Apollo 10½: A Space Age Childhood adalah film animasi drama remaja arahan sineas senior Richard Linklater. Naskahnya ditulis sendiri oleh sang sineas yang diadaptasi lepas dari kisah masa kecilnya. Film ini menggunakan varian teknik rotoscope yang juga ia gunakan untuk film-film sebelumnya, seperti Waking Life dan A Scanner Darkly. Linklater kita ketahui juga sineas yang mengarahkan trilogi Before serta Boyhood. Setelah dua tahun absen, kini rupanya Linklater kembali dengan salah satu karya terbaiknya.

Film ini berlatar waktu tahun 1969 di momen menjelang pendaratan Apollo 11 di bulan. Kisahnya berupa realitas alternatif, di mana sebelum Apollo 11 lepas landas, NASA rupanya telah melakukan uji coba dengan menggunakan awak seorang remaja untuk mendaratkan pesawat (Apollo 10½) di bulan. Bocah tersebut adalah Stan (narator: Jack Black), bocah remaja biasa yang tinggal tak jauh dari markas NASA. Ia direkrut karena tubuhnya yang kecil sehingga muat di pesawat yang konon salah desain (kekecilan). Dominasi alur kisahnya justru tidak bicara soal perjalanan Stan ke bulan melainkan nostalgia kehidupannya di era tahun 1960-an. Tak ada seorang pun yang tahu tentang ini selain Stan dan pihak berwenang NASA, tak juga ayahnya yang bekerja di sana.

Menonton film ini memberi sensasi dua hal yang luar biasa. Pertama, nostalgia era 1960-an di AS melalui perspektif anak-anak (Stan). Naskah segar dan brilian ini menyajikan segala hal tentang budaya pop masa itu, terkait musik, film, acara televisi, sekolah, makanan, minuman soda, perang Vietnam, perang dingin, hingga tentunya ambisi AS untuk ke bulan. Semua disajikan begitu rinci dengan detil yang amat luar biasa. Nyaris tidak ada cerita di sini melainkan kilasan fragmen demi fragmen yang saling menyambung dirangkum begitu apik dan dinamis. Kedua, adalah perjalanan Stan yang dipotong silang dengan segmen kilas balik di atas, khususnya sejak Stan pulang dari bulan. Ini memberikan perspektif unik, di mana kejadian historis tersebut seolah hanya sambil lalu bagi Stan. Stan (penonton) telah mengalaminya sendiri.

Baca Juga  The Exorcist: Believer

Secara estetik, selain kemasan animasi yang unik, pendekatan film ini didominasi teknik montage. Jujur saja, menonton film ini serasa melihat satu rangkaian montage dari awal hingga akhir. Montage efektif untuk menyajikan momen demi momen dalam tiap fragmennya. Satu montage menggambarkan acara televisi yang begitu beragam yang tentu mereka harus berebut untuk menontonnya karena keluarga Stan hanya memiliki satu televisi. Sisi humor yang disajikan begitu berkelas tak pernah lepas dari tiap segmennya, yang dijamin memancing tawa lepas kita sepanjang filmnya.

Apollo 10½: A Space Age Childhood adalah salah satu karya terbaik Linklater melalui perspektif personal serta nuansa nostalgianya. Film ini merupakan kombinasi kejadian personal dan imajinasi sang sutradara, sekaligus pula merupakan perjalanan sinematik yang mengasyikkan bagi kita, penikmat film. Banyak hal dalam filmnya merefleksikan situasi kita sekarang, baik teknologi, budaya pop masa kini, serta isu lingkungan, yang rasanya, satu dan banyak hal kini jauh lebih buruk dari era tersebut. Kebersamaan dan kehangatan seperti di filmnya, rasanya sekarang sudah mulai punah. Segalanya kini terasa artifisial dan palsu dengan standar ukuran yang entah bagaimana bisa, kini dinilai oleh orang lain (baca netizen) bukan dari diri kita sendiri. Tak ada keraguan, naskah menjadi satu kekuatan terbesar film ini dan Linklater telah dua kali meraih nominasi Oscar untuk kategori ini. Mungkin saatnya kini sang sineas mendapat penghargaan yang setimpal? I hope so.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaMoonshot
Artikel BerikutnyaThirty Nine
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.