Bila ada yang mencari film rilisan semasa pandemi dengan konsep pengemasan tak biasa, Aum! bisa dimasukkan ke sana. Aum! digarap oleh Bambang ‘Ipoenk’ K.M. dan Gin Teguh. Sutradara dan penulis yang sama-sama masih baru, dengan film-film mereka yang belum melebihi lima biji. Itu pun dokumenter pendek dan fiksi pendek. Lewat produksi Lajar Tanjap Films dan X-Code Films, film drama sejarah ini mulai tayang di Bioskop Online pada 30 September. Aum! diperankan oleh Jefri Nichol dan Chicco Jerikho, dua nama populer sebagai porosnya, serta pendatang baru seperti Aksara Dena dan Agnes Natasya Tjie. Dengan sederet nama baru ini termasuk kedua pentolannya (Ipoenk dan Teguh), seperti apa film sejarah yang hendak ditunjukkan oleh Aum!?
Tahun 1998 merupakan masa lalu dengan sejarah kelam ihwal konfrontasi antardua kubu, kelompok perlawanan dan pihak pemerintahan. Di antara konflik keduanya, ada sekelompok orang dari kubu perlawanan yang berupaya membuat karya film sebagai wadah suara mereka. Linda (Agnes Natasya Tjie) ialah perempuan yang memprakarsai karya itu. Dia mengajak serta Panca (Chicco Jerikho) untuk mengarahkan filmnya, dengan Satriya (Jefri Nichol) dan Adam (Aksara Dena) sebagai pemeran utama. Berbekal bujet pas-pasan dan perlatan alakadarnya, Linda memproduksi ‘suara’-nya secara “diam-diam”. Di bawah bayang-bayang risiko dengan kondisi negara pada masa itu.
Aum! memiliki konsep yang terbilang tak biasa dan menarik. Dengan aspect ratio fullscreen TV tabungnya terutama, lalu tone pada warna dan cahaya yang menyesuaikan latar waktu dalam ceritanya. Alih-alih sekadar menyuguhkan kostum dan properti untuk menunjukkan keterangan waktu berlangsungnya peristiwa, Aum! sampai merambah ke unsur-unsur yang lain. Jarang sekali hal semacam ini dilakukan terhadap film-film sejarah yang muncul beberapa tahun belakangan ini. Tidak lain alasan yang paling umum digunakan adalah segmentasi penonton. Ketika sineas menganggap calon penonton karyanya akan lebih menyukai visual kaya warna dengan aktor-aktris sedap dipandang mata, maka jadilah film sejarah sejenis Bumi Manusia. Tak peduli konten ceritanya mengandung kerusuhan sekalipun, kegentingan situasi atau ketegangan. Namun Aum! berkata lain.
Aum! bisa dikatakan menjadi oase di antara film-film rilisan semasa pandemi yang terus berkutat pada persoalan roman populer. Walau kadar keistimewaannya belumlah setimbang dengan The East sebagai sesama film sejarah. Jikapun ada kreasi konsep-konsep filmis lain, selalu bermasalah di bagian penceritaan. Kalau tidak, eksekusinya tak punya nilai lebih. Dalam Aum! pula beragam konsep pengemasan film banyak ditemukan saling bercampur. Penonton bisa menjumpai gaya visual khas found footage, adegan ala dokumenter, hingga segmen-segmen dengan unsur teatrikal yang kental. Termasuk pula visual bernuansa tahun-tahun transisi akhir 90-an ke awal 2000-an. Tak terkecuali untuk teknis editingnya. Bukan hanya menceritakan kisah tentang masa lalu, melainkan pula membawa kembali penonton ke pengalaman menontonnya.
Aum! juga dipenuhi ketidaknyamanan. Tidak nyaman oleh karakteristik para tokohnya yang sama-sama berkepala batu, pun berbagai konflik internal dan eksternal. Internal dalam tubuh kelompok perlawanan, dan eksternal dengan pemerintahan. Meski pada permulaan film akan terasa aneh saat mendengar gaya dialog dan sejumlah setting tempat yang dipakai. Memang agak membingungkan. Setelah Aum! menunjukkan satu rangkaian adegan panjang, terjadi satu kali lompatan alur mundur yang cukup besar menuju awal kisah, dan berjalan stabil dengan alur maju hingga film usai. Segmen opening yang terlampau panjang untuk sebuah kepura-puraan dalam pertunjukan.
Ada satu perkara lagi yang patut sekali dicermati, yakni fokus cerita Aum! yang nyaris terbelah dua. Lazimnya antara plot utama dan sampingan sudah barang tentu porsinya tak sama besar. Namun Aum! hampir saja memiliki dua plot yang sama besar, atau begitulah rasanya. Pertama ialah wujud perlawanan terhadap pemerintahan pada tahun ’98, sementara yang kedua adalah permasalahan seputar produksi film. Setidaknya Aum! berhasil mempertahankan situasinya yang berada di bibir jurang, karena cara perlawanan para tokoh terhadap pemerintahan dilakukan melalui pembuatan film sebagai medium untuk bersuara. Aum! hampir kehilangan sederet bentuk-bentuk ikonik sepanjang tahun ’98, kalau saja tak memasukkan semua itu ke sana.
Aum! bukanlah film tentang kisah seputar ‘98 belaka, melainkan juga membawa masuk penonton agar ikut merasakan atmosfer ketidaknyamanan dan ketegangannya. Tidak ada keindahan visual kaya warna dan aktor-aktris berkostum rapi yang sedap di mata. Begitu pula dengan barang-barang yang muncul di layar. Aum! setidaknya hadir sebagai contoh totalitas bila hendak menampilkan konsep yang berbeda di antara rilisan satu masa. Meski masih ada yang mengganjal di sejumlah bagian, tetapi penampilan Chicco dan Agnes yang sama-sama berkepala batu menutupi beberapa di antaranya.