Pet Sematary (2019)
100 min|Horror, Mystery, Thriller|05 Apr 2019
5.7Rating: 5.7 / 10 from 101,709 usersMetascore: 57
Dr. Louis Creed and his wife, Rachel, relocate from Boston to rural Maine with their two young children. The couple soon discover a mysterious burial ground hidden deep in the woods near their new home.

Pet Sematary adalah film remake yang dulu pernah diproduksi pada tahun 1989. Adaptasi novel King, kini menjadi tren sejak sukses luar biasa It (2017) yang sekuelnya juga bakal dirilis tahun ini. Hebatnya lagi, dua adaptasi novel King lainnya, juga akan dirilis tahun ini, yakni In the Tall Grass dan Doctor Sleep, serta beberapa produksi lainnya yang masih dalam tahap pengembangan naskah. Film remake ini diarahkan oleh duo sineas, Kevin Kolsch dan David Widmyer. Film ini dibintangi Jason Clarke, John Lithgow, serta Amy Seimetz. Pertanyaannya sederhana, apakah film remake-nya kali ini lebih baik dari film aslinya?

Louise bersama istrinya Rachel dan kedua anaknya, Ellie “El” dan Gage, pindah ke kota kecil untuk mencari ketenangan di mana rumah mereka terletak di pinggir hutan. Tempat tinggal mereka ternyata tak jauh dari kuburan hewan peliharaan yang berlokasi di tengah hutan. Suatu ketika, kucing kesayangan Ellie, Church, secara tak sengaja tewas tertabrak truk yang selalu melintas cepat di depan rumah mereka. Judd, tetangga mereka, menyarankan Louise untuk mengubur jasad Church di pemakaman hewan tak jauh dari rumah mereka. Tanpa setahu Louise, makam tua tersebut ternyata memiliki kekuatan gelap yang mampu membangkitkan jasad yang sudah mati.

Bagi yang sudah menonton film aslinya, rasanya bakal mampu menikmati film ini lebih baik. Separuh awal kisahnya memang nyaris sama dengan film lawasnya. Jujur saja, sejak awal saya merasa pesimis karena bagi yang sudah menonton film aslinya, apa lagi cerita yang bisa menjadi kejutan? Tak diduga, alur plotnya mengambil arah yang sama sekali berbeda. Sosok El yang dulu tak banyak berperan, kini menjadi kunci cerita filmnya. Justru sang balita Gage, kini tak berdampak pada alur utama cerita. Separuh plot filmnya hingga akhir menjadi kejutan terbesar filmnya.

Baca Juga  Melawan Qodrat 2

Ketimbang horor, film ini lebih terasa sebagai film thriller yang menjadi keunikan film horor adaptasi King. Pengadeganan segmen klimaks film ini, banyak sekali mengingatkan pada horor masterpiece, The Shinning yang juga adaptasi King. Saya tak tahu seberapa jauh naskahnya melenceng dari novelnya, yang jelas apa yang disajikan kisahnya kini, jauh melebihi film aslinya. Klimaks film ini hingga ending, boleh saya katakan sebagai salah satu yang terbaik untuk genrenya. Namun, sayangnya film ini bukan tanpa cacat karena di beberapa adegan tampak janggal ketika waktu berpindah dengan cepat dari siang ke malam. Lalu apa maksud prosesi yang ada di awal film, ini juga tak jelas.

Elemen estetik film ini sebenarnya tergolong sederhana untuk genrenya. Namun, sineas begitu terampil mempermainkan sisi teknisnya untuk menyajikan unsur kejutan dan ketegangan melalui sudut kamera, pencahayaan, editing, hingga yang paling dominan adalah unsur musik dan suara. Satu contohnya adalah adegan kecelakaan truk yang mampu disajikan begitu menegangkan yang tentunya memberi kejutan besar bagi penikmat film lawasnya. Juga layaknya film horor klasik, jump scare yang lazim digunakan kini jarang sekali digunakan. Kekuatan adegannya ada pada sisi ketegangan bukan pada trik horornya. Satu kekuatan film ini juga terletak pada permainan akting para tokoh utamanya, khususnya si bintang cilik pendatang baru, Jete Laurence yang bermain sebagai El. Siapa sangka, sang gadis cilik ini yang mampu bermain manis ternyata bisa pula bermain amat buas.

Dengan dukungan kuat nyaris semua elemen estetiknya dan horor khas Stephen King, Pet Sematary adalah film remake yang mampu melebihi film orisinalnya yang diproduksi 30 tahun lalu. Seperti halnya Halloween baru lalu, Pet Sematary mampu memberi penyegaran kembali genrenya di tengah film-film horor kekinian yang mengandalkan jumpscare semata. Tradisi me-remake film horor lawas rupanya kini tengah menjadi tren dan semoga saja ke depan formula segar bakal muncul, baik sisi kisah maupun kemasan teknisnya. Uniknya pula, bicara soal pesan keluarga yang menjadi tradisi genrenya, bisa jadi Pet Sematary justru bicara masalah invasi warga pendatang terhadap warga lokal (Indian) yang semakin terpinggir. Kaum pendatang diibaratkan zombi. Benar tidak?

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaThe Quake
Artikel BerikutnyaHotel Mumbai
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses