All of Us Are Dead adalah serial Netflix aksi thriller remaja – zombi produksi Korea Selatan yang diarahkan oleh Lee Jae-kyoo dan Kim Nam-su. Kisah filmnya diadaptasi dari cerita webtoon (komik digital) lokal berjudul Now at Our School. Film ini dibintangi belasan bintang remaja, antara lain Park Ji-hoo, Yoon Chan-young, Park Solomon, Cho Yi-hyun, Lee Yoo-mi, serta aktor senior Lee Kyu-hyung. Serial ini memiliki 12 episode yang berdurasi rata-rata sekitar 1 jam. Industri film Korea Selatan, kita tahu telah memproduksi beberapa film zombi berkualitas dan segar untuk genrenya, sebut saja Train to Busan, Alive, The Wailing, Rampant, hingga serial populer Kingdom. So, sejauh apakah pencapaian serial ini dibandingkan film-film tersebut?

Cheong-san dan Omjo adalah dua sahabat sejak mereka kecil dan kini bersekolah di tempat yang sama, SMU Hyosan. Suatu ketika, sekolah mereka menjadi sumber wabah zombi yang berawal dari satu kecelakaan kecil di labolatorium. Dalam hitungan menit, ratusan siswa berubah menjadi mayat hidup yang memangsa siswa lainnya. Cheong-san, Omjo, dan rekan-rekan sekelasnya harus bertahan hidup di dalam lingkungan sekolah, sebelum bantuan dari luar datang.

Ringkas kisahnya terlihat sederhana, namun proses perjalanan plotnya jelas tidak mungkin kita singgung seluruhnya karena amat terlalu panjang. Bayangkan, durasinya lebih dari 12 jam jika kamu ingin menonton filmnya secara maraton. Namun, guliran episode ke episode lainnya seolah mengalir cepat tanpa terasa berlalu. Kisahnya berjalan intens, bergerak tanpa henti, selalu berpindah ruang dan karakter, berjalan nyaris nonstop dengan sisi ketegangan yang terjaga dengan solid. Kadang memang terasa melelahkan karena beberapa momen terasa repetitif (khususnya momen dramatik), namun secara keseluruhan plotnya mampu berjalan dinamis dengan selipan konflik internal yang membuat kita gregetan. Untuk seri sepanjang ini dan durasi cerita yang singkat (sekitar 3 hari) patut diapresiasi pencapaian naskahnya.

Keuntungan film serial tentu pada eksposisi (latar) kisahnya yang matang. Momen kilas-balik seringkali muncul untuk memberikan informasi latar cerita atau karakter, hanya sedikit menganggu kilas-balik berulang (sudah muncul sebelumnya) yang berkesan hanya mengulur waktu. Beberapa karakter non-siswa yang hadir juga tidak memberikan efek berarti bagi inti plotnya. Bisa dimaklumi, Ini memang konsekuensi logis dari serial sepanjang ini. Di lain sisi, satu nilai lebih adalah beberapa selipan humor humanis yang jarang ada di film sejenis ini. Misal saja, montage ketika mereka membuat tempat buang air darurat.  Momen-momen intim juga seringkali diselipkan yang memberikan nuansa hangat di tengah segmen aksinya yang melelahkan. Sayangnya, momen ini belum cukup untuk membuat kita bersimpati penuh dengan semua tokohnya, terkecuali 2-3 tokoh. Train to Busan masih lebih baik dalam menggait simpati penonton untuk banyak karakternya dengan durasi hanya 2 jam.

Baca Juga  Mr. & Mrs. Smith

Satu kekuatan film ini jelas pada setting terbatas di bangunan kompleks SMU Hyosan dengan segala atribut ruangnya. Aksinya bergerak dari ruang ke ruang, termasuk kelas, laboratorium, ruang guru & kepala sekolah, kafetaria & dapur, perpustakaan, toilet, ruang olahraga, ruang musik, area tangga, serta lainnya. Dalam tiap ruang dan momen pun, aksinya selalu menawarkan ketegangan dan konflik yang berbeda. Hal ini yang membuat kisahnya tidak membuat kita cepat bosan. Beberapa kejanggalan aksi dalam plotnya bisa dimaklumi, hanya terkadang kita pasti gemas dengan aksi konyol para karakternya dalam mencari solusi masalah menghadapi zombi. Mereka sudah tahu betul zombi bisa membunuh mereka tanpa memedulikan apa pun, namun terkadang lupa realita yang dihadapi dan lebih mementingkan perasaan. Kadang ini bekerja baik dan kadang pula over dramatik.

All of Us Are Dead adalah satu kisah thriller panjang yang segar untuk subgenrenya, dengan kekuatan mise_en_scene serta sisi humanisnya, sekalipun beberapa momen terdapat lubang plot dan sisi dramatisasi yang berlebihan. Memproduksi serial sepanjang ini serta mampu mempertahankan ritme ketegangan memang bukan perkara mudah, sang sineas telah merespon ini dengan sangat baik. Dari sisi kisahnya, film ini memang tidak selevel dengan Train to Busan serta Alive yang sama-sama berlokasi di ruang terbatas. Setidaknya, All of Us Are Dead telah memberikan warna baru bagi subgenre zombi melalui karakter remaja dengan segala polah dan kekinian mereka, sekaligus merefleksikan situasi global terkini yang terjadi pada umat manusia.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaHellbound
Artikel BerikutnyaGold
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.