Pada satu program screening Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2024 kemarin, terdapat satu film Indonesia klasik karya Teguh Karya, yakni Ranjang Pengantin (1974). Teguh Karya adalah salah seorang sineas besar kita yang memproduksi banyak film klasik legendaris, sebut saja Cinta Pertama (1973), Badai Pasti Berlalu (1977), Doea Tanda Mata (1985), Secangkir Kopi Pahit (1985), Ibunda (1986), hingga Pacar Ketinggalan Kereta (1989). Film-film ini tentu sudah lepas dari pengamatan generasi masa kini dan faktanya memang sulit untuk bisa mendapatkan akses menonton. Beberapa filmnya terdapat di kanal youtube, entah resmi atau tidak, dengan gambar berkualitas sangat buruk. Acara screening seperti ini tentu menjadi satu kesempatan langka untuk bisa menikmati karya-karya masterpiece sineas kita di masa lampau.
Jujur, tak banyak yang saya tahu tentang Teguh Karya. Bisa jadi, semasa kecil saya sudah menonton sebagian besar di antaranya tapi apalah artinya tanpa pengetahuan estetika film yang memadai. Beruntung, saya punya rekan dosen dari Malaysia yang merupakan fans berat Teguh Karya yang khusus datang ke Jogja hanya untuk mengikuti perhelatan tahunan ini. Saya sedikit banyak mendapat informasi tentang film-film dan gaya penyutradaraan Teguh Karya dari rekan saya ini.
Ranjang Pengantin merupakan film melodrama yang naskahnya ditulis dan diproduseri oleh Hendrick Gozali (keluarganya hadir dalam acara pemutaran ini). Film berdurasi 110 menit ini dibintangi aktor dan aktris kawakan kita, yakni Slamet Rahardjo, Lenny Marlina, Mieke Wijaya, hingga Christine Hakim. Pada ajang Festival Film Indonesia tahun 1975, film ini meraih penghargaan untuk sutradara terbaik, aktor utama terbaik, aktris pendukung terbaik, editing terbaik, hingga tata artistik terbaik.
Filmnya berkisah tentang suka duka kehidupan Bram (Rahardjo) dan Nona (Marlina). Sejak awal hubungan mereka sudah tidak direstui oleh ayah Nona hingga akhirnya mereka dipaksa segera menikah akibat telah melakukan hubungan di luar nikah. Nona pun rela tinggal di rumah suaminya yang sempit dan kumuh bersama kakak perempuannya, Nien (Wijaya). Mereka berdua akhirnya memiliki seorang putra dan putri, bahkan Nona kini mengandung anak ketiga. Kehidupan bertambah sulit, ketika kesehatan Bram makin memburuk akibat sering bekerja malam hari. Sementara Nien justru sering berpesta pora di rumahnya dengan membawa para lelaki hidung belang. Semua masalah bertumpuk bagai bom waktu yang akhirnya meledak hebat pada babak klimaksnya.
Oleh karena tidak memiliki film pembanding karya sang sineas lainnya, saya mencoba untuk melihat perspektif film ini melalui penghargaan yang diraih pada masanya, yakni sutradara terbaik, pemeran utama pria dan pendukung wanita terbaik, editing terbaik, dan penata artistik terbaik. Tentu bahasan tentang cerita, naskah,adalah satu hal yang tak bisa terlewat. Mari satu persatu kita bahas.
Melodrama Bak Thriller
Entah mengapa, plot Ranjang Pengantin banyak mengingatkan pada film-film Neorealisme Italia yang mengusung tema kemiskinan dan masalah sosial lainnya yang berujung tragis. Cinta dengan segala perniknya hanya indah di awal, namun kelam sepanjang perjalanan waktu. Di tangan sang sineas, kehidupan bukanlah sesuatu yang baik dan salah, hitam dan putih, tapi di antara keduanya. Hal yang baik bisa salah dan yang salah bisa benar, semua serba campur aduk dalam satu kekacauan yang hebat. Sang sineas secara implisit menjunjung tinggi sisi moral dan agama, namun tidak demikian dengan plotnya (eksplisit).
