Nama besar Benyamin Sueb a.k.a Pengki tidaklah main-main dalam dunia seni peran, terutama film komedi. Seniman legenda yang juga menggeluti bidang musik tersebut ‘dilayarkan’ kembali oleh Hanung Bramantyo melalui film arahannya berjudul Benyamin Biang Kerok 2. Melanjutkan Benyamin Biang Kerok sekaligus digarap oleh tim yang sama termasuk para penulisnya. Film ini meminjam sosok dan karakteristik sang tokoh Betawi ke dalam penceritaan bergenre komedi, aksi, kriminal, dibumbui lagu-lagu Betawi. Para pemeran dalam film produksi Falcon Pictures ini telah sangat akrab, baik di telinga para khalayak sinema era lama maupun remaja masa kini, baik penonton film maupun penikmat lawakan, antara lain Reza Rahadian, Delia Husein, Rano Karno, Adjis Doaibu, Aci Resti, Nurul Qomar, Lydia Kandou, dan Jaja Mihardja.

Aksi penyelamatan Aida (Delia Husein) oleh kelompok kampung Betawi yang berisi Pengki (Reza Rahadian), Somad (Adjis Doaibu), dan Achie (Aci Resti) berlanjut. Malahan kini masalah mereka semakin runyam karena tak cuma melibatkan kepentingan pribadi kontra bos mafia, tapi juga membawa-bawa masa lalu Sabeni (Rano Karno), ayah Pengki dan Mpok Nurlela (Lydia Kandou) mantan kekasih Sabeni, kala keduanya masih aktif sebagai murid suatu padepokan ilmu bela diri. Konflik pun berbuntut panjang, hingga membuka tabir baru mengenai peninggalan dari Babe Guru (Jaja Mihardja), guru Sabeni. Warisan yang mengantarkan Pengki dan kawan-kawan berburu harta karun.

Menonton film komedi dengan penyampaian seperti yang ada dalam Benyamin Biang Kerok 2 pada era sekarang rasanya seperti menonton srimulat. Ditambah lagi unsur komedi, lawakan, atau humor masih jadi salah satu genre tersulit karena begitu fleksibel sesuai latar belakang dan selera penikmatnya. Bila genre ini berdiri sendiri pun, akan kesulitan membuat penonton terpukau sampai-sampai mampu menjamin kualitas keseluruhan film. Ia menuntut kreativitas yang besar untuk menciptakan peristiwa atau trik-trik komedi baru, di samping harus tetap berpegang teguh pada aspek naratif atau penuturan cerita yang baik.

Benyamin Biang Kerok 2 ini memang lucu, tapi tidaklah sampai membikin terpingkal-pingkal. Gambling film komedi semacam Benyamin Biang Kerok 2 (termasuk Benyamin Biang Kerok) yang ala-ala futuristik masih saja terpaku pada pakem lama atau komedi panggung. Bisa dibilang, ini efek dari peminjaman nama Benyamin alias Pengki beserta karakteristiknya yang tak bisa dilepaskan dari latar belakang kedaerahan Jakarta. Mau tidak mau, tampaknya mustahil mengemas sosoknya yang sangat lekat dengan kesukuan Betawi dalam penceritaan yang benar-benar baru, termasuk cara-cara berkomedinya.

Baca Juga  Soegija, 100% Garin dan tidak 100% Soegija

Sebagian setting-nya pun tidaklah asing bagi siapa saja yang pernah menonton Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss part 2 (terutama film terdahulu yang menjadi acuannya). Apalagi dengan kelompok tiga orangnya. Setting hutan dan tempat tersembunyi yang masih dipakai, padahal kehidupan saat itu telah memasuki era dominasi teknologi benar-benar tanggung dan buang-buang konsep. Lagipula, mengapa harus ada hutan lagi hutan lagi? Agaknya pemanfaatan setting hutan, tempat terpencil atau tersembunyi sudah menjadi pilihan termudah bagi suatu film komedi (Kapal Goyang Kapten juga melakukan itu dengan pulau tak berpenghuninya), untuk menggali potensi-potensi kelucuan dari sana.

Perlu diakui, ada kerumitan problematika yang bagus dalam cerita film ini. Namun sangat disayangkan, karena pada saat yang sama kerumitan itu justru tak diimbangi dengan kausalitas penceritaan yang baik. Seperti berlalunya satu plot untuk beranjak ke plot baru, atau satu titik permasalahan ke permasalahan lain yang tak rapi. Ini berdampak pada ketertinggalan pemahamanan penonton saat yang tertampil di layar sudah berbeda. Memang sangat memungkinkan untuk memutar ulang tayangan bila ini terjadi, kalau film ini ditonton lewat platform digital. Tetapi jika saja kasus pemutarannya di layar bioskop, mau diapakan ketertinggalan pemahaman ini?

Selain itu, pengemasan rumit pun malah banyak sekali mengurangi konten komedi film ini. Rasanya justru konten kriminal dan aksilah yang kian mendominasi, beserta selipan lagu-lagu khas Betawi seperti film pertamanya. Pada akhirnya Benyamin Biang Kerok 2 (pun film bergenre sejenis) sulit berdiri sendiri manakala aspek penulisan komedinya sendiri kurang solid. Mereka kerapkali mencampurkan ceritanya agar mengandung unsur-unsur lain juga. Meskipun dengan penulisan yang solid pun kadang masih dirasa perlu memasukkan genre lain. Jumlah genre atau unsