Army of the Dead (2021)
148 min|Action, Crime, Drama|21 May 2021
5.8Rating: 5.8 / 10 from 192,199 usersMetascore: 57
Following a zombie outbreak in Las Vegas, a group of mercenaries take the ultimate gamble, venturing into the quarantine zone to pull off the greatest heist ever attempted.

Sejak trailer-nya rilis, Army of the Dead sudah tampak menarik untuk ditonton, terlebih sang punggawa adalah Zack Snyder yang dulu juga pernah menggarap film zombi berkualitas, Dawn of the Dead. Sebagai fans genrenya dan Dawn, saya amat menantikan film ini. Dengan berbujet lumayan besar (USD 70-90 juta), film yang dirilis Netflix ini dibintangi sederetan bintang internasional, antara lain Dave Bautista, Ella Purnell, Hiroyuki Sanada, Ana de la Reguera, Omar Hardwick, Nora Arnezeder, hingga Matthias Schweighofer. So, apakah film berdurasi 148 menit ini memberi sesuatu yang baru untuk genrenya serta pencapaiannya lebih dari Dawn of the Dead?

Satu rangkaian truk militer mengalami kecelakaan hebat. Mereka rupanya mengawal satu truk lapis baja yang berisi satu zombi super yang merupakan hasil uji coba lab. Satu persatu pasukan pengawal dilumpuhkan hanya dalam hitungan detik hingga tidak ada yang lagi yang menghambatnya untuk menuju Kota Las Vegas. Dengan singkat, Las Vegas pun dikarantina total dan dibentengi oleh kontainer yang melingkari kota. Montage credit yang menjadi ciri khas Snyder menyajikan semua ini dengan ringkas dan solid.

Serangkaian pasukan bayaran yang dipimpin Scott Ward (Bautista) mendapat misi dari seorang multimilyuner pemilik casino, Bly Tanaka (Sanada) untuk mengambil uang sebesar USD 200 juta di casino miliknya di Vegas dengan imbalan besar. Satu hal yang menjadi masalah adalah Kota Vegas akhirnya akan dibom nuklir oleh pemerintah untuk melenyapkan semua masalah. Berpacu dengan waktu, tim harus mengambil semua uang di brangkas dan lari dengan helikopter sebelum bom nuklir tiba dan ratusan zombi yang menghalangi jalan mereka.

Oke, sejak awal sang sineas memang mampu mencuri perhatian melalui adegan pembuka dan kreditnya yang memukau. Namun, satu hal yang tampak diabaikan adalah logika yang bagi saya sangat menganggu sekali. Truk yang berisi “zombi super” seberbahaya itu hanya dikawal satu konvoi tentara sebanyak itu dan tanpa ada mekanisme pengamanan berlapis? Ketika sang zombi lepas, pusat kontrol justru menyuruh sang komandan untuk segera meningalkan lokasi?? Apa ini semua disengaja, misalkan untuk mengetahui seberapa efektif sang zombi mematikan satu kota? Job done. Jika ini tak disengaja pun, semua sudah tak masuk akal. Cerita pun bergulir dengan premis yang tak bisa saya nalar hingga akhir. Coba pikir, dengan tim awal sebanyak itu, apakah heli sebesar itu akan muat untuk semua orang plus uang USD 200 jt? Satu lagi, berapa lama seseorang bisa menjadi zombi setelah mendapat gigitan? Jawaban ada di ending-nya.

Baca Juga  Black Panther

Cerita bergulir begitu cepat sejak montage pembuka, dan terus mengalir deras hingga titik balik cerita pertama. Semua begitu bergegas tanpa ada sedikit sentuhan emosional dengan satu tokoh pun yang mampu kita pedulikan. Sejak di lokasi Las Vegas, justru kisahnya melambat dengan konflik internal di antara mereka yang sudah biasa kita lihat di cerita macam ini, macam problem bapak dan putrinya, cinta yang tak terbalas, misi ganda, ego, hingga rakus akan uang. Selipan “humanis” ini tak ada satu pun yang mampu menyentuh simpati dan empati, serta lama durasi pun menambah rasa bosan dan jenuh. Lalu ada apa dengan sang zombi alpha? Siapa sebenarnya dia dan apa latar belakangnya hingga mendapat porsi begitu dominan? Seolah akan ada cerita di balik ini semua, namun di akhir tak ada sesuatu pun yang menjelaskan ini. Jujur saja, kisahnya pun secara keseluruhan tak punya makna berarti selain hanya aksi untuk pemuas penikmat subgenrenya.

Dengan durasi film yang relatif lama, Army of the Dead semata hanya menghibur untuk fans genrenya dengan kisah dan semua tokohnya yang sama tak berjiwanya dengan para zombi. Dibandingkan Dawn of the Dead, baik kisah dan pencapian estetiknya bagai bumi dan langit. Dawn punya intensitas ketegangan dan drama yang mengesankan. Setiap momen merupakan ancaman dan penonton pun turut merasakannya sepanjang film. Sisi drama begitu kuat, demikian pula simpati dan empati (rasa peduli) kita pada tiap tokohnya. Klimaksnya pun begitu menegangkan. Army of the Dead tidak sedikit pun menyentuh ini semua.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaThose Who Wish Me Dead
Artikel BerikutnyaAffliction
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.