Kali terakhir horor dengan keterlibatan dominan anak-anak adalah seri Kuntilanak (2018, 2019, 2022) arahan Rizal Mantovani. Giliran Jose Poernomo yang belum pernah menorehkan prestasi melakukannya lewat adaptasi novel Petualangan Anak Penangkap Hantu (Petualangan APH). Dengan mengarahkan skenario yang digarapnya bersama Asma Nadia, sang empunya buku. Melalui produksi MNC Pictures, para pemerannya yaitu Muzakki Ramdhan, M. Adhiyat, Giselle Tambunan, Andy Boim, Adinda Thomas, Sujiwo Tejo, dan Agus Wibowo. Ada rasa lelah mengikuti rekam jejak Jose dengan film-film horornya yang tak menunjukkan kemajuan. Bagaimana dengan kali ini?
Sekelompok anak viral di media sosial lewat aktivitas penangkapan hantu. Mereka ialah Rafi (Ramdhan), Chacha (Giselle), dan Zidan (Adhiyat) yang menamai grup mereka sebagai Anak Penangkap Hantu (APH). Dibantu Bang Dul (Boim) sebagai sopir dan satu-satunya orang dewasa di antara mereka, kelompok APH beraksi menangkap hantu-hantu gadungan di ibu kota. Sampai suatu hari datang sebuah permintaan dari Gita (Adinda) untuk menyelesaikan persoalan terkait mistis, kutukan, kultur, ritual, dan penumbalan di desanya. Sayangnya, sang sesepuh atau dukun di desa tersebut, Wak Bomoh (Tejo) menyangsikan kemampuan ketiga anak itu.
Film horor dengan keterlibatan anak-anak bisa dibilang cukup riskan dalam dua hal. Satu sisi boleh jadi dapat melebarkan segmentasi penonton hingga ke usia remaja awal. Sisi lain bakal diiringi banyak pertimbangan dalam pembuatannya untuk menekan unsur-unsur sadis dan berdarah-darah. Batasan-batasan yang kadang tampak atau masih abu-abu. Tak jarang diabaikan pula walau para pemainnya adalah anak-anak. Membedakan antara hasil arahan Awi dalam series Jurnal Risa (2023), Waktu Maghrib (2023) oleh Sidharta Tata, Rizal dengan ketiga film Kuntilanak-nya, dan Jose melalui Petualangan APH ini. Besar kemungkinan pula sang penulis novel turut andil cukup besar dalam memberi koridor agar Petualangan APH tetap ramah anak-anak walau sebagai film horor.
Namun demikian, hanya karena Petualangan APH disegmentasikan untuk anak-anak, tidak lantas melupakan logika untuk detail-detail kecilnya. Tak perlu banyak contoh, ambil saja dalam scene panjat tebing ketiga APH. Seakan terkesan menakjubkan, penuh semangat, cerdik, dan banyak ide, tetapi sebetulnya dieksekusi dengan konyol. Fokus pada alat-alat yang digunakan anak-anak itu. Panjat tebing mana yang menggunakan sarung tangan dan membawa keril (tas gunung)? Tanpa calk bag (tas kecil berisi magnesium karbonat untuk tangan) pula! Betapa “hebat dan ajaib”-nya anak-anak ini. Saat scene terbang dengan paramotor dan berkemah di hutan juga. Memang kisahnya fiktif, tetapi bukan berarti mengabaikan logika begitu saja ketika ceritanya sendiri memunculkan unsur-unsur dari dunia nyata.
Belum lagi soal latar belakang masing-masing anak dalam grup APH. Di usia mereka bertiga, Rafi, Zidan, dan Chacha sudah terbebani cacian dari masyarakat satu desa hingga terpuruk dan murung, tetapi satu pun anggota keluarga mereka tak muncul. Bahkan Bang Dul yang tampaknya memiliki hubungan kekerabatan dengan Rafi, sekadar berperan semacam tokoh side kick yang muncul hanya ketika para hero beraksi.
Pemilihan pemain Petualangan APH juga bermasalah. Terutama untuk memerankan tokoh Gita. Memang, latar belakangnya adalah mahasiswi di Jakarta yang berasal dari desa. Namun, memangnya berapa lama ia di Jakarta sampai-sampai sangat kaku dalam berbahasa Jawa? Itu belum perkara ketidaksanggupannya melafalkan versi halus dalam bahasa Jawa. Salah besar memilih Adinda Thomas, walau ia pernah bermain dalam film horor dengan setting Jawa lainnya, seperti KKN di Desa Penari (2022). Satu-satunya yang menyelamatkan unsur-unsur ke-Jawa-an dalam Petualangan APH hanyalah Sujiwo Tejo.
Petualangan Anak Penangkap Hantu memang ramah anak dibanding beberapa horor anak-anak lainnya, tetapi kurang peduli terhadap banyak detail dalam ceritanya. Salah satu kekurangan dalam sejumlah pengadaptasian novel karya Asma Nadia, ketika sang empunya cerita selalu turut campur dalam proses pengerjaan film-film tersebut. Sebut saja salah satunya ialah Surga yang Tak Dirindukan 3 (2021) yang paling parah. Faktor lain kekurangan Petualangan APH ialah karena sang sineas itu sendiri. Rupanya hingga kini masih saja belum mampu menghasilkan karya terbaik.