Ad Astra (2019)
123 min|Adventure, Drama, Mystery|20 Sep 2019
6.5Rating: 6.5 / 10 from 264,171 usersMetascore: 80
Astronaut Roy McBride undertakes a mission across an unforgiving solar system to uncover the truth about his missing father and his doomed expedition that now, 30 years later, threatens the universe.

Ad Astra adalah film petualangan fiksi ilmiah arahan James Gray yang beberapa tahun lalu menggarap film biografi petualangan, The Lost City of Z. Film yang ditulis naskahnya oleh Gray sendiri, dibintangi oleh Brad Pitt, Tommy Lee Jones, Donald Sutherland, dan Liv Tyler. Astra mencoba sesuatu yang unik secara estetik, namun secara kisah memang bukan lagi satu hal yang baru.

Alkisah di masa datang, Planet Bumi diserang oleh gelombang elektromagnetik misterius yang mampu merusak peralatan serta sistem navigasi yang ada di seluruh sistem tata surya. Pusat Komando Angkasa (SpaceCom) mendeteksi sumber gelombang tersebut berasal dari pesawat angkasa “Lima Project” yang bermisi untuk mencari kehidupan lain di luar tata surya yang hilang 16 tahun yang lalu. Roy McBride (Pitt) diutus untuk memecahkan misteri ini karena sang ayah, Cliff McBride (Lee Jones) adalah komandan dari “Lima Project” yang juga seorang legenda astronot.

Dengan tempo plot yang sangat lambat, kisahnya bergulir. Suasana senyap sudah dibangun sejak awal, membuat suasana angkasa luar di sepanjang film terasa realistik. Nuansa misteri sudah terbangun sejak awal kisahnya dan kita tahu ada sesuatu kejutan besar di luar sana. Secara bertahap, pertanyaan demi pertanyaan mulai terjawab hingga klimaks filmnya. Ekspektasi besar seolah menanti kita di penghujung film, namun sayangnya, tidak banyak kejutan berarti. Penikmat film sejati, tentu tak sulit untuk menebak ke mana arah kisah filmnya. Kisah yang dimaksudkan kompleks, ditutup sangat gamblang. Narasi Roy di penghujung justru dirasa tak perlu karena tanpa ini pun, kita semua juga telah paham. Tema kisah senada tentang hubungan orang tua dan anak (trauma), sudah kita lihat sebelumnya dalam Interstellar dan Gravity. Dua film ini jelas lebih superior dari sisi cerita dan penyampaian pesannya.

Baca Juga  The Bad Guys

Satu hal yang mengagumkan dalam filmnya selain atmosfir angkasa luar yang senyap adalah setting yang terlihat realistik. Bagi saya, Ad Astra adalah salah satu yang terbaik menggambarkan interior pesawat atau stasiun angkasa luar. Tak ada hologram atau teknologi super modern lainnya. Bahkan, tampilan video di pesawat angkasa disajikan sederhana menggunakan rekaman video biasa. Satu lagi yang jelas menonjol adalah akting sang pemain utama, Brad Pitt. Pitt sepanjang film terlihat “cool” seolah “mati rasa” karena trauma masa lalunya. Pitt tak hanya berakting secara fisik, namun juga suara hati Roy yang dominan kita dengar sepanjang film, mampu memudahkan penonton untuk berempati dengan sang karakter. Sayang, penampilan kuat sang aktor dikecewakan oleh penyampaian inti kisahnya.

Ad Astra mampu menampilkan sajian fiksi ilmiah yang unik dengan gaya realistik, melalui setting, musik, suara batin, serta tempo filmnya yang lambat, hanya saja, film ini terjebak oleh temanya yang klise tanpa mencoba sesuatu yang lebih berani. Ad Astra jelas memiliki potensi lebih untuk ini jika ingin bermain dengan metafora. Tidak banyak film angkasa yang menampilkan lokasi cerita sejauh ini (tata surya kita), gelap, dingin, dan sepi walau untuk menjangkau ujung tata surya masih dirasa terlalu cepat.

 

PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaRambo: Last Blood
Artikel BerikutnyaGood Boys
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.