1917 adalah film perang unik garapan sineas kawakan, Sam Mendes. Kehebohan filmnya sudah sejak lama diberitakan sebelum filmnya diputar di sini, melalui serangkaian penghargaan yang diraihnya. Di antaranya film terbaik kategori drama dalam ajang Golden Globe baru lalu, hingga 10 nominasi Oscar dalam ajang Academy Awards. Satu hal unik yang sering diberitakan adalah filmnya hanya menggunakan satu shot panjang yang berkesinambungan sejak awal hingga akhir. Kisahnya konon diadaptasi dari cerita kakek dari sang sineas sendiri yang terfokus pada dua tokoh utama yang dibintangi George McKay dan Dean-Charles Chapman. Film ini didukung pula oleh beberapa bintang kenamaan, seperti Colin Firth, Benedict Cumberbacth, serta Mark Strong. Ekspektasi tinggi tentu mengiringi semua orang sebelum menonton filmnya.
Plotnya ringkas saja dan berlatar Perang Dunia Pertama. Dua serdadu Inggris, Tom Blake dan Will Schofield mendapat misi amat penting dari sang jendral untuk membatalkan serangan besar pasukan sekutu terhadap Jerman jauh di lini depan sana. Tom dan Will harus berjalan kaki masuk ke wilayah musuh dengan berbagai macam hal dan rintangan yang mereka temui sepanjang perjalanan.
Dengan kisah yang sangat sederhana film ini menampilkan perjalanan dua tokohnya nyaris secara real time (satu waktu tak terputus). Nyaris real time? Jauh sebelum ini, kita semua tahu bahwa sang sineas menggunakan teknik long take yang berkesinambungan sepanjang filmnya. Mendes bisa jadi terinspirasi dari film garapannya sendiri, Spectre (James Bond) yang dalam opening sekuennya menggunakan teknik yang sama di awal filmnya. Filmnya menggunakan teknik long take yang seolah terlihat tak terputus, hanya satu shot, padahal ia memotongnya beberapa kali (2x). Dalam 1917, hebatnya ia menggunakan teknik ini sepanjang filmnya. Tentunya ini adalah teknik yang sangat sangat sulit untuk dilakukan karena tetap saja ia harus melakukan teknik long take sepanjang waktu dan memotongnya dalam beberapa momen.
Bagi penikmat film yang memiliki sedikit pengetahuan tentang teknis produksi, tentu tak sulit melihat di mana potongan-potongan filmnya. Bahkan seringkali mudah terlihat, misalnya menggunakan potongan cut saat layar hitam (masuk ke dalam bunker) atau ketika kamera bergerak secara cepat, hingga transisi halus menggunakan teknik wipe ketika shot melintasi pagar, tiang pancang, tembok, atau badan seseorang. Sineas legendaris, Alfred Hicthcock telah melakukan hal yang sama dalam The Rope (1948) bahkan secara real time sepanjang filmnya. Birdman adalah satu contoh film modern yang menggunakan teknik senada. Sayangnya, 1917 tidaklah real time, ada jeda waktu yang melompat dalam beberapa momen. Beberapa momen melompat ini justru membuat saya sedikit lepas dari kisahnya. Namun, bukan berarti film ini tidak istimewa secara teknis.
Shot menerus atau teknik long take dalam film ini sungguh sangat istimewa dan bahkan terlihat tak masuk akal untuk dilakukan. Dalam beberapa momen, shot-nya seolah melayang, mampu bergerak fleksibel melewati sungai atau genangan air atau tempat-tempat yang rasanya tak mungkin dilakukan jika kamera dipegang langsung oleh operatornya. Beberapa kali saya berdecak kagum, bagaimana itu bisa dikakukan? Membayangkan untuk membuatnya saja saya tak mampu. Luar biasa sekali. Teknik sinematografi ini didukung pula oleh setting yang sangat memukau, dari bunker, parit yang berisi ratusan prajurit, hutan, kota yang hancur dan luluh lantak oleh bom, hingga padang rumput yang dihujani dengan bom. Aspek sinematografi dan tata artistik (production design) adalah dua aspek kuat yang rasanya bakal 100% meraih Piala Oscar.
Melalui pencapaian istimewa sinematografi dan mise-en-scene-nya, 1917 adalah sebuah perjalanan sinematik yang sangat mengagumkan walau untuk genrenya, kisahnya sendiri tak seheboh pencapaian estetiknya. 1917, sayangnya bukan (the next) Russian Ark (2002) dan Victoria (2015) yang benar-benar menggunakan teknik long take sepanjang filmnya (hanya 1 shot). 1917 adalah sebuah film yang kelak menjadi banyak perbincangan serta menjadi bahan rujukan (referensi), khususnya aspek sinematografi hingga beberapa dekade mendatang. Masih ada celah buat sineas lain untuk melakukan hal ini. Siapa tahu kelak, ada sineas yang berani membuat film superhero hanya menggunakan 1 shot sungguhan? Saya masih menunggu momen ini.