Pinocchio (2022)
105 min|Adventure, Comedy, Drama|08 Sep 2022
5.1Rating: 5.1 / 10 from 43,786 usersMetascore: 38
A puppet is brought to life by a fairy, who assigns him to lead a virtuous life in order to become a real boy.

“When you wish upon a star, your dreams come true”

Satu lagi, Walt Disney me-remake film animasi ikoniknya, Pinocchio yang diarahkan oleh sineas kawakan Robert Zemeckis. Berbekal nama sang sineas dan dua bintangnya, yakni Tom Hanks dan Joseph Gordon-Levitt, sepertinya film ini bakal menjanjikan sebuah tontonan yang istimewa. Film ini dirilis melalui platform Disney+, tidak seperti kebanyakan film animasi remake produksi Disney lainnya. Apakah film ini sesuai dengan ekspektasinya? Rupanya jauh dari harapan.

Mengisahkan seorang pria tua penatah kayu, Geppetto (Hanks) yang membuat boneka kayu laki-laki bernama Pinocchio dengan sepenuh hatinya untuk menggantikan putra kecilnya yang telah meninggal. Ketika bintang jatuh terlihat dari jendela, Geppetto memohon agar boneka kayunya bisa hidup. Malamnya, sang peri biru datang dan menghidupkan boneka Pinocchio, sekaligus mengangkat Jimmy Jangkrik (Levitt), yang kebetulan bermalam di sana, sebagai penasihatnya. Pinocchio harus melewati serangkaian ujian godaan sebelum ia bisa menjadi bocah sungguhan.

Seingat saya, plot remake-nya loyal dengan kisah film animasi klasiknya. Untuk versi modernnya ini, plotnya terasa tidak koheren dan sesuai dengan pendekatan visual yang sangat mengagumkan. Kisahnya terasa bak teatrikal yang melompat jauh dari satu adegan ke adegan lainnya. Tak ada rasa simpati dan empati sehingga kita bisa larut ke dalam tokoh-tokohnya. Kita hanya semata melihat sajian gambar bergerak dengan iringan musik dan lagu tanpa sedikitpun peduli dengan karakternya. Lalu di era keberagaman seperti sekarang, terasa aneh pula, sosok Geppetto yang seorang Italia diperankan oleh Hanks. Apa tak ada aktor Italia yang mampu memerankan ini?

Baca Juga  The Avengers

Salah satu pencapaian visual terbaik sejauh ini, hanya saja Pinocchio terjebak dalam naskah adaptasinya yang terlalu teatrikal. Dengan pencapaian visual yang serealistik ini, sisi fantasinya justru kabur. Jika saja, Hayao Miyazaki membuat kisah adaptasi ini dengan gaya anime-nya, bisa jadi film ini bakal menjadi sebuah mahakarya modern. Kadang, satu karya klasik tidak lantas bisa begitu saja dibuat ulang jika film orisinalnya tidak tergantikan. Bisa jadi, pembuat film harus membuatnya sama sekali berbeda.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaFestival Film Wartawan Indonesia Memulai Masa Penilaian untuk 123 Judul
Artikel BerikutnyaEmily the Criminal
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.