Reservoir Dogs (1992)
99 min|Crime, Thriller|02 Sep 1992
8.3Rating: 8.3 / 10 from 1,110,362 usersMetascore: 81
When a simple jewelry heist goes horribly wrong, the surviving criminals begin to suspect that one of them is a police informant.

Reservoir Dogs (1992) adalah film kriminal yang merupakan debut sutradara tersohor, Quentin Tarantino. Bermain dalam film ini adalah bintang-bintang kelas dua, seperti Harvey Keitel, Michael Madsen, Tim Roth, Steve Buscemi, Chris Penn, serta Tarantino sendiri. Sekalipun tidak sukses komersil namun film ini banyak dianggap pengamat sebagai salah satu film independen terbaik dan merupakan terobosan besar bagi perkembangan film independen selanjutnya.

Inti plot Reservoir Dogs sederhana sekali. Seorang gembong mafia, Joe Cabot berniat merampok sebuah toko berlian. Cabot kemudian merekrut beberapa orang yang sebagian besar sudah ia kenal baik, diantaranya, Mr. White (Keitel), Mr. Pink (Buscemi), Mr. Orange (Roth), Mr. Blonde (Madsen), serta Mr. Brown (Tarantino). Cabot mempercayakan putranya, “Nice Guy” Eddie (Penn) sebagai tangan kanannya di lapangan. Pada hari perampokan ternyata segalanya berjalan tidak sesuai rencana. Mr. White bersama Mr. Orange yang tertembak pergi ke sebuah gudang yang menjadi tempat kumpul mereka setelah perampokan. Mr. Pink tak lama datang dan menuduh seseorang diantara mereka adalah mata-mata polisi. Tak lama Mr. Blonde datang semakin memperkeruh suasana dengan menculik seorang polisi.

Dalam film debutnya ini, Tarantino telah menggunakan beberapa formula unik yang menjadi trademark-nya kelak. Dapat kita lihat bagaimana ia bermain-main dengan unsur cerita melalui pola cerita non-linier. Tidak seperti film kriminal lazimnya, aksi perampokan yang menjadi kunci cerita justru sama sekali tidak diperlihatkan pada penonton. Alur cerita utama justru terfokus pada peristiwa setelah aksi perampokan terjadi. Tarantino menggunakan pola nonlinier dengan memotong kisah utamanya dengan tiga kisah, yakni “Mr. White”, “Mr. Blonde”, dan “Mr. Orange”. Masing-masing kisah pendek tersebut memperlihatkan latar-belakang tokoh yang bersangkutan. Uniknya dalam masing-masing kisah tersebut juga memperlihatkan beberapa penggal kejadian setelah aksi perampokan terjadi. Sekalipun dalam durasi waktu cerita yang pendek, lokasi cerita terbatas, serta pelaku cerita yang berjumlah banyak (masing-masing memiliki karakter yang unik) namun Tarantino secara efektif masih mampu mengemas cerita dengan gayanya yang khas dengan memberikan kejutan-kejutan yang tidak bakal kita duga sebelumnya.

Baca Juga  Marahkah Anda Bila Saya Bilang “This is It” Hanya Film (Gladi Resik) Konser Semata?

Kemasan cerita yang unik ternyata mampu diimbagi pula oleh Tarantino dengan sentuhan estetiknya yang khas. Satu hal yang paling dominan adalah “sense of humor” Tarantino melalui dialog-dialog tempelannya yang khas, spontan, cuek, konyol, serta kadang menyebalkan. Dialog-dialog tersebut seolah “tak berguna” dan sama sekali tidak berhubungan langsung dengan cerita utamanya. Coba simak seperti pada adegan pembuka, para pelaku justru berdebat masalah lagu Like a Virgin (Madonna), serta masalah tip. Coba simak adegan ketika bos Cabot tengah menjelaskan rencana perampokan justru Mr. Pink berdebat masalah nama alias mereka. Satu adegan lagi yang juga menjadi ciri Tarantino adalah penggunaan aksi kekerasan yang vulgar. Cipratan darah dimana-dimana dan patut dicatat adalah ketika adegan Mr. Blonde menyiksa sang polisi muda. Sejak Reservoir Dogs, Tarantino juga menggunakan lagu dan musik 70-an yang kelak menjadi ciri khasnya. Reservoir Dogs merupakan film kriminal gaya baru (modern) yang kelak banyak menginspirasi puluhan film lainnya termasuk juga film-film Tarantino sendiri.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaJackie Brown, Momen Tarantino Menyempurnakan Hat-Trick
Artikel BerikutnyaQuentin Tarantino
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.