Perempuan Bergaun Merah


Rapi Films tampaknya tengah menggencarkan produksi film-film horornya. Setelah pekan lalu merilis Qodrat, RF menghadirkan kisah horor lagi kepada khalayak bersama Frontier Pictures, Legacy Pictures, dan Brown Entertainment lewat Perempuan Bergaun Merah. William Chandra yang baru dua kali mengerjakan naskah film horor (MatiAnak dan Sekte) didapuk sebagai penulis skenario sekaligus sutradara, serta turut andil dalam editing. Apa sebenarnya yang mereka lakukan dengan semua ini. Perempuan Bergaun Merah diperani oleh Tatjana Saphira, Stella Cornelia, Dewi Pakis, Dayu Wijanto, Refal Hady, dan Aufa Assagaf. Dengan unsur Tionghoa dalam sebagian ceritanya, bagaimana Chandra menulis dan mengarahkan film horor ketiganya ini?

Sepasang sahabat dekat, Dinda (Tatjana) dan Kara (Cornelia) tengah bersiap hendak nongkrong bareng teman-teman Kara. Namun mereka justru mampir ke rumah Kara untuk berpesta di sana. Meski Dinda ragu dan was-was, Kara dengan santainya tak mempermasalahkan apapun sambil terus mengabaikan kekasihnya sendiri, Putra (Refal Hady). Suasana seru dengan pertukaran minuman dan gelak tawa mengalir deras kemudian. Sampai Dinda hampir mengalami sebuah tragedi, dan tiba-tiba tersadar bahwa Kara telah hilang entah ke mana. Bersamaan dengan hilangnya Kara, keanehan pun terjadi.

Perempuan Bergaun Merah adalah salah satu film horor paling konyol tahun ini, baik dari segi naratif, sinematik, bahkan tentang konteks, isu, atau temanya. Ketika film-film horor kita masih kekurangan subteks sentimental, moralitas, atau konsekuensi, Perempuan Bergaun Merah memperparah kondisi itu. Jangan heran bila di sepanjang menonton, kita bakal amat sering menggelengkan kepala. Sangking semrawut eksekusi cerita, karakterisasi, dan estetiknya. Bayangkan saja, ketika ada seorang tokoh dengan karakter tidak konsisten di sepanjang cerita. Perempuan Bergaun Merah punya lebih dari satu tokoh yang seperti itu. Karakterisasi mereka cepat sekali berubah-ubah. Tadinya memberi perhatian yang besar, sesaat kemudian jadi tak peduli tanpa alasan jelas.

Perempuan Bergaun Merah sudah menebar banyak masalah sejak segmen pembukanya. Misalnya, ketika ada sekelompok orang yang baru bertemu Dinda (Tatjana), sudah tampak akrab dengan saling bertukar minuman. Namun beberapa waktu kemudian tak ada yang peduli, walau ada salah satu di antara mereka yang (hampir) diperkosa. Sementara mereka semua masih dalam satu bangunan rumah yang sama. Mari kita beri juga “tepuk tangan yang meriah” kepada Stella Cornelia dengan perannya sebagai Kara. Tokoh yang rupanya oleh Chandra diberi karakter ambigu, serta harus mengucapkan dialog-dialog dengan kata-kata yang aneh. Jelas sekali sutradara ini masih butuh lebih banyak lagi belajar, bila masih ingin bertahan menggarap genre horor. Terutama dalam menciptakan karakter.

Baca Juga  Scandal Makers

Perkara penceritaan pun kian diobrak-abrik oleh peran editing. Teguh Raharjo yang telah banyak mengerjakan editing film-film horor sejak 2018, masih saja belum memperbaiki cara-caranya dalam menyusun cerita lewat pekerjaannya. Ditambah lagi, ternyata ada campur tangan sang sutradara dalam mengerjakan penyuntingan gambarnya. Entah apa yang mereka berdua pikirkan saat mengedit, sehingga menghasilkan Perempuan Bergaun Merah dengan editing yang sedemikian kasar. Menggarap susunan semua ceritanya dengan transisi yang patah-patah dari satu lokasi ke lokasi lainnya.

Paling konyol lagi adalah motif dari si hantu. Kita tahu, bahwa arwah penasaran pembalas dendam pasti menargetkan para pembunuhnya, atau setidaknya orang-orang yang terkait dengan kematiannya. Banyak film horor memosisikan sosok-sosok hantu mereka demikian. Namun hantu Perempuan Bergaun Merah bahkan mengincar orang-orang yang tak berhubungan dengan nasib malangnya. Parahnya lagi, dia mengejar-ngejar sesama korban, bahkan meneror adiknya. Bila kemudian motifnya adalah meminta pertolongan, tak perlu sampai menyakiti tentunya. Ada banyak cara bagi sesosok hantu untuk meminta bantuan teman dekatnya saat masih hidup. Si hantu lantas tiba-tiba tersadar dan berubah jadi baik, hanya karena tuntutannya terpenuhi.

Hanya ada tiga hal yang dapat menahan penonton tetap duduk di tempat masing-masing selama menyaksikan Perempuan Bergaun Merah. Keberadaan Tatjana Saphira secara visual, adanya budaya Tionghoa dalam sebuah film horor, serta keberanian untuk menampilkan adegan-adegan sadis. Untuk poin yang terakhir, boleh jadi ada pengaruh dari salah seorang produser di sana, yakni Timo Tjahjanto. Walau aspek kebudayaan Tionghoa dalam menyikapi hal-hal mistis, kematian, orang hilang, hingga sosok hantu pun tidaklah kental. Kalau saja cerita film ini dikerjakan dengan naskah yang berbeda sejak babak pertamanya. Kalau saja Chandra bisa lebih bersabar dan memaksimalkan potensi dari kebudayaan Tionghoa tersebut dan sisi misteri dari salah seorang tokoh yang tiba-tiba hilang.

Perempuan Bergaun Merah tampil dengan kepercayaan diri berlebihan, padahal dari naskahnya saja sudah semrawut. Chandra, yang rupanya menulis sendiri skenario film ini tak mampu menjaga konsistensi dan nilai humanis dalam karakter buatannya. Respect atau bisa berempati ke para tokohnya, termasuk Kara dan Dinda yang menjadi korban? Tidak sama sekali. Sebuah bukti bahwa Chandra gagal dalam menciptakan karakter rekaannya dengan baik dan matang. Dia seakan hanya mau mempertunjukkan kebrutalan, tanpa substansi cerita yang esensial. Atau setidaknya terlihat konkret hendak bicara soal apa. Bukan lantas melulu tentang sesosok setan yaang “berkeliling” melakukan sweeping mematahkan badan setiap targetnya.

PENILAIAN KAMI
Overall
30 %
Artikel SebelumnyaAftersun
Artikel BerikutnyaHow to Extract a Zipped File
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.