Di tangan Teguh Karya, sebuah melodrama bagai sebuah thriller yang mampu memainkan perasaan penonton demikian hebat. Melalui (mis)informasi cerita dalam beragam perspektif karakter, ketegangan pun makin menjadi, emosi penonton menjadi campur aduk karena begitu terampilnya sang sineas memainkan momen pergantian adegan. Momen di klimaks adalah puncaknya. Penonton dipermainkan emosinya begitu rupa dengan balutan kesalahpahaman serta aksi-reaksi tiap karakternya, Bram, Nona, hingga dua anaknya. Penonton tahu persis apa yang bakal terjadi, namun tidak demikian dengan karakternya. Sebuah tragedi di klimaks pun meledak hebat. Tak banyak sineas yang mampu mengolah adegan semacam ini dengan cara dan proses demikian brilian.
Editing Nan Brilian
Sejak awal saya tahu film ini meraih editing terbaik, tentu rasa penasaran terusik, seberapa jauh pencapaiannya. Wow, rupanya Ranjang Pengantin mampu memberi beberapa kejutan besar. Sejak awal, film dibuka melalui segmen kilas depan yang kelak “bertabrakan” dengan adegan klimaks hebat yang telah dijelaskan di atas. Semua tragedi bercampur menjadi satu momen klimaks, melalui proses pergantian adegan demi adegan yang terukur. Dua kecelakaan yang menimpa anaknya, si bayi yang meraung-raung, Bram yang mengakhiri hidupnya, hingga diakhiri jerit menyayat Nona di penghujung. Sekali lagi, ini brilian.
Kejutan lain adalah penggunaan kombinasi transisi gambar dan suara (dialog) sewaktu di adegan pelaminan. Secara cerdik, sang sineas memotong gambar acara pelaminan di rumah orang tua Nona dengan kilas balik sewaktu Bram dan Nona berpura-pura menikah di bawah altar gereja. Uniknya, suara dialog (diegetic) sewaktu acara pelaminan dibiarkan mengalir dalam adegan kilas-baliknya dengan dialog yang sama persis. Teknik yang sama juga digunakan ketika Nien dan Nona beradu mulut yang disertai serangkaian gambar (montage) Bram dan Nona yang tengah bekerja keras mencari sesuap nasi. Teknik editing dan transisi suara (diegetic) semacam ini pada masanya terhitung langka dan jarang sekali terlihat dalam film-film barat masa kini sekali pun.
Tangga Nan Terjal
Satu lagi pencapaian terbaik ajang FFI adalah tata artistik terbaik yang dalam hal ini adalah set interior. Tak banyak set yang diolah sepanjang film ini karena banyak menggunakan shot on location, seperti di gereja, pantai, bengkel, hingga jalanan kota. Satu-satunya set yang paling dominan dan diolah demikian rupa adalah set interior rumah Bram. Set interior ini menjadi saksi hidup bagi perjalanan nyaris sebagian besar plotnya dengan segala suka dukanya. Inti ruang yang berlantai dua tetaplah sama hanya asesoris hiasnya berubah dari waktu ke waktu. Ini tentu tak sulit untuk diolah. Di bagian bawah adalah ruang makan dan kamar tidur Nien, sementara di atas adalah ruang kamar Bram dan keluarganya. Satu bagian dalam rumah yang sangat menarik perhatian adalah tangga yang curam.
