Sebagian orang di dunia ini melindungi anggota keluarga mereka dengan menutupi kesalahan fatal yang telah diperbuat. Sebagiannya lagi melindungi karir dengan jalan membunuh. Teddy Soeriaatmadja lantas menyatukan keduanya dalam Affliction, film horor thriller semi drama keluarga yang diarahkan sekaligus ditulis sendiri olehnya. Salah satu filmnya yang mungkin memorable adalah Something in the Way. Film produksi Karuna Pictures dan Roemah Rumah Films, dengan didistribusikan melalui Netflix ini diperankan oleh Raihaanun Soeriaatmadja, Tutie Kirana, Ibnu Jamil, Abiyyu Barakbah, Tasya Putri, Dea Panendra, dan Hetty Reksoprodjo. Tampaknya meski penyutradaraan dan penulisan skenario dikerjakan sendiri olehnya, Teddy Soeriaatmadja masih optimis dengan menggandeng beberapa nama terkenal.

Kehidupan keluarga Hasan (Ibnu Jamil), Nina (Raihaanun Soeriaatmadja), serta dua anak mereka Tasya (Tasya Putri) dan Ryan (Abiyyu Barakbah) mulai berjalan seperti hari-hari biasa usai sepeninggalan sang Oma (Hetty Reksoprodjo). Namun, kemunculan Narsih (Dea Panendra) yang tiba-tiba datang bertamu, mempertemukan keluarga ini dengan Ibu Hasan (Tutie Kirana) di kampung halamannya. Mulanya, semua tampak normal dengan sang ibu yang telah mengalami Alzheimer di usia tuanya. Tetapi satu persatu kemisteriusan mulai menunjukkan diri mereka melalui Nina, Tasya, dan Ryan. Misteri yang telah puluhan tahun dikubur rapat-rapat, tentang masa lalu Hasan dan ibunya.

Gaya opening Affliction terasa begitu khas seperti film-film fiksi pendek bertema drama keluarga. Suasananya berbalut hening, sepi, tak berdialog, namun tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah adegan singkat yang memicu pertanyaan. Lumayan efektif, melihat bagaimana film ini nantinya berjalan dengan banyak sekali misteri.

Akting Raihanuun pun semacam refresh dalam Affliction, karena hampir di sepanjang film mengingatkan pada perannya sebagai May dalam 27 Steps of May. Bisa dibilang atmosfer dalam film itu –terutama saat berada di set rumah—sama dengan film ini, yang didominasi oleh suasana hening, sepi, tetapi menyimpan masalah serius, serta mengandung kecurigaan dan kewaspadaan terhadap ‘sesuatu’. Bagaimanapun, Raihanun punya kelasnya sendiri dalam berakting. Terutama dalam memerankan karakteristik perempuan saat menunjukkan emosi stres, frustasi, ketakutan, dan panik.

Tokoh lain (dalam film ini) dengan karakteristik tak asing dan khas film horor adalah Ryan. Sejenak, momen misterius yang beberapa kali ditunjukkan Ryan, sedikit mengingatkan pada sosok Ian dalam Pengabdi Setan. Walau tidak secara persis. Tak hanya mereka berdua, Ibnu Jamil pun mengingatkan pada perannya sebagai Firman dalam Mudik, yang notabene masih bisa dibilang segar di ingatan karena baru rilis pada masa-masa lebaran tahun lalu.

Affliction mulanya terasa seperti film drama keluarga semi horor, dengan beberapa kejadian ganjil serta tempat dan keberadaan sosok misterius. Namun, intensitasnya yang kian meningkat lama-lama memberi dampak yang bisa dianggap cukup menyeramkan terhadap film ini. Belum lagi didukung dengan atmosfer film dan karakteristik Ibu Hasan yang tampak menyembunyikan ‘sesuatu’, banyak diam, dan kerap menunjukkan gelagat seolah melihat penampakan. Dengan semua hal ini kesan horor dalam Affliction pun kian terasa kuat. Padahal mulanya film ini seperti bertemakan drama keluarga, khususnya relasi antara anak dan orang tua.

Baca Juga  Kartini

Bagi yang tidak memperhatikan deskripsi film ini sebelum menontonnya pasti takkan mengira, bahwa film yang awalnya disangka merupakan drama keluarga nyatanya berubah jadi horor thriller berbalut misteri. Ada pula sejumlah unsur filmis lain yang juga mendukung kesan horor ini. Seperti kondisi rumah yang ditempati saat Hasan sekeluarga mengunjungi ibunya, lokasi rumah yang jauh dari keramaian, selalu adanya kabut pagi serta asap pada malam hari, dan minimnya cahaya terang.

Affliction pada akhirnya mengantarkan penontonnya pada aksi tebak-tebakan jangka panjang, karena pengemasan ceritanya yang memainkan unsur “penasaran”. Film ini bemain-main dengan rasa ingin tahu dari penonton melalui sudut pandang Nina. Affliction lantas mulai konsisten menghadirkan ciri khas genre horor dalam filmnya, yakni ketegangan, sejak kunjungan tokoh utama ke rumah Ibu Hasan pada babak kedua. Namun meski begitu, kalau dari segi sensasi, film ini sebetulnya masih kalah dengan Pengabdi Setan maupun Perempuan Tanah Jahanam. Walau tampaknya film ini memahami dengan baik hal-hal apa saja yang bisa dimaksimalkan olehnya. Misalnya rasa penasaran itu tadi.

Terlepas dari semua itu, ternyata tak ada penyelesaian yang lebih manusiawi terhadap seorang pasien Alzheimer, kecuali dengan pembunuhan. Bahkan penyakit yang termasuk menjadi concern banyak praktisi kesehatan ini tidak terlalu mendapat porsi yang sangat penting dalam film ini. Pada akhirnya, Alzheimer tersebut hanya digunakan sebagai alasan yang mengantarkan pertemuan antara beberapa tokoh penting, yang sebelumnya tinggal di dua tempat berbeda. Lantas jika cuma untuk mempertemukan tokoh-tokoh ini, terutama ibu dan anaknya, mengapa harus Alzheimer? Toh penyakit karena usia tua saja sudah cukup. Lagipula, di sepanjang cerita dalam film penyakit ini hanya muncul sebagai sisipan belaka.

Kesepian yang terasa dalam Affliction mirip seperti drama keluarga, namun ternyata unsur-unsur pendukung horor thriller-nya bereskalasi seiring film berjalan sampai selesai. Drama yang tadinya tampak seperti bentuk rasa bakti seorang anak kepada ibu dengan Alzheimer-nya, malah berubah menjadi teror dari hantu anak kecil, misteri kasus hilangnya seorang anak puluhan tahun silam, hingga pembunuhan sebagai jalan pintas untuk menutup mulut.

 

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaArmy of the Dead
Artikel BerikutnyaA Quiet Place Part II
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.