Paper Boat (2012)
111 min|Drama, Romance|16 Aug 2012
7.0Rating: 7.0 / 10 from 632 usersMetascore: N/A
Tidal relationship between two human beings, Kugy (Maudy Ayunda) and Keenan (Adipati Dolken). Kugy is a tomboyish girl, cheerful, and who believes that she is the agent of Neptune.

Film yang diadaptasi dari novel Perahu kertas karangan Dewi Lestari ini konon akan diangkat kisahnya menjadi dua film. Film ini bercerita tentang dua orang remaja, Keenan (Adipati Dolken) dan Kugy (Maudy Ayunda). Awal kisah mereka bermulai dari pertemuan di stasiun kereta. Kugy adalah lulusan SMA yang baru saja kuliah di Bandung. Ia hobi menulis dongeng sehingga ia masuk ke jurusan sastra. Keenan baru pulang dari Belanda dan kuliah di jurusan ekonomi karena tuntutan ayahnya dan ia juga memilki hobi melukis. Awal bertemu mereka terlihat sangat akrab. Keenan tertarik dengan bakat Kugy begitu pula sebaliknya. Hubungan persahabatan merenggang ketika Wanda (Kimberly Ryder) berusaha mendekati Keenan, apalagi setelah ia memasang semua lukisan Keenan di galeri lukisan milik ayahnya. Belakangan Keenan pun juga tahu bahwa Kugy ternyata sudah memiliki pacar sejak SMA.

Cerita film berjalan dengan tempo cepat. Perubahan cerita dan munculnya konflik yang semakin meningkat menjadi menarik untuk diikuti jalan ceritanya. Kedua tokoh utama yang sama-sama punya bakat dan dekat dengan dunia seni menjadi bumbu penyedap film ini. Satu adegan yang sangat menarik ketika Keenan membaca dongeng milik Kugy dan mencoba memvisualisasikan tokoh-tokohnya dalam bentuk lukisan karikatur. Di sini chemistry mereka berdua terbangun cukup baik. Mereka asyik dengan dunia mereka sendiri namun menghargai kelebihan satu sama lain. Apalagi setelah masuknya Keenan sebagai agen Neptunus ke dunia dongeng (dunia Neptunus), yang diciptakan oleh Kugy. Kedekatan hubungan mereka dibangun intens sejak awal cerita. Namun sayangnya sisi seni dongeng dan lukis kurang digali lebih jauh lagi, contohnya saja Kugy ketika adegan di sekolah lit dengan setting yang hampir menyerupai negeri dongeng kurang menyatu pada cerita utamanya. Alangkah lebih kuat apabila sisi dongeng lebih dikuak dan bisa saja dihubungkan dengan “Dunia Neptunus” atau bisa pula skripsi yang dibuat oleh Kugy. Namun disayangkan pula sekali plot “sekolah Alit” yang menarik ini hilang di tiga perempat film.

Baca Juga  Brandal-Brandal Ciliwung, Bicara Pluralisme dan Lingkungan

Setelah mereka berpisah dan lulus kuliah, cerita berjalan dengan simultan menggambarkan kehidupan mereka berdua secara terpisah. Penyelesaian film ini dibuat mengambang dan tanpa penyelesaian yang jelas (bisa jadi baru terjawab di film keduanya). Kugy akhirnya berpacaran dengan bosnya di kantor dan Keenan juga menjalin cinta dengan seorang gadis Bali. Apakah Kugy dan Kenann mencintai dan bahagia dengan pasangannya masing-masing juga masih tak jelas. Tak ada chemistry sedekat Kugy dan Kennan ketika di awal cerita. Akhir cerita Keennan dan Kugy bertemu lagi. Apakah “radar Neptunus” (simbol ikatan batin dalam dunia dongeng mereka) yang mempertemukan mereka? Atau hanyalah kebetulan semata? Semuanya masih belum terjawab.

Seperti film-film Hanung sebelumnya, film ini secara teknis sudah baik. Salah satu yang menonjol adalah aspek musik yang mengiringi setiap adegannya sangat pas mendukung romantisme hubungan Kugy dan Keenan. Beberapa setting cukup menarik adalah ketika di sekolah alit yang kental sekali dengan suasana anak-anak dan negeri dongeng. Kali ini Hanung memproduksi film drama remaja yang ringan dan menghibur namun alangkah indahnya kalau ada pesan moral tentang kehidupan yang akan memperdalam cerita filmnya.

Artikel SebelumnyaBrandal-Brandal Ciliwung, Bicara Pluralisme dan Lingkungan
Artikel BerikutnyaBatman Versi Komik
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.