Garin Nugroho rupanya masih tertarik menuliskan kisah-kisah yang berangkat dari budaya dan kepercayaan masyarakat lokal. Kali ini, dia ramu lokalitas Bali ke dalam drama roman berjudul A Perfect Fit, bersama Hadrah Daeng Ratu yang sekaligus mengarahkannya. Belum banyak yang dikenal kuat dari sutradara ini, tetapi Garin mungkin punya caranya sendiri dalam menulis skenario drama roman. Melalui produksi oleh StarVision Plus dengan Netflix sebagai medium yang menayangkannya, film ini melibatkan sederet nama yang tidaklah asing, mulai dari Nadya Arina, Refal Hady, Giorgino Abraham, Anggika Bolsterli, Ayu Laksmi, Unique Priscilla, serta Christine Hakim dan Jajang C. Noer. Jelas, dua nama di antaranya dibawa oleh Garin.
Sebuah ramalan yang didasarkan pada kepercayaan masyarakat lokal mempertemukan Rio (Refal Hady) dan Saski (Nadya Arina). Dua insan yang saling terikat dengan masalah masing-masing. Masalah mereka lambat-laun kian pelik karena melibatkan banyak orang. Mulai dari sakitnya sang ibu (Ayu Laksmi), sehingga memaksa Saski terikat pertunangan dengan Deni (Giorgino Abraham). Ada pula Rio yang tak punya ketegasan seorang laki-laki sehingga begitu saja menuruti keinginan ibunya (Unique Priscilla) untuk dijodohkan dengan anak temannya, Tiara (Anggika Bolsterli). Walau dengan kegembiraan yang seolah kasatmata, pelbagai macam rintangan nyatanya datang silih-berganti menghambat mereka.
Sekilas menonton film ini sudah langsung membersitkan tanya, apakah A Perfect Fit ini adalah Film Televisi (FTV) setting Bali dengan gaya tayangan OTT? Bukan berarti buruk sama sekali. Hanya mungkin ini persoalan pandangan semata. Meskipun tetap saja tak bisa disangkal, sebagian besar yang ada di dalamnya klise dengan pelbagai cerita roman picisan ala FTV berlatar Bali –yang sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Perbedaan paling mencolok film ini dengan FTV adalah pada nama-nama yang mengisinya, seperti Karina Suwandhi, Ayu Laksmi, serta yang terkhusus ialah Yayu A.W. Unru dan Christine Hakim.
Selain dari latar tempatnya yang teramat kentara, alurnya pun mudah ditebak. Seseorang bisa langsung mengetahui akan seperti apa ending-nya, saat melihat pertemuan pertama antara Rio dan Saski di menit-menit awal. Sebuah efek samping ketika unsur dramatik dalam ceritanya lemah dengan hanya berporos pada pengadeganan, olah peran, dengan tempo yang lambat dan musik orisinal sebagai pendukung setiap momen yang terjadi. Agak mengecewakan ketika melihat siapa yang mengerjakan skenarionya. Kisah drama roman bukanlah garapan baru juga baginya.
Kendati sedemikian klise dan mudahnya cerita dalam film ini ditebak, A Perfect Fit bukan lantas tak layak sama sekali untuk ditonton. Masih ada beberapa bagian yang dapat diterima, walau tak seberapa. Misalnya keberadaan para cast populer yang memainkan peran mereka masing-masing, pengangkatan budaya lokal setempat, dan visual dari setiap spot wisata. Tetapi yang paling diminati oleh penggemar kisah drama percintaan berlatar Bali, barangkali ialah segmen romannya. Apalagi dengan kemunculan wajah-wajah Refal Hady, Nadya Arina, Anggika Bolsterli, dan Bryan Domani.
A Perfect Fit, pada cukup banyak detailnya juga tak melulu soal itu. Film ini juga punya sejumlah unsur yang menonjol sehingga dapat dijadikan pemakluman manakala terdapat masalah dalam naratifnya. Terutama tindakan sineas dalam memadu-padankan antara sinematografi, dialog serba filosofis, dan kepercayaan masyarakat. Juga editing yang melakukan tugasnya untuk mewujudkan unsur kepercayaan masyarakat tersebut menjadi tampak nyata. Ya, bagaimana pun, drama roman yang sangat umum memang acapkali dipenuhi oleh keindahan. Hal-hal yang pastilah disukai oleh penggemarnya.
A Perfect Fit mungkin bukanlah drama roman terbaik, namun tetap memiliki nilai tersendiri berkat kebaikannya dalam memaksimalkan budaya dan kepercayaan masyarakat lokal. Sineasnya tampak paham akan kelemahan dari naratifnya sehingga memutuskan untuk menggali kemungkinan penunjang sebanyak-banyaknya lewat aspek lain. Ketika kelemahan itu sudah tertutupi dengan cukup baik, maka penonton pun diharapkannya mau memaklumi. Meski hendak dikatakan bagaimanapun juga, tetap saja naratif yang lemah itu perkara fatal.
Only 5/10 ?
You need more love.
The score given is following the assessment of all film aspects in the film. A film is not just about one or two things. Even for romance drama films, the assessment considerations aren’t only from the aspect of the love story. There are elements of story format, plot, forms of conflict, etc.