Kisah drama keluarga dengan elemen musikal sebagai bagian dari nyawa cerita tidaklah sering muncul dalam perfilman Indonesia. Melalui arahan Guntur Soeharjanto, Backstage menjadi salah satu yang mengisi daftar film-film tersebut. Para penulis yang mengelola penceritaan film ini antara lain Monty Tiwa, Titien Wattimena, Vera Varidia, dan produser yang ikut campur tangan menulis juga, Robert Ronny. Film produksi Ideosource Entertainment, Paragon Pictures, dan Astro Shaw ini diperankan oleh Sissy Priscillia, Vanesha Prescilla, Karina Suwandhi, Achmad Megantara, Verdi Solaiman, Roy Sungkono, dan Aulia Sarah. Melihat ada nama produser di antara para penulis, sementara sang sutradara belum punya rekam jejak yang memukau, akan jadi seperti apa Backstage ini?

Sepasang kakak-adik Sandra (Sissy Priscillia) dan Elsa (Vanesha Prescilla) baru saja menjadi pengangguran tanpa pesangon, usai kafe tempat mereka bekerja gulung tikar karena sepi. Sedangkan ibu mereka (Karina Suwandhi) hanya memiliki usaha pembuatan siomai. Elsa yang mendambakan dunia akting mencoba casting namun gagal. Sementara Sandra menguatkannya untuk tidak menyerah dan terus mencoba. Suatu ketika Elsa menjumpai informasi audisi yang menarik sebagai pemeran penyanyi. Video audisi lantas dibuat dengan bantuan Sandra dan ibu mereka. Namun, dari sinilah akar dari rentetan panjang masalah mereka yang tak berkesudahan dimulai.

Apresiasi positif untuk crowd dan momen haru dalam klimaks Backstage. Jarang ada film-film drama keluarga berkonten musik yang dapat menghadirkan crowd penonton bersamaan dengan adegan panggungnya. Kerap kali sorak-sorai dari banyak penonton hadir secara berselang-seling dengan aksi di panggung. Satu contoh terakhir yang baru dua tahun lalu rilis, Bumi Itu Bulat. Ketidakmampuan menghadirkan kemeriahan dari penonton dan kemegahan yang serupa peristiwa aslinya menjadikan Backstage dapat mengungguli film tersebut, dalam aspek ini.

Salut pula untuk tim artistik Backstage, atas upaya mereka dalam menggawangi penataan dari setiap panggung. Terutama untuk panggung terakhir yang dengan dinamis mengikuti sekaligus mendukung kebutuhan cerita. Bentuk-bentuk yang digunakan, warna-warna yang ditunjukkan, benda-benda yang dihadirkan, dalam beberapa kesempatan memberi sumbangsih yang tak sedikit untuk aspek naratif.

Begitupun dengan momen haru dalam klimaksnya. Chemistry yang tak perlu dikoreksi lagi dari pasangan kakak-adik Sissy dan Vanesha. Keduanya hanya perlu membawa masuk relasi satu sama lain dari dunia nyata ke dalam film. Tidak terkecuali untuk adegan-adegan pertengkarannya. Sayang memang tampaknya Backstage bukanlah panggung untuk Karina. Perannya sebagai ibu dari kedua kakak-adik itu tak cukup vokal.

Baca Juga  Miracle in Cell No. 7

Ihwal momen haru tersebut, Backstage jelas-jelas mengarahkan berbagai konflik yang ada “hanya demi bisa” mencapai momen tersebut. Konflik-konfliknya diciptakan oleh penulis dengan cukup berbahaya dan berada di ujung jurang. Namun penyelesaian dari setiap masing-masing konflik tersebut nyatanya malah terlalu instan. Cenderung terkesan tak ingin repot-repot memikirkan jalan keluar lain bagi setiap masalah. Ada pula salah satu masalah yang tidak diselesaikan dengan cara yang masuk akal dalam membuka informasinya.

Pengelolaan masalah dan jalan keluar tersebut lantas menghasilkan jalinan konflik yang lemah, beberapa mengada-ada, lainnya berputar-putar tanpa ada penyelesaian yang betul-betul memadai. Kebanyakan ialah penyelesaian dengan cara-cara instan, atau mematahkan konflik tersebut begitu saja. Konflik lanjutannya pun pada dasarnya mengulangi kembali masalah-masalah sebelumnya. Jalan keluarnya pun masih tak jauh berbeda. Seakan konflik yang sebelumnya hilang entah ke mana. Terlalu nyaman di garis aman bagi penulis Backstage untuk tidak membuat penyelesaian konflik-konflik tersebut lewat cara yang lebih berani dan dramatis. Seolah dalam proses pembangunan dan pengembangan cerita tidak ada diskusi yang intens mengenai pengelolaan konflik-konflik tersebut.

Aspek suara juga patut disayangkan. Backstage menghadirkan seluruh nyanyiannya dengan lagu-lagu hasil rekaman (nondiegetic sound). Walhasil, tidak ada sensasi yang dapat dirasakan secara langsung dari suara asli Sissy saat ia sedang bernyanyi. Perbedaan dari suara hasil rekaman dan menyanyi langsung di lokasi (diegetic sound) lantas tidak dapat diketahui. Sementara topik asli dan palsu dalam bernyanyi menjadi perhatian yang serius di sepanjang kisah berjalan.

Backstage memang meriah nun megah dari segi aksi panggung, namun masih ada catatan merah pada pengelolaan konfliknya. Hanya demi meraih atensi besar untuk momen penuh haru pada bagian klimaks, jalinan masalah beserta solusinya tak hadir dengan kekuatan yang sepadan. Akibatnya, para tokohnya pun jadi tampak kebingungan sendiri dalam menyikapi masalah yang ada. Padahal ada Monty Tiwa dan Titien Wattimena, dua nama besar di antara para penulis Backstage. Tampaknya campur tangan sang produser yang juga ikut menulis, Robert Ronny, mengacak-acak kepenulisan film ini. Sebagaimana yang dialami pula oleh Losmen Bu Broto. Satu hal yang memang kerap kali sukar dihindari oleh sutradara maupun penulis di banyak film, ketika produser ikut-ikutan memasuki ranah kreatif.

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaDon’t Look Up
Artikel BerikutnyaSing 2
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.