Kultur Jawa dengan beragam mitos, weton, dan primbonnya memang tak berkesudahan untuk menjadi latar cerita bagi film-film horor Indonesia. Lagipula telah kadung mengakar kuat. Salah satunya lewat Primbon arahan Rudy Soedjarwo dengan skenario garapan Lele Laila. Melalui Cakra Film, Maxima Pictures, dan Maxstream Original, Primbon diperankan antara lain oleh Happy Salma, Nugie, Flavio Zaviera, Azela Putri, Chicco Kurniawan, dan Jajang C. Noer. Usai sangat mengecewakan dengan hasil garapan skenario KKN di Desa Penari, lantas seperti apa buah kerja Lele Laila kali ini?

Suatu hari seorang perempuan bernama Rana (Flavio) mengajak Janu (Chicco) untuk memasuki hutan dan naik gunung. Izin sang ayah (Nugie) sudah di tangan, tetapi nahas, Rana lantas hilang di hutan. Janu yang menemaninya amat terpukul. Lebih-lebih keluarga Rana, terutama ibunya (Salma). Sementara itu, kakak-kakak perempuan ayah Rana yang berpedoman hidup pada primbon mengambil keputusan sepihak untuk mengadakan kenduri atau kirim doa, bahkan berembuk menentukan tanggal kematian Rana. Padahal jasadnya belum ditemukan. Namun, pada malam ketujuh usai tujuh harian, Rana tiba-tiba pulang.

Ada sejumlah persoalan terkait durasi cerita dalam Primbon. Berangkat dari latar belakang hilangnya Rana yang nyaris tidak ada, gara-gara sudah cepat-cepat dibawa masuk ke tengah cerita. Lekas saja cerita memasuki upaya pencarian Rana, malam kirim doa, hingga kepulangan tiba-tiba Rana pada malam ketujuh yang memulai serangkaian peristiwa mistis. Hanya ada dua kilas balik yang menerangkan situasi Rana selama di hutan bersama Janu, saat masih baik-baik saja dan ketika tiba-tiba hilang. Janu pun tidak mendapat porsi tampil yang memadai. Apakah Janu tak punya rumah? Tidakkah teror dari Rana juga menghantui Janu selama ia di rumah? Apakah cukup pula informasi bahwa ternyata Janu bukanlah kakak Rana, melainkan sahabatnya?

Apa yang sebenarnya mau dibuat atau dilakukan Rana sampai harus masuk hutan demi merayakan ulang tahun ibunya, juga tidak diinformasikan dengan baik. Sekadar untuk membuat video ucapan? Bahkan hingga naik gunung pula! Artinya, sesuatu yang tadinya hendak dibuat sebagai kado ulang tahun dari Rana untuk sang ibu membutuhkan upaya besar hingga perlu ke sana. Inilah salah satu yang rumpang dalam Primbon. Pun sebesar dan sepenting apa kado tersebut, hingga Rana melangkahi pantangan terkait hari lahirnya sendiri. Bagian rumpang yang tampak sedemikian penting, tetapi disepelekan. Alih-alih, sajian Primbon hingga film usai justru adalah materi-materi pelajaran tentang primbon dan konten drama keluarga.

Pada saat yang sama, boleh jadi baik Laila maupun Rudy berupaya tak sekadar menyajikan ketakutan melalui horor belaka, melainkan pula kental akan drama keluarga. Namun, masih belum juga lebih baik daripada Affliction (2021) yang bahkan tak terlalu membutuhkan penampakan hantu atau setan. Mendekati pun tidak. Memang ada informasi soal keberadaan Rana yang menarik perhatian banyak roh jahat. Namun, semua roh itu datang dari mana?

Baca Juga  Red One

Shot-shot sempit, padat, atau jarak dekat juga mendominasi Primbon. Nyaris tak ada satu pun suguhan visual yang bisa dianggap luas. Gambar-gambarnya memvisualkan skenario yang sejak awal sudah sangat membatasi ceritanya sendiri, serta terus-menerus mencekoki penonton dengan materi primbon, mitos, dan trik-trik horor. Belum lagi –kembali menyoal sedikit terkait skenario—ada pula beberapa adegan yang mengganjal. Misalnya, ketika istri Pakde Basuki memasuki kamar Rana untuk mengambil sajen, mengapa ia masih mencari-cari letaknya? Apakah tidak ada informasi dari Bude Sri? Seolah, adegan tersebut sengaja dibuat lama hanya agar ia tak lekas meninggalkan rumah dan akhirnya bertemu Banyu dan Rana. Terlalu dipaksakan sebagai cara untuk mencapai pertemuan tersebut.

Walhasil, muncul kesan Primbon merupakan film berbujet rendah kemudian. Ditandai dengan durasi yang pendek (berdampak pada hilangnya banyak informasi), shot-shot sempit, minim variasi lokasi, hingga pemilihan pemain. Tiga yang paling mengganggu adalah Oppie Andaresta, Septian Dwi Cahyo, dan Ony Serojawati Hafiedz. Terutama Ony yang kerap kali telat merespons situasi dan tembakan dialog dari lawan main. Saat ketiga pemain ini tampil bareng dalam satu layar, maka saat itulah jeda dialognya bakal terasa. Chicco yang sedemikian bertalenta bahkan minim kesempatan untuk unjuk gigi. Beruntungnya, masih ada Happy Salma dan Jajang C. Noer. Walau lagi-lagi Nugie memerankan karakter tipikalnya yang banyak mengalah.

Primbon hanyalah materi pelajaran tentang primbon selama hampir satu setengah jam yang divisualkan dan bernuansa horor, serta sajian drama keluarga. Hampir tidak ada cerita yang dapat dinikmati di luar drama keluarganya. Aneh pula, bahwa ternyata Lele Laila masih saja melanggengkan cara bertuturnya dalam skenario yang terlalu simplifikasi. Sebagaimana yang ia lakukan pula saat menggarap skenario KKN di Desa Penari. Padahal rekam jejaknya dalam menulis horor tidaklah remeh (trilogi Danur hingga Ivanna). Kecenderungan Rudy yang lebih menekankan drama daripada unsur lainnya juga rupanya masih terbawa sejak mengarahkan Sayap-Sayap Patah. Terlepas dari konten lokalitas Jawa yang memang teramat kuat, masalahnya, Primbon sudah kekurangan cerita sejak dari skenarionya.

PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaThe Moon
Artikel BerikutnyaHeart of Stone
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.