1917 (2019)
119 min|Action, Drama, War|10 Jan 2020
8.2Rating: 8.2 / 10 from 707,790 usersMetascore: 78
April 6th, 1917. As an infantry battalion assembles to wage war deep in enemy territory, two soldiers are assigned to race against time and deliver a message that will stop 1,600 men from walking straight into a deadly trap.

1917 adalah film perang unik garapan sineas kawakan, Sam Mendes. Kehebohan filmnya sudah sejak lama diberitakan sebelum filmnya diputar di sini, melalui serangkaian penghargaan yang diraihnya. Di antaranya film terbaik kategori drama dalam ajang Golden Globe baru lalu, hingga 10 nominasi Oscar dalam ajang Academy Awards. Satu hal unik yang sering diberitakan adalah filmnya hanya menggunakan satu shot panjang yang berkesinambungan sejak awal hingga akhir. Kisahnya konon diadaptasi dari cerita kakek dari sang sineas sendiri yang terfokus pada dua tokoh utama yang dibintangi George McKay dan Dean-Charles Chapman. Film ini didukung pula oleh beberapa bintang kenamaan, seperti Colin Firth, Benedict Cumberbacth, serta Mark Strong. Ekspektasi tinggi tentu mengiringi semua orang sebelum menonton filmnya.

Plotnya ringkas saja dan berlatar Perang Dunia Pertama. Dua serdadu Inggris, Tom Blake dan Will Schofield mendapat misi amat penting dari sang jendral untuk membatalkan serangan besar pasukan sekutu terhadap Jerman jauh di lini depan sana. Tom dan Will harus berjalan kaki masuk ke wilayah musuh dengan berbagai macam hal dan rintangan yang mereka temui sepanjang perjalanan.

Dengan kisah yang sangat sederhana film ini menampilkan perjalanan dua tokohnya nyaris secara real time (satu waktu tak terputus). Nyaris real time? Jauh sebelum ini, kita semua tahu bahwa sang sineas menggunakan teknik long take  yang berkesinambungan sepanjang filmnya. Mendes bisa jadi terinspirasi dari film garapannya sendiri, Spectre (James Bond) yang dalam opening sekuennya menggunakan teknik yang sama di awal filmnya. Filmnya menggunakan teknik long take yang seolah terlihat tak terputus, hanya satu shot, padahal ia memotongnya beberapa kali (2x). Dalam 1917, hebatnya ia menggunakan teknik ini sepanjang filmnya. Tentunya ini adalah teknik yang sangat sangat sulit untuk dilakukan karena tetap saja ia harus melakukan teknik long take sepanjang waktu dan memotongnya dalam beberapa momen.

Baca Juga  Resident Evil: The Final Chapter

Bagi penikmat film yang memiliki sedikit pengetahuan tentang teknis produksi, tentu tak sulit melihat di mana potongan-potongan filmnya. Bahkan seringkali mudah terlihat, misalnya menggunakan potongan cut saat layar hitam (masuk ke dalam bunker) atau ketika kamera bergerak secara cepat, hingga transisi halus menggunakan teknik wipe ketika shot melintasi pagar, tiang pancang, tembok, atau badan seseorang. Sineas legendaris, Alfred Hicthcock telah melakukan hal yang sama dalam The Rope (1948) bahkan secara real time sepanjang filmnya. Birdman adalah satu contoh film modern yang menggunakan teknik senada. Sayangnya, 1917 tidaklah real time, ada jeda waktu yang melompat dalam beberapa momen. Beberapa momen melompat ini justru membuat saya sedikit lepas dari kisahnya. Namun, bukan berarti film ini tidak istimewa secara teknis.

Shot menerus atau teknik long take dalam film ini sungguh sangat istimewa dan bahkan terlihat tak masuk akal untuk dilakukan. Dalam beberapa momen, shot-nya seolah melayang, mampu bergerak fleksibel melewati sungai atau genangan air atau tempat-tempat yang rasanya tak mungkin dilakukan jika kamera dipegang langsung oleh operatornya. Beberapa kali saya berdecak kagum, bagaimana itu bisa dikakukan? Membayangkan untuk membuatnya saja saya tak mampu. Luar biasa sekali. Teknik sinematografi ini didukung pula oleh setting yang sangat memukau, dari bunker, parit yang berisi ratusan prajurit, hutan, kota yang hancur dan luluh lantak oleh bom, hingga padang rumput yang dihujani dengan bom. Aspek sinematografi dan tata artistik (production design) adalah dua aspek kuat yang rasanya bakal 100% meraih Piala Oscar.

Melalui pencapaian istimewa sinematografi dan mise-en-scene-nya, 1917 adalah sebuah perjalanan sinematik yang sangat mengagumkan walau untuk genrenya, kisahnya sendiri tak seheboh pencapaian estetiknya. 1917, sayangnya bukan (the next) Russian Ark (2002) dan Victoria (2015) yang benar-benar menggunakan teknik long take sepanjang filmnya (hanya 1 shot). 1917 adalah sebuah film yang kelak menjadi banyak perbincangan serta menjadi bahan rujukan (referensi), khususnya aspek sinematografi hingga beberapa dekade mendatang. Masih ada celah buat sineas lain untuk melakukan hal ini. Siapa tahu kelak, ada sineas yang berani membuat film superhero hanya menggunakan 1 shot sungguhan? Saya masih menunggu momen ini.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaDolittle
Artikel BerikutnyaJanin
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.