perang kota

Hari itu nampak damai. Orang-orang melakukan aktivitas seperti biasa. Fatimah (Ariel Tatum) dan Salim, putranya, berjalan menuju toko sembako. Namun kedamaian itu kemudian terusik ketika datang jeep berisikan serdadu sekutu dan Belanda. Warga pun kocar-kacir, pemilik toko dibunuh, dan Fatimah bersama putranya bersembunyi. Itulah adegan pembuka Perang Kota yang diangkat dari novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis.

Adegan beralih mengenalkan sosok Isa (Chicco Jerikho) dengan biolanya. Ia berjumpa dengan Hazil (Jerome Kurnia), murid les biolanya. Keduanya memikirkan strategi mereka untuk menyelundupkan senjata dan membidik seorang petinggi musuh. Upaya pertama mereka gagal. Kini mereka memikirkan strategi lainnya.

Memasang judul Perang Kota, harapan penulis film ini banyak menampilkan adegan baku tembak antara pasukan musuh dan pejuang bawah tanah. Setidaknya, suasana mencekam peperangan saat Agresi Militer Belanda hadir di layar. Namun sayangnya hingga film berakhir, adegan baku tembak tersebut minim dihadirkan. Rasa kekuatiran dan ketakutan warga juga jarang terlihat. Hampa dan datar. Malah yang dominan adalah gerak-gerik Isa dan Hazil dengan pakaian dan dandanan parlente yang nampak mencolok di situasi yang ricuh. Begitu juga dengan Fatimah yang selalu bergaya modis untuk ukuran masa itu, meski selalu mengeluh beras habis dan ini itu.

Antara judul dan isi filmnya kurang sinkron. Malah bukan ketegangan warga dan situasi perang yang ditonjolkan dalam film ini. Melainkan, film ini beberapa kali dihiasi adegan panas antara Fatimah dan suaminya, beserta pria lainnya, yang membuat risih penonton yang berharap banyak ke film ini.

Memang di dalam novel disebutkan bagian Isa yang mengalami impotensi karena trauma. Begitu juga dengan perselingkuhan yang dilakukan Fatimah. Hanya bagian tersebut disampaikan secuil di novel, tidak berlebihan. Sementara film ini kurang jelas, karena Mouly Surya selaku penulis naskah dan sutradara hanya mengambil beberapa bagian dalam novel dan kemudian mengembangkan ceritanya secara bebas. Ada banyak detail, karakterisasi tokoh, dan cerita di film ini yang jauh berbeda dari versi novelnya yang dirilis tahun 1952. Sebenarnya itu tidak masalah, namun yang menganggu adalah judulnya yang seperti click bait karena tidak sesuai dengan isi filmnya.

Baca Juga  Mariposa

Dari segi visual, kostum, dan divisi properti artistik semuanya memang nampak mewah. Namun sayangnya lagi-lagi kostum tersebut nampak kurang sesuai dengan situasi masa tersebut. Pasukan Gurkha yang ada dalam film ini juga nampaknya salah persepsi dengan tentara Sikh, bagian dari pasukan Inggris. Ada beberapa hal yang kurang akurat dengan sejarah, apakah risetnya kurang mendalam? Beberapa dialog, utamanya dialog Fatimah juga rasanya dangkal. Karakter Fatimah memang lebih tereksplorasi di film, namun sayangnya yang menonjol malah sisi liarnya. Poin keunggulan dari film ini hanya lagu-lagu klasik yang dimainkan dengan biola. Ada Summertime dari George Gerswhin dan The Skaters’ Waltz karya Émile Waldteufel.

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaHoly Night: Demon Hunters | REVIEW
Artikel BerikutnyaFinal Destination: Bloodlines | REVIEW
Dewi Puspasari akrab disapa Puspa atau Dewi. Minat menulis dengan topik film dimulai sejak tahun 2008. Ia pernah meraih dua kali nominasi Kompasiana Awards untuk best spesific interest karena sering menulis di rubrik film. Ia juga pernah menjadi salah satu pemenang di lomba ulas film Kemdikbud 2020, reviewer of the Month untuk penulis film di aplikasi Recome, dan pernah menjadi kontributor eksklusif untuk rubrik hiburan di UCNews. Ia juga punya beberapa buku tentang film yang dibuat keroyokan. Buku-buku tersebut adalah Sinema Indonesia Apa Kabar, Sejarah dan Perjuangan Bangsa dalam Bingkai Sinema, Antologi Skenario Film Pendek, juga Perempuan dan Sinema.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses