Qala adalah film tahun 2022 yang tayang perdana di platform Netflix, pada tanggal 1 Desember kemarin. Film ini ditulis dan disutradarai oleh Anvita Dutt. Qala merupakan film keduanya setelah Bulbul yang diluncurkan dua tahun yang lalu. Qala diperankan oleh aktor dan aktris segar, seperti Tripti Dirmi sampai dengan Babil Khan, Swastika Mukherjee, Varun Grover, dan Amit Sial. Film Qala sekaligus menjadi debut bagi aktor muda Babil Khan, ia merupakan putra dari almarhum aktor ternama India, yakni Irrfan Khan.
Musik Ghazal pada awal-pertengahan abad 20 menjadi musik yang disegani dan banyak didengarkan di daerah India. Musik klasik yang mahal dan mewah. Kolkata menjadi pusat tumbuh kembang musik Ghazal. Pada masa-masa yang demikian, Qala Manjushree adalah bintang ternama, perempuan yang suaranya seindah kedasih. Hampir keseluruhan karyanya dielu-elukan oleh masyarakat, tetapi tidak oleh ibunya sendiri. Hal itu ditengarai oleh kematian saudara angkatnya (bisa disebut begitu), Jagan. Bagi ibunya, Jagan yang harusnya di posisinya sekarang, Jagan bintang ternama yang sesungguhnya. Sebelum era kondangnya, Qala dan Jagan adalah dua orang yang menginginkan tempat di dunia musik India. Jagan dengan bimbingan penuh dari ibu Qala dan seorang penyanyi yang bernama Chandan—sementara Qala cuman bergantung pada harapan yang sedikit demi sedikit ditetah oleh ibunya dan sekitarnya.
Musik Ghazal, dalam setiap liriknya adalah sajak, setiap sajak adalah cinta, dan di dalam cinta terdapat kehidupan. Sepanjang durasi, saya selalu menginginkan Qala menjadi film yang maksimal, di luar pikiran di mana Ghazal dipakai sebatas latar belakang cerita atau sebaliknya. Sebab, berapa banyak film Bollywood yang dapat kita temukan mengangkat tema tentang Ghazal? Tak ada, barangkali. Hanya Qala. Film ini berupaya habis-habisan memenuhi set, properti dan semacamnya sebagai penunjang lahirnya sebuah hawa masa lampau. Selayaknya Dedh Ishqiya, panggung monolog, pembacaan puisi, dan lingkungan syair—yang sudah terbilang terpenuhi—Qala juga berhasil dengan itu. Petikan sitar, lengking Sargam, bunyi kendang, dan nuansa terbangun dengan baik, kita terasa masuk ke sebuah masa klasik dari musik bangsawan Kolkata. Qala berhasil secara properti dan latar ceritanya.
Namun film garapan Anvita Dutt ini terpaku pada permainan psikologis yang berusaha digali—yang justru kurang mencekam. Ini yang tak berbuah manis. Di sisi lainnya, Anvita Dutt tidak jeli menempatkan instrumen Ghazal dalam cerita. Mengetahui banyak kekeroposan pada bagian kisah, alih-alih menggunakan Ghazal sebagai penambalnya—Ghazal tidak benar-benar dimanfaatkan sebagai daya tarik dalam lini-lininya yang tak menarik. Sang sutradara mencoba adegan kilas balik yang secara penuh menayangkan latar belakang dari traumatiknya karakter utama. Namun entah kenapa, beberapa alasan justru terlihat konyol dan kurang memberikan simpati. Seandainya film ini adalah eksplorasi kisah musik Ghazal, saya kira film ini akan menjadi film yang bagus. Tapi Qala terlalu optimis menjadi film drama psikologis. Akhirnya yang terjadi sebaliknya. Segalanya pesimistis. Bahkan aktor baru kita, Babil Khan—yang sedikit banyak terlihat berlakon karakter begitu enggan—tak sepiawai ayahnya.