47 Meters Down: Uncaged (2019)
90 min|Adventure, Drama, Horror|16 Aug 2019
5.0Rating: 5.0 / 10 from 31,551 usersMetascore: 43
Two sisters diving in a ruined underwater city quickly learn they've entered the territory of the deadliest shark species in the claustrophobic labyrinth of submerged caves.

Sukses komersial 47 Meters Down berbuntut pada sekuelnya, 47 Meters Down: Uncaged yang kini masih pula diarahkan oleh Johannes Roberts. Dengan berbekal dua kali lebih dari bujet film sebelumnya (US$ 12 juta), sekuelnya menampilkan sisi artistik bawah laut yang lebih megah dari sebelumnya. Sekuelnya, kini menampilkan bintang-bintang muda yang belum familiar di layar lebar, seperti Sophie Nelisse, Corinne Foxx, Brian Tju, serta Sistine Stallone, putri dari aktor laga legendaris. Dengan bujet lebih, apa yang mau ditawarkan sekuelnya?

Mia bersama kakak tirinya Sasha, serta dua rekannya Alexa dan Nicole, pergi berlibur ke lokasi pantai tersembunyi yang amat indah. Di lokasi tersebut, ternyata juga merupakan pintu masuk ke situs arkeologi bawah air yang kini tengah diteliti oleh ayah Mia dan Sasha. Mereka pun masuk ke dalam sana dan sesuatu yang berbahaya menanti mereka di kegelapan.

Konsep sekuel ini tercatat agak unik memang karena lazimnya sebuah film lanjutan menggunakan tokoh utama atau pendukung dalam kisah sebelumnya. Tapi kini yang menjadi kontinuiti serinya adalah situasi. Mereka sama-sama diteror oleh hiu dan terjebak di bawah air. Sekuelnya ini jelas punya potensi, namun semua yang disajikan dalam kisahnya nyaris seluruhnya tak masuk akal. Film ini memiliki cacat plot yang jauh lebih banyak dari jumlah hiu yang ada dalam filmnya. Aksi real time (tanpa jeda) sekuen bawah air yang mendominasi filmnya (80% durasi) juga tak mampu menutup kelemahan plotnya.

Baca Juga  Armageddon Time

Bicara lubang plot, saya bingung mau dari mana membahasnya. Jika memang di dalam sana sudah terdapat hiu (hiu tersebut sampai berevolusi), mengapa mereka tidak menyerang sang ayah dan rekan-rekannya terlebih dulu yang sudah mengeksplorasi lokasi tersebut sejak lama (dengan segala peralatan beratnya)? Satu hal yang saya pelajari dari banyak film hiu (saya jelas bukan ahli hiu), adalah hiu baru akan menyerang ketika mencium darah. Wow. Hiu-hiu ini istimewa sekali. Jangan heran jika hiu-hiu ini bisa muncul dari mana saja ketika dikisahkan satu jalan sudah tertutup atau bercelah sempit. Walau buta, hiu-hiu ini tahu betul bagaimana memburu mangsanya tanpa merasa lapar bahkan ketika ia sudah memangsa manusia. Dari semua nonsense yang disajikan dalam filmnya, pertanyaan saya cuma satu: di mana saya bisa membeli speaker bawah air yang bisa melantunkan lagu The Look (Roxette) sama baiknya dengan kualitas suaranya di udara (darat)? Unbelievable!

Seperti film sebelumnya yang mengandalkan adegan aksi bawah air, 47 Meters Down: Uncaged adalah sekuel medioker dengan CGI buruk dan naskah yang cacat. Plotnya yang tak bernalar membuat sulit untuk bisa masuk ke dalam kisahnya. Apa pun bisa terjadi dan lantas apa poinnya? Tak ada ketegangan selain hanya efek jump scare (baca: mengagetkan). Bukan lantas tidak menghargai seluruh jerih payah karena telah menampilkan segmen bawah air dengan segala kesulitannya. Buat apa bercerita jika semua yang terjadi mustahil untuk terjadi? Seri pertamanya jelas tidak seburuk ini.

Baca: 47-meters-down

PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaThe Angry Birds Movie 2
Artikel BerikutnyaBox Office 2019: Dominasi Disney
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.