Reuni Z, film bergenre drama komedi ini merupakan besutan sutradara Monty Tiwa dan Soleh Solihun. Monty Tiwa sendiri merupakan sutradara yang telah menghasilkan puluhan karya, seperti Raksasa dari Jogja (2016), Shy-Shy Cat (2016), dan Critical Eleven (2017). Sedangkan Soleh Solihun lebih kita kenal sebagai seorang komika. Setelah Mau jadi Apa? (2017), Soleh berkolaborasi kembali bersama Monty Tiwa untuk kali kedua. Reuni Z melibatkan pula beberapa aktor senior, seperti Surya Saputra, Tora Sudiro, dan Anjasmara.
Reuni Z bercerita tentang momen reuni di SMA Zenith. Setelah 20 tahun berselang semuanya kini telah berubah. Reuni dihadiri para alumnus, diantaranya Jeffri (Tora Sudiro), Juhana (Soleh Solikun), Lulu (Ayushinta Nugraha), dan Marina (Dinda Kanya Dewi). Keempatnya dulu merupakan sebuah geng dan kelompok band populer bernama Kagok Edan. Tidak diduga, ditengah acara, para cheerleader yang tengah berjoget berubah menjadi zombi dan memangsa orang-orang di sekitarnya. Situasi berubah menjadi panik dan chaos.
Film ini mengangkat subgenre zombi. Film sejenis telah diproduksi puluhan film oleh Hollywood dengan berbagai variasinya. Bahkan industri film Korea telah berhasil membuat film zombi dengan pencapaian unik dan luar biasa, melalui Train to Busan (2016). Di Indonesia sendiri, subgenre ini pernah diproduksi melalui Kampung Zombie (2015). Reuni Z mencoba memadukan unsur thriller dan komedi. Salah satu contoh film bagus perpaduan kedua unsur ini adalah Shaun of The Dead (2004) garapan Edgar Wright. Walaupun sudah tidak fresh, Reuni Z mencoba menawarkan pendekatan cerita unik dengan setting terbatas. Ruang terbatas yang dibangun mampu membuat ketegangan walaupun ada sedikit kejanggalan. Misalkan saja, mengapa pintu utama sekolah harus dikunci oleh satpam selama acara berlangsung.
Cerita berjalan menegangkan dengan zombi yang telah menghabisi hampir seluruh peserta reuni dan tertinggal beberapa orang saja. Bumbu komedi juga mampu membuat seisi bioskop tertawa lepas. Unsur drama yang dibangun antar tokohnya juga mampu menyentuh penonton. Namun, beberapa kejanggalan cerita sedikit menganggu. Salah satunya saja, si tukang bakso yang pertama kali terkena virus dari sumber utamanya, mengapa tidak berubah sepenuhnya menjadi zombi? Ia digambarkan masih setengah sadar dan tidak agresif seperti zombi lainnya. Mengapa bisa begitu tak dijelaskan. Penyelesaian dan solusi cerita pun agak dipaksakan dan terlalu cepat.
Secara teknis, unsur sinematik yang menonjol adalah setting lokasi sekolah yang sudah terlihat bernuansa “horor”. Tata rias dan “kostum” zombi pun juga sudah terlihat meyakinkan. Para tokohnya terlihat natural dan mampu berakting baik dalam situasi genting melalui pendekatan komedi. Terlepas dari kekurangannya, film ini memberikan warna baru bagi perfilman Indonesia. Kita patut mengapresiasi, dan semoga saja semakin banyak tema unik yang dimunculkan, dan tentunya dikemas dengan pendekatan cerita yang lebih serius.
WATCH TRAILER