Posesif merupakan film pertama Edwin yang diputar di bioskop tanah air. Sebelumnya film-filmnya lebih dikenal di berbagai ajang festival, baik dalam maupun luar negeri. Film panjang pertamanya berjudul, Babi Buta yang Ingin Terbang atau Blind Pig Who Want to Fly (2008) yang diputar pertama kali di Busan International Film Festival. Sedangkan film panjang keduanya, Postcard from The Zoo (2012) pertama kali diputar di Berlin International Film Festival. Sebelumnya, ia juga aktif membuat beberapa film fiksi pendek, sepertiĀ A Very Slow Breakfast (2002), Dajang Soembi, Perempuan Jang Dikawini Andjing (2004), dan Kara, Anak sebatang Pohon (2005) yang juga mendapatkan banyak penghargaan. Edwin mulai memproduksi film ketika mengenyam pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dari sinilah, ia mulai berekplorasi dengan gayanya sebagai seorang sutradara dan dari bentuk dan gaya filmnya ia dikenal sebagai sutradara non-mainstream.
Dikotomi antara film mainstream dan non-mainstream didasari atas pasar dan target penonton yang berbeda. Film mainstream adalah film yang mengikuti arus pasar dalam industri perfilman, sedangkan film non-mainstream sebaliknya serta memiliki bentuk yang khas. Film non mainstream sering pula disebut film art yang cenderung sulit dipahami dan bersifat abstrak. Film jenis ini lebih sering diputar dan diapresiasi di festival dan bioskop alternatif. Isu dan kualitas filmis dari film-film non-mainstream menjadi hal yang diperhitungkan. Dari sisi penontonnya, penonton di bioskop mainstream lebih beragam dari berbagai kalangan sedangkan pemutaran film non-mainstream cenderung lebih terseleksi dan biasanya dari kalangan insan film.
Film mainstream di Indonesia didominasi dengan genre film populer, seperti roman remaja, horor, komedi, dan religi. Genre-genre tersebut menjadi tren untuk diproduksi karena secara komersial menguntungkan bagi para pembuat film. Kualitas bukan nomor satu. Asalkan banyak penonton maka film bisa awet diputar di bioskop. Berbeda dengan film non mainstream yang jarang diputar di jaringan bioskop regular. Jika diputar pun biasanya tak bertahan lama. Sebuah kasus menarik dari film indie, Siti (2014) yang berhasil diputar di bioskop karena mendapatkan banyak penghargaan di beberapa ajang festival.
Untuk mencari film yang sarat dengan kualitas di industri Sinema Indonesia tidaklah mudah. Bagaimana sebuah film mampu dinikmati banyak orang, namun juga memiliki kualitas estetik yang baik, dan mampu diapresiasi serta berjaya di ajang festival bergengsi, seperti halnya film non-mainstream? Film Posesif menjadi contoh yang sangat menarik. Sang sutradara berangkat dari film non-mainstream dan mencoba untuk membuat film mainstream dengan genre populer roman remaja, namun ia tetap menggunakan idealismenya untuk mengemas film tersebut. Respon pasar menunjukkan angka yang baik, dengan perolehan jumlah penonton hampir 300 ribu penonton dan rasanya akan terus bertambah, karena, film tersebut kini masih diputar di bioskop. Walaupun angka tersebut tidak fantastis, namun sudah membuktikan bahwa secara komersial film ini mendapatkan sambutan hangat di pasar.
Posesif tak lepas dari sentuhan gaya sinematik sang sutradara. Aspek sinematografi, editing, dan suara menjadi hal yang dieksplor dengan baik di film ini. Intensitas kedekatan tokoh utamanya secara dominan dikemas dengan teknik long take dan montage yang dipadu dengan musik syahdu di tiap momennya. Merujuk dari film-film sebelumnya, tampaknya sang sineas konsisten menggunakan sentuhan bahasa visual dengan mengolah kekuatan sebuah shot, seperti berlama-lama dengan shot (long take), bermain komposisi, serta lebih berekplorasi dengan aspek musik. Edwin paham betul tentang bahasa sinematik dan bagaimana menerapkannya di film. Film tak hanya sekedar menyajikan cerita dan isu, namun juga bagaimana mengemasnya secara visual.
Gaya pendekatan sinematik yang dilakukan Edwin telah terlihat dari film-film pendeknya. Film pertamanya yang berjudul A Very Slow Breakfast (2002) menggunakan teknik slowmotion sepanjang filmnya. Film pendek berjudul Dajang Soembi, Perempuan Jang Dikawini Andjing (2004), menggunakan teknik era film bisu dengan visualisasi warna hitam putih, aspek rasio 4:3 (fullscreen), tanpa dialog, serta teknik scratch menjadi eksplorasi sinematik yang dilakukan sang sineas. Penggunaan teknik scratch atau merusak pita seluloid ini, mengingatkan saya pada film klasik Indonesia berjudul Tie Pat Kai Kawin (1935) yang juga menggunakan teknik scratch untuk menunjukkan special effect pada jaman itu.
Melalui pencapaian Posesif, tak heran jika dalam ajang Festival Film Indonesia 2017 baru lalu, Edwin dinobatkan sebagai sutradara terbaik. Sang sineas terbukti mampu mewujudkan sebuah film yang mampu dinikmati oleh banyak kalangan dengan gaya pendekatan sinematiknya melalui genre roman remaja. Hal ini yang dibutuhkan sinema kita saat ini. Eksplorasi sinematik dalam penyampaian visual dalam medium film, menjadi hal yang patut dikembangkan dalam genre populer yang berkembang di industri kita. Film tidak hanya sebagai media hiburan semata, namun film merupakan sebuah karya seni yang harus memiliki kualitas estetik, sekalipun berada dalam ranah mainstream.
WATCH TRAILER