Abyss atau dalam ejaan Korea dibaca Eobiseu merupakan film serial fantasi dan kriminal.  Tontonan bertotal 16 episode ini disutradarai oleh Yoo Je-won. Yoo adalah biang di balik serial fantasi Oh My Ghostess (2015), Tomorrow with You (2017), dan Hundred Million Stars from the Sky (2018) yang fenomenal. Baru-baru ini, Yoo menambah jam terbang dengan garapan lain yang tidak kalah memikat, seperti Hi Bye, Mama! (2020), Hometown Cha-Cha-Cha (2021), dan One Shot Scandal yang segera hadir tahun ini.

Meskipun telah beradik dan berusia hampir tiga tahun, Abyss (2019) rupanya masih cukup populer di kalangan penggemar K-drama. Serial yang menghadirkan wajah Park Bo-young (Go Se-yeon), Ahn Hyo-seop (Cha Min), Kwoon Soo-hyun (Seo Ji-wook), dan Lee Sung-jae (Oh Yoeng-cheol) ini masih menduduki Top Ten di tangga Netflix Indonesia. Apakah memang sebagus itu?

Abyss memuat kisah Cha Min (Ahn Hyo-seop) dan Go Se-yeon (Park Bo-young), dua orang bersahabat yang bangkit dari kematian berkat sebuah bola ajaib. Cha Min yang berwajah buruk diceritakan bangkit sesuai bentuk jiwanya yang tampan. Di sisi lain, Go Se-yeon yang selama ini menjadi perempuan idaman justru bangkit dengan wajah pas-pasan. Pasca kematian, keduanya terlibat dalam sebuah kasus pembunuhan tragis dengan Cha Min sebagai tersangka dan Go Se-yeon sebagai korban. Mereka lantas bekerja sama untuk mengungkap identitas pembunuh yang sebenarnya.

Gagasan tentang bola ajaib yang mampu menghidupkan orang mati sesuai bentuk jiwanya terbilang unik. Pada episode awal, gagasan ini mampu membangun plotnya dengan baik. Dibantu latar penokohan yang kongkrit dan terkonsep; ditambah unsur drama dan sentuhan komedi; serial ini berhasil menjadi tontonan kriminal yang misterius, rumit, namun tetap menghibur. Sayangnya, hal ini tidak berlanjut hingga akhir musim. Gagasan bola ajaib yang tadinya menjadi daya tarik justru berbalik sebagai bumerang. Konsep cara kerja si bola ajaib sendiri lama-lama menjadi terkesan hanya mengikuti tuntutan cerita. Hal ini menghadirkan plot holes yang tidak sedikit. Ada banyak sekali pengulangan yang membuat cerita terkesan bertele-tele. Perkembangan karakter pun menjadi tidak relevan akibat alur yang tidak konsisten.

Baca Juga  Sentinelle

Pada separuh musim terakhir, penggemar cerita misteri kriminal barangkali akan kehilangan daya tarik dan kecewa. Tetapi untuk pencinta roman, justru sebaliknya. Unsur percintaan sangat mendominasi mulai pertengahan musim. Hal ini tentu akan baik-baik saja jika unsur percintaan memang kuat sejak awal. Sayangnya pada separuh musim pertama unsur cinta hanya terasa sebagai bumbu. Sehingga, dominasinya di bagian akhir justru tampak seperti mis-orientasi cerita.

Hal yang juga cukup disayangkan dalam serial ini adalah perihal kostum, khususnya menyangkut adegan menyamar. Sebagai tontonan yang memuat kisah misteri kriminal, kostum penyamaran mestinya cukup krusial. Bagaimana pun, ketepatan kostum dapat menambah kesan misterius. Tetapi Yoo  dan kawan-kawan agaknya tidak mau pusing-pusing. Seolah semua beres selama ada masker, topi, dan rambut palsu.

Untunglah Yoo menggandeng para pemain yang mumpuni. Melalui serial ini, Park Bo-young, yang telah mengantongi banyak penghargaan, sekali lagi menunjukkan kepiawaiannya berakting. Meskipun Kwoon Soo-hyun (Seo Ji-wook) tampil agak berlebihan, hampir semua pemain hadir dengan performa yang baik. Sepanjang serinya, Bo-young bersama Ahn Hyo-seop mampu menggiring penonton untuk ikut merasakan kematian dan kebangkitannya. Soal ini, pengambilan gambar dengan variasi sudut pandang (point of view) juga ikut andil.

Berangkat dari gagasan unik, serial Abyss terbilang cukup menghibur. Akting yang memukau, ditambah pengambilan gambar dan pemilihan sudut pandang yang bervariasi adalah daya pikat utama. Di sisi lain, serial ini menyajikan gaya hidup borjuis yang menjadi daya tarik sendiri bagi kalangan tertentu. Meski begitu, penggemar cerita misteri kriminal barangkali akan kehilangan daya tarik di pertengahan musim hingga akhir. Tertarik menonton? Cek saja di Netflix.

Penulis: Arami Kasih

 

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaThe Bubble
Artikel BerikutnyaIhwal Film Indonesia, Usmar Ismail dan Wartawan Tidak Dapat Dipisahkan
Arami Kasih menempuh pendidikan D3 Komunikasi di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010, kemudian melanjutkan studi S1 Film dan Televisi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta melalui program ekstensi. Arami lulus sebagai Sarjana Seni pada tahun 2019 dengan pengkajian berjudul “Implikasi Perubahan Naratif dan Sinematik dari Ekranisasi Blog Kambing Jantan”. Delapan tahun mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, ia terlibat secara aktif dalam berbagai organisasi baik sebagai pengurus maupun anggota. Beberapa di antaranya adalah komunitas radio Bionic FM, sebagai bendahara dan penyiar; komunitas sastra Pena Merah, sebagai penubuh dan penulis; serta Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi, sebagai pemimpin umum, editor, dan reporter. Ketertarikannya terhadap film berawal dari kegemaran mendengarkan dongeng yang dituturkan secara apik oleh orang tuanya semasa kecil. Ditambah kecintaannya terhadap segala bentuk kesenian, mulai dari seni tradisional hingga media baru. Ia pun telah beberapa kali terlibat dalam kegiatan seni rupa dan pertunjukan. Baginya, film sebagai karya seni popular merupakan manifestasi imaji yang nyaris sempurna. Sebagai mahasiswa, ia telah memproduksi berbagai karya film baik fiksi maupun dokumenter. Arami juga telah menonton segudang film dari masa ke masa. Mulai dari film roman klasik seperti Roman Holiday, hingga Lamb. Karya skenario film pertamanya dibuat pada tahun 2019 berjudul “Mulawi”. Pada tahun 2020, karya ini telah dialihwahanakan dan diterbitkan sebagai novel berjudul “Petemun” oleh penerbit indi. Arami bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2022.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.