re/member

Cara bertutur plot berulang atau time-loop, teramat jarang digunakan dalam genre horor, dan satu contoh populernya adalah Happy Death Day (2017). Kini satu film horor produksi Jepang mencoba teknik yang sama dengan pendekatan lebih segar. Re/Member adalah film horor arahan Eiichirô Hasumi yang dibintangi pemain muda, seperti Kanna Hashimoto, Gordon Maeda, serta Maiko Yamamoto. Film adaptasi manga ini baru saja dirilis platform Netflix. Lantas bagaimana pendekatan time plot ini digunakan dalam kisahnya?

Asuka (Hashimoto) adalah siswi SMA yang pendiam dan tidak memiliki sahabat. Hari itu, Asuka banyak mengalami kejadian aneh di sekolahnya. Hingga malamnya, ia bermimpi berada di sekolahnya bersama lima rekan sekelasnya, yakni Takahiro, Rumiko, Atsushi, Rie, dan Shota. Mereka diteror sesosok hantu gadis cilik berbaju merah yang membunuh mereka satu persatu hingga terbangun. Anehnya, Asuka bangun di hari yang sama, mengulang kejadian sehari sebelumnya, dan ini juga dialami lima rekannya. Usut punya usut, gadis cilik dalam mimpi tersebut rupanya adalah  korban pembunuhan beberapa tahun silam yang tewas dimutilasi. Untuk bisa lepas dari jebakan waktu tanpa henti, Asuka dan lima rekannya harus menemukan semua bagian tubuhnya dan meletakkannya dalam peti mati yang berada di kapel sekolah.

Premisnya sangat menarik dan menjanjikan satu petualangan horor seru yang menegangkan. Plotnya berjalan bergantian, antara alam mimpi dan nyata, menyajikan usaha mereka menemukan satu demi satu bagian tubuh sang gadis cilik. Sisi horor yang awalnya mencekam, lambat laun berubah menjadi aksi kejar-mengejar tanpa henti yang melelahkan dan tidak lagi menyeramkan. Mengapa? Oleh karena kita tahu, apa pun yang terjadi, mereka akan kembali di hari yang sama dan kembali diteror dalam mimpi. Tidak hingga dalam satu momen, mereka tidak mampu menemukan satu bagian tubuh yang paling penting. Rupanya, kejutan lain menanti.

Baca Juga  Asteroid City

Alur kisahnya memang segar dan inovatif, hanya saja, arah kisahnya tidak fokus pada usaha pencarian, namun justru melantur pada hubungan persahabatan di antara mereka. Peristiwa anomali tersebut, sama sekali tidak terlihat sebagai momok menakutkan bagi para tokohnya, namun malah menyenangkan. Mereka seolah menikmati satu hari yang berulang, momen demi momen kedekatan persahabatan mereka. Ini tentu punya motif dan faktanya memang begitu. Banyak pertanyaan masih belum terjelaskan tuntas. Mengapa mereka berenam yang dipilih? Dengan begitu gamblang, satu tokohnya menjelaskan satu poin besar pesannya yang rasanya tidak perlu dijelaskan. Penikmat film sejati tentu tidak bodoh. Dan lagi lagi, sang sineas mempermainkan kita dengan satu fakta yang mengejutkan. Bukannya menambah segalanya menjadi jelas, namun justru menambah satu pertanyaan besar. Huff…

Re/Member menyajikan horor unik berpremis menarik menggunakan time-loop, walau pesan kisahnya terjebak dalam kerumitan arah plotnya. Bermain dengan teknik penuturan time loop memang mengasyikkan bagi pembuat film, namun motif kisahnya tentu tidak lepas dari koridor pesan yang ingin dituju. Re/member tidak mampu menyajikan ini dengan tegas dan jelas. Dengan segala potensi setting-nya, permainan bagus dari para kasting mudanya, film ini menyia-nyiakan kesempatan besar untuk menjadi salah satu film horor berkualitas dan berkelas. Setelah post credit scene, film ini mengingatkan banyak pada film thriller The Lovely Bone (2009) arahan Peter Jackson. Loneliness memang adalah satu poin besar yang banyak dibahas dalam medium film. Lantas siapa sebenarnya yang kesepian (arwah penasaran) dalam Re/Member?

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaAnt-Man and the Wasp: Quantumania
Artikel BerikutnyaPara Betina Pengikut Iblis
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.