Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief (2010)
118 min|Adventure, Family, Fantasy|12 Feb 2010
5.9Rating: 5.9 / 10 from 207,793 usersMetascore: 47
A teenager discovers he's the descendant of a Greek god and sets out on an adventure to settle an on-going battle between the gods.

Percy Jackson and the Olympians: The Lightning Thief merupakan film fantasi petualangan yang diadaptasi dari novel laris berjudul sama karya Rick Riordan. Film ini digarap sineas spesialis film anak-anak, Chris Columbus yang sukses dengan seri Home Alone dan Harry Potter. Filmnya dibintangi oleh bintang-bintang muda yakni, Logan Lerman, Alexandra Daddario, serta didampingi aktor-aktris ternama seperti, Pierce Brosnan, Uma Thurman, Chaterine Keener, Sean Bean, Rosario Dawson, serta Steve Coogan.

Mitos dewa-dewi Yunani rupanya tak sekedar hanya mitos belaka. Mereka masih eksis hingga kini dan ada ditengah-tengah manusia. Suatu ketika Zeus (Bean) marah besar karena tongkat petirnya dicuri seseorang dan ia menuduh anak Poseidon yang mencurinya. Perang antar Dewa tak lama akan terjadi. Di tempat lain, Percy Jackson tampaknya adalah seorang pemuda biasa namun ia adalah setengah dewa, anak dari Poseidon. Percy diincar banyak pihak sehingga ia akhirnya terpaksa masuk ke kamp pelatihan anak para dewa namun dalam perjalanan kesana sang ibu tewas. Setelah menjalani latihan beberapa waktu Percy mengetahui jika ibunya ternyata ditahan oleh Hades (Coogan). Bersama dua rekannya, Grover dan Anabeth, Percy terlibat dalam sebuah petualangan seru untuk menyelamatkan sang ibu.

Tak salah jika banyak orang berkomentar jika film ini adalah “imitasi” dari seri Harry Potter, hanya saja bedanya cerita film ini menempel pada mitos dewa-dewi Yunani. Tak masalah, bahkan bisa dibilang ide ceritanya cukup orisinil. Seseorang yang menyebut film ini terlalu dibuat-buat rasanya terlalu berlebihan karena kisahnya sama saja dengan seri Potter yang sama-sama “mencuri” mitos dari mana-mana. Masalahnya bukan pada cerita namun pada treatment ceritanya. Seri Potter kisahnya terstruktur dengan rapi, rinci, serta tidak tergesa-gesa. Sementara Percy cenderung lebih menonjolkan sisi aksi dengan banyak detil cerita (sisi dramatik) yang hilang.

Baca Juga  Krampus

Banyak hal yang sepertinya penting dalam cerita filmnya masih tak jelas. Satu pertanyaan bodoh yang sangat menggangu selama menonton. Jika dewa-dewi tersebut sudah hidup ribuan tahun mengapa mereka dikisahkan hanya memiliki satu anak saja? Entahlah atau memang lainnya belum dikisahkan. Agak aneh juga jika semua anak dewa berkumpul hanya di wilayah Amerika bahkan umur mereka pun relatif sama. Lalu tak jelas pula bagaimana bisa Zeus, rajanya para dewa, kehilangan tongkat petirnya? Pertanyaan yang tak terjawab hingga akhir filmnya. Tampak jika materi cerita filmnya sebenarnya memiliki potensi cerita yang menarik namun penulis tidak mampu mengembangkannya dengan baik.

Bicara pencapaian estetik jika dibandingkan Potter, Percy jelas jauh dibawah. Ibaratnya Percy seperti versi independen Potter. Tidak seperti Potter yang banyak menggunakan setting outdor dan interior yang sangat megah, Percy lebih banyak menggunakan shot on location, bahkan sekolah khusus Percy pun lebih tampak seperti kamp musim panas. Masak iya sih sekolah anak dewa seperti ini? Underworld (neraka) digambarkan cukup menawan tapi tidak demikian halnya dengan istana Zeus (Gng. Olympus) yang tampak artifisial. Karakter-karakter mistik seperti Minatour, Medusa, dan Hydra divisualisasikan cukup lumayan namun tak ada sesuatu yang baru. Bisa jadi bujet yang hanya $95 juta mempengaruhi pencapaian estetik (set) serta serta efek visualnya (CGI) yang memang inferior jika dibandingkan film-film Potter.

Seperti halnya Potter, Percy juga didukung oleh bintang-bintang senior yang bermain apik. Siapa menduga bintang-bintang top sekelas mereka mau bermain sebagai karakter-karakter mistik dengan berwujud aneh-aneh. Brosnan bermain sebagai Brunner, seorang Centaur, setengah manusia setengah kuda. Thurman bermain dingin sebagai Medusa, mahluk mistik berkepala ular. Lalu Sean Bean rasanya kurang pantas bermain sebagai Zeus. Apa tidak terlalu muda? Sementara bintang-bintang mudanya, seperti Lerman dan Daddario bermain lumayan. Mereka rasanya bisa bermain lebih baik dalam sekuel-sekuel Percy berikutnya.

Percy sebenarnya memiliki ide serta potensi cerita yang segar, namun sayangnya naskahnya kurang tergarap dengan apik. Baik dari sisi cerita maupun estetik semuanya serba tanggung. Sekuel film keduanya telah menanti dan kita harapkan saja filmnya jauh lebih baik dari ini.

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaThe Wolfman
Artikel BerikutnyaClash of the Titans
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.