Melacak sejarah adalah salah satu cara memahami karakteristik perfilman. Dalam hal ini, Asrul Sani pernah menulis penyataan menarik ketika mengantar Pantulan Layar Putih (1991), kumpulan tulisan kritikus film, Salim Said. Ia mengutarakan, “Jika orang ingin membaca sejarah film di negeri kita, maka tidak ada jalan yang lebih baik daripada membaca kritik-kritik yang dibuat oleh kritikus yang serius.”
Barangkali akan lebih relevan hari ini bila bagian terakhir kalimat itu diperluas menjadi “tulisan-tulisan tentang film yang serius”. Sebab, selain kritik, tentunya ulasan, kajian, hingga karya jurnalistik juga terhitung penting untuk membaca kondisi perfilman pada masa tertentu. Pertanyaanya kemudian, seperti apa “tulisan-tulisan tentang film yang serius” itu?
Masing-masing orang bisa punya ukuran sendiri tentang apa yang dimaksud serius. Sejumlah pendapat di liputan Beritagar tentang diskusi kritik film ini mungkin menganggap karya kritik lebih serius ketimbang ulasan. Walau dalam tulisan itu pun, Eric Sasono menyatakan bahwa “kritik” dan “ulasan” adalah dua pendekatan berbeda. Ulasan menyiratkan rekomendasi bagi konsumen untuk menonton atau tidak menonton sebuah film. Kritik adalah analisis yang mengevaluasi kelayakan film. Dari dua definisi ini, mestinya jelas bahwa keduanya sangat bisa beririsan, sebagaimana sebuah tulisan bisa merupakan ulasan sekaligus kritik—walau tidak semua kritik mengambil berbentuk ulasan. Maka menurut saya, ulasan dan kritik bukanlah label yang menunjukkan tingkat keseriusan. Kedua pendekatan ini bisa sama-sama terdapat dalam tulisan yang digarap dengan serius ataupun kurang cermat.
Dari sudut pandang keilmuan, kajian-kajian film yang dilakukan para akademisi bisa saja dianggap lebih serius ketimbang kritik dan ulasan karena ditulis melalui prosedur yang ketat—seperti pengujian data dan teori—bahkan memperoleh legitimasi dari institusi.
Perlu diakui, kajian samacam ini telah memberi andil besar dalam menggambarkan perfilman Indonesia. Hanya saja, dinamikanya memang terlalu lambat untuk mengejar perkembangan industri film. Sebagian besar kajian yang mudah diakses publik karena sudah dibukukan, seperti Film, Ideologi, dan Militer (1999), Kuasa dalam Sinema (2009) serta Seks dalam Layar (2018)—untuk menyebut beberapa—berkutat hanya sampai sampai periode Orde Baru. Belum banyak kajian di luar kampus macam Menjagal Film Indonesia (2011) yang membicarakan industri film Indonesia abad 21. Garin Nugroho sampai turun gunung menulis Krisis dan Paradoks Film Indonesia (2015) bersama Dyna Herlina S., untuk memperpanjang nafas pencatatan sejarah film Indonesia sampai 2013 dengan banyak keterbatasan.
Jadi bisa dibilang, yang paling inklusif dan cepat mengejar perkembangan perfilman hari ini adalah tulisan-tulisan di media, terutama internet. Dan, di antara berbagai tulisan itu, yang biasanya paling diminati adalah ulasan atau kritik.
Awal Industri Kritik
Kita tentu tahu, internet telah melahirkan situs semacam IMDB, Rotten Tomatoes, hingga Metacritics. Dengan mengarsipkan ulasan, kritik, atau penilaian berbagai orang di dunia terhadap suatu film, situs-situs tersebut menjadi rujukan banyak orang untuk menentukan film mana yang akan, atau tidak akan ditonton.
Situs-situs itu tidak hanya menghimpun sumber yang berharga untuk membaca dunia perfilman, tapi juga memberi dampak langsung pada industri karena dapat memengaruhi jumlah penonton. Mereka merupakan bagian dari ekosistem perfilman yang berdiri menantang para pembuat film, yakni industri kritik.
Kritik, atau tulisan yang mengupas film, pada mulanya banyak digunakan sebagai jalan masuk ke industri film. Artikel “History Smackdown: The Evolution of Film Criticism” menyebut bahwa, pada awal 1900-an, banyak penulis menempuh jalur ini untuk mengincar tawaran sebagai penulis naskah dan sutradara di Hollywood.
Prancis adalah negara yang tak mungkin dilewatkan ketika membicarakan kritik dalam kaitannya dengan perubahan pola produksi film. Pada 1960-an, sekelompok anak muda, yang belajar film secara informal lewat menonton ratusan film di sinematek, mengkritik kemandegan perfilman Prancis lewat tulisan di jurnal film Cahiers du Cinema. Termasuk di antara mereka adalah Francois Truffaut, Claude Chabrol, dan Jean-Luc Godard.
