sini.

Baca Juga  HEADSHOT: Action Yang Menggemaskan

Sejak masuk ke babak kedua, entah mengapa semuanya menjadi berubah drastis. Suasana teror dan horor menjadi terasa berbeda padahal mood-nya sama dengan sebelumnya. Bisa jadi karena misteri kematian sang ibu dan teror sedikit mulai terkuak. Semakin alur kisah berjalan, ketegangan justru semakin menurun karena kisahnya menjadi mudah untuk diantisipasi. Lubang plot serta aksi terlihat mulai dipaksakan untuk mengarahkan alur cerita ke arah yang dituju. Hal kecil-kecil memang, namun terasa sekali mengganjal yang sebenarnya bisa dibuat lebih halus lagi. Mengapa surat yang begitu penting, baru dibaca Rini ketika situasi relatif tenang padahal banyak sekali peristiwa terjadi sebelumnya. Suara bacaan “ayat setan” yang ada di balik rekaman piring hitam sang ibu, tidak dimaksudkan apa-apa? Yah, walau terasa aneh tapi masih bisa dimaklumi. Kejutan klimaks pun terasa kurang menendang pula.

Versi aslinya yang memiliki pesan religius yang kuat kini tidak lagi ada. Sentilan-sentilan versi aslinya, macam, “Kamu tidak shalat?”, dipakai untuk memancing seolah filmnya bakal mengarah ke sini, namun nyatanya tidak sama sekali. Kematian Pak Ustaz semakin mempertegas itu semua. Kabur memang bicara motifnya. Sama abu-abunya dengan adegan penutup filmnya dengan dua tokoh baru nan misterius. “Sekarang kita harus memastikan mereka tidak ke mana-mana lagi?” ujar satu dari mereka. Siapa mereka dan mengapa? Pasangan iblis yang menjadi pembuat skenario semua tragedi ini (dan film pertama mungkin)? Ataukah ini semua hanya metafora sederhana menandakan Iblis selalu ada di sekitar kita? Bisa jadi. Entahlah, yang jelas mereka sudah menanam benih (biji warna merah) nyaris di seluruh negeri ini (peta Indonesia yang telah ditandai). Satu hal lagi  yang jelas adalah anak iblis telah lahir dan setahun setelahnya tidak ada sesuatu pun yang terjadi. Semua baik-baik saja sepertinya.

Menurunnya tensi ketegangan plot dan ending yang ambigu, tidak lantas menurunkan kualitas film ini secara keseluruhan. Setting yang meyakinkan, ilustrasi musik yang sulit membuat kita tenang, serta beberapa segmen horor yang mencekam cukup untuk membuat Pengabdi Setan versi modern ini adalah salah satu film horor terbaik produksi negeri ini. Film ini membuktikan bahwa kita sebenarnya mampu memproduksi film horor berkualitas tinggi jika kita mau. Tidak semata lagi bicara soal berapa juta penonton dan pecah rekor saja. Film bagus tidak ada hubungannya dengan ini semua.

WATCH TRAILER

1
2
Artikel SebelumnyaPengabdi Setan
Artikel BerikutnyaRuqyah: The Exorcism
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.