Siapa pun tahu, mustahil ada tangga demikian terjal dalam sebuah rumah. Tinggal menanti waktu, para penghuninya jatuh terpeleset jika ada tangga semacam itu. Ayah Bram ada di kamar atas ketika sakit keras (sebelum meninggal), bagaimana mungkin harus bolak-balik ke atas-bawah dengan tangga securam itu. Ada dua anak kecil dan seorang bayi tinggal di sana, mustahil selama ini mereka tidak pernah terpeleset sekalipun di sana. Memang mustahil, namun berbeda jika tangga terjal tersebut dimaknai secara implisit sebagai kehidupan mereka yang “terjal”. Tangga berubah menjadi satu penanda yang cerdik sebagai alat untuk penyokong inti cerita. Tak jarang kita melihat bagaimana, Nien, Nona, dan Bram harus berteriak keras ke lantai atas atau bawah, menggambarkan komunikasi yang rumit di antara mereka. Tragedi kisahnya pun salah satunya terjadi di sini.
Bicara Soal “Anjing”
Satu hal lain yang menarik untuk dibahas adalah “anjing” yang beberapa kali muncul sepanjang plotnya. Kata-kata ini pertama kali muncul ketika ayah Nona menyumpahi Bram dengan kalimat “Anjing kamu!” ketika sang ayah melabrak Bram akibat menodai putrinya. Ucapan ini serta merta dibalas Nien dengan kata-kata yang sama dengan meludah ke kaca pintu rumah. Dalam adegan lain ketika Nona pindah ke rumah Bram setelah menikah, ia membawa lukisan bergambar anjing dan entah, setelah ini lukisan tersebut tidak lagi terlihat. Satu lagi menyoal anjing adalah ketika Bram dan dua anaknya bermain dengan riang gembira dengan menggonggong seperti anjing.
Seperti halnya “tangga terjal” tentu ini memiliki relasi dengan inti kisahnya yang memiliki nilai moral yang kuat. Ibarat semua karakter di sini adalah “binatang” yang tak lagi mampu membedakan benar dan salah. Putra dan putri Bram dan Nona yang tak berdosa adalah korban dari orang tuanya. Satu shot berkelas di jalanan ketika Bram berjalan ke arah depan dengan (menjauhi) latar gereja di belakangnya. Ini adalah satu shot yang merangkum seluruh plotnya dan menjadi poin moral kisahnya. Ketiadaan Tuhan dalam kehidupan mereka. Menurut rekan saya dari Malaysia, Ranjang Pengantin dan Badai Pasti Berlalu adalah film sang sineas yang paling relijius.
Konklusi
Sebelum kita simpulkan terhadap aspek lain yang dianggap sebagai kekuatan filmnya. Tentunya ini adalah akting, di mana Slamet Rahardjo dan Mieke Wijaya mendapatkan Piala Citra. Gaya akting teatrikal pada era tersebut tentu berbeda dengan pencapaian akting masa kini yang natural. Bahasa dan penuturan dialognya terasa sangat formal dan kaku, tapi tentu tidak bagi jamannya. Gaya inovasi method acting yang dicapai Marlon Brando dalam A Streetcar Named Desire (1951) masih terhitung teatrikal untuk ukuran masa kini. Agak sulit tentunya bagi penonton awam untuk menilai sesuatu yang jauh melewati masanya. Bukan dialog yang harusnya kita cermati, namun adalah ekspresi.
Baik akting maupun pencapaian visual akhirnya tidak lepas dari penyutradaraan Teguh karya. Dengan beragam pencapaian estetik dan visual yang telah disampaikan di atas, bukan hal mudah untuk merangkai semua elemen tersebut dalam satu karya visual yang elegan. Teguh Karya mampu memproduksi karya melodrama masterpiece yang tak lekang jaman, baik melalui inovasi visual serta moral value-nya. Generasi pembuat film masa kini harus belajar dari film-film kita di masa lampau yang telah jauh melampaui jamannya. Semoga screening serupa bakal semakin marak de depannya. Menghargai karya-karya bersejarah di masa lalu adalah bagian dari bangsa yang besar. Malu rasanya mengetahui rekan dari negeri seberang lebih tahu banyak sineas-sineas era lampau kita ketimbang kita sendiri.