Sebagai kritikus, mereka menjalin relasi dengan banyak pembuat film. Namun, relasi itu tidak mereka manfaatkan untuk mendapat tawaran masuk ke industri, melainkan untuk mengakses alat produksi dan kemudian membuat film secara independen. Breathless dan 400 Blows adalah dua judul awal film mereka yang mengacak-acak perfilman, bukan hanya Prancis, tapi juga Hollywood. Para jurnalis melabeli kesuksesan meraka dengan sebutan Gelombang Baru Prancis (French New Wave).
Industri Kritik Indonesia
Saat rubrik film mulai marak di media massa Amerika pada 1930-an, pengisinya adalah para jurnalis yang beralih dari kolom lain, biasanya kolom olahraga. Di Indonesia, rubrik film juga digarap oleh para wartawan. Tak jarang di antara mereka kemudian terjun sebagai penulis skenario dan sutradara. Sebutlah misalnya, Albert Balink (wartawan De Locomotief Semarang, yang membuat Pareh (1935) dan Terang Boelan (1937)), Andjar Asmara, (sutradara untuk Java Industrial Film sejak 1940), serta Kwee Tek Hoay (menulis naskah Boenga Roos dari Tjikembang (1931), adaptasi novelnya sendiri).
Pada 1950-an sampai pertengahan 1960-an, pembahasan film di media massa tampak meluas, baik dalam hal ruang maupun topiknya. Perkara ruang, kritik film mendapat tempat di banyak koran. Dalam “Sekilas Sejarah Kritik Film di Indonesia”, Ade Irwansyah menyebut di antaranya adalah Berita Minggu, Pos Indonesia, Hari Minggu, Berita Republik, Pikiran Rakyat, Indonesia Raya, Abadi, Siasat, Star Weekly, serta Surat Kabar Pedoman.
Sedang perkara topik, kritik film mulai menyentuh ranah konteks. Pada masa-masa yang identik dengan istilah revolusi ini, film, seperti halnya sastra, bukan hanya diperdebatkan aspek seninya, tapi juga ideologi politiknya.
Perdebatan seni pada periode ini kerap disebut sebagai Lekra lawan Manikebu. Seniman Lekra kerap mengecam film Hollywood sebagai pembawa ide imperialisme, dan sosok seperti Njoto menjunjung tinggi film beraliran neorealisme yang menurutnya sesuai dengan semangat revolusi. Di sisi lain, pihak Manikebu yang kerap dikecam sebagai liberal dan anti-revolusi mengkritik golongan kiri terlalu sibuk mengurusi politik hingga kurang mengembangkan dan mengapresiasi estetika. Bactiar Siagian dan Usmar Ismail adalah contoh sutradara dari masing-masing kubu yang kerap menulis esai tentang film dan berpolemik di media massa. Perdebatan ini berakhir bersama kalahnya golongan kiri di Indonesia dan berdirinya Orde Baru.
Memasuki 1970-an, industri film berkembang dalam segi modal. Jumlah produksi melonjak. Namun, rubrik film di media massa malah tampak digarap dengan kurang serius. Pada 1971, Chairil Rachman menjelaskan pada Tempo, “Umumnya, wartawan film suatu koran bukanlah tenaga inti.” Karena tugas utamanya menulis di rubrik lain, para wartawan ini tidak punya banyak waktu untuk mempelajari dan menulis tentang film. Malah kadang, mereka sekadar menjadi corong para pembuat film: produk tulisannya hanya mengulang pendapat produser atau sutradara tentang kebagusan filmnya sendiri.
Ketidakseriusan ini masih tampak pada koran nasional 2000-an, manakala rubrik filmnya masih banyak diisi orang-orang yang tak menguasai film. Dalam wawancara dengan Cinema Poetica, Hikmat Darmawan menyatakan, “Film masuk meja hiburan, dan sebagai hiburan, film hanya ditulis ala kadarnya. Tidak ada perhatian sungguh-sungguh. Bahkan untuk data. Banyak sekali kesalahan dalam penulisan, bahkan di media sekelas Kompas.”
Menariknya, menjelang 2000-an itu, justru sastrawanlah yang cukup serius menulis ulasan film di media massa, antara lain Seno Gumira Aji Darma, Danarto, dan Putu Wijaya. Para penulis itu menjadikan laku mengulas film sebagai cara melatih ketajaman berpikir. Hanya segelintir wartawan pengisi rubrik film yang lantas fokus dan cukup dikenal sebagai kritikus, salah satunya JB Kristanto.
Next: Media Film Alternatif