Rahasia dan rasa percaya dalam hubungan suami-istri “mungkin saja” bisa rusak, hanya karena masalah informasi pribadi dalam ponsel. Sedikit perhatian dari Paolo Genovese lewat film Perfect Strangers (2016) arahannya. Rako Prijanto, menggunakan skenario garapan Alim Sudio membuat versi Indonesia-nya dengan judul sama. Drama komedi produksi Falcon Pictures yang rilis di Prime Video ini diperankan antara lain oleh Vino G. Bastian, Adipati Dolken, Clara Bernadeth, Darius Sinathrya, Nadine Alexandra, Denny (Densu) Sumargo, dan Jessica Mila. Kita tahu perusahaan ini telah mendanai beberapa film dengan topik-topik yang bukan umum di Indonesia, bagaimana dengan Perfect Strangers?
Datang sebuah undangan perayaan tempat tinggal baru pasangan Enrico (Darius) dan Eva (Alexandra), kepada pasangan Wisnu (Dolken) dan Imelda (Clara), Anjas (Densu) dan Kesha (Mila), serta Tomo (Vino). Pesta tersebut berlangsung dengan makan malam mewah bersama di rumah baru Rico dan Eva. Namun Eva kemudian mengusulkan sebuah permainan yang menantang kejujuran dan kepercayaan mereka bertujuh. Wajah semua yang hadir memucat, mereka saling lirik. Permainan tersebut bisa jadi seru, tetapi bisa jadi pula “mematikan”.
Konsep skenario dengan What If plot memang bukan sekali ini saja kita lihat. Tahun lalu ada satu film Indonesia juga yang memakai konsep tersebut, namun lewat perantara diskusi para tokoh di meja kreatif. Persepsi adalah filmnya. Para tokoh dalam film itu merembukkan naskah yang nantinya mereka mainkan dalam satu meja. Meski hampir serupa, tetapi Perfect Strangers memilih eksekusi berupa imajinasi. Sineas, mengimajinasikan cerita dalam naskahnya dengan satu kemungkinan paling kuat, tergantung pilihan dari salah seorang tokoh terhadap sebuah usulan.
Perfect Strangers pun sebisa mungkin mengaitkan imajinasi tersebut dengan cerita mitos ihwal gerhana bulan. Dari mitos ala Jawa dengan sosok Batara Kala, Manusia Serigala dari Eropa, sampai mitos-mitos lainnya. Persis film sumbernya, Perfect Strangers (2016) Italia. Bahkan bisa dibilang film ini punya kemiripan dengan versi Italia-nya hingga sebesar 80%. Baik dan buruk. Tergantung bagaimana sineas mengerjakan versi Indonesia ini. Apakah ada suatu tawaran tersendiri yang genuine dari orang-orang yang mengerjakannya, ataukah tidak. Termasuk dari para bintangnya.
Walau dengan kemiripannya yang teramat banyak, Perfect Strangers kita tampil dengan halus dan terorganisir. Langkah demi langkah dari setiap adegan ke adegan sesudahnya pun memiliki jembatan kausalitas dengan kronologi yang runtut. Boleh jadi keinginan untuk memperhalus inilah yang membedakan durasi Perfect Strangers kita menjadi lebih panjang 30 menit, ketimbang versi Italia-nya. Kita merasakan berlalunya cerita dalam versi Indonesia dengan tempo yang tidak terburu-buru. Bandingkan saja dengan versi Italia-nya yang serba cepat dan tergesa-gesa. Ada banyak peristiwa hadir secara tiba-tiba. Baik Alim maupun Rako tampaknya menemukan celah-celah itu, kemudian memperbaikinya lewat Perfect Strangers garapan mereka.
Kekuatan akting para pemainnya juga mumpuni. Terutama betapa baiknya salah satu bintang terbaik kita, Vino G. Bastian dalam membawakan karakterisasi seorang Tomo. Dengan rahasia besar dan pemikiran terpendamnya, jika rahasia tersebut akhirnya diketahui oleh semua teman-temannya. Bagian paling “ganas”-nya adalah pada momen Vino melalui sosok Tomo melontarkan kritikan pedas terhadap ketiga temannya, tentang respons spontan mereka mengenai sebuah perbedaan. Apalagi jika perbedaan tersebut amat tabu. Kekecewaan Tomo dan kemuakannya meluap-luap untuk ketiga teman masa kecilnya sendiri. Lalu Vino dapat mengantarkannya dengan brilian. Tidak akan heran jika saat menonton momentum kemuakan dari Vino tersebut, dapat terpicu untuk menangis.
Perfect Stangers dengan setting terbatasnya (meja makan dan sekitarnya), dalam beberapa kesempatan mudah diikuti meski tanpa melihat ke layar. Ini memang jadi salah satu kelemahan film-film dalam negeri dengan naskah yang mengandung banyak dialog. Sekadar penjelasan lewat kata-kata belaka tanpa didampingi oleh visual yang dinamis hanya akan ditonton sambil memejamkan mata. Toh mereka –ketujuh tokoh sentral kita—tidak akan banyak beranjak dari tempat makan. Setting terbatas juga lazimnya dibikin menegangkan lewat adegan telepon. Sebut saja The Guilty. Namun kenaikan tensi Perfect Strangers justru datang dari ketujuh orang yang berada di meja makan.
Perfect Strangers membawakan cerita serupa dengan eksekusi yang lebih halus, walau masih ada saja bagian-bagian tipis yang dipaksakan. Dan pertanyaan terbesar untuk sang penulis, Alim, memangnya kursus yang diikuti oleh Imelda haruslah Bahasa Italia? Hanya karena film sumbernya adalah dari Italia. Salah satu isunya pun rupanya disamakan. Isu sensitif dan kontroversial di Indonesia yang diangkat melalui sosok Tomo dan pandangannya. Terlepas dari konsep What If dalam Perfect Strangers yang –bagaimanapun alasannya—bukanlah orisinal dari Alim maupun Rako. Versi Italianya toh menggunakan itu. Olah peran dari para bintangnya (terkhusus Vino) serta jembatan antarmomen, sesi, peristiwa, dan adegannya hadir dengan lebih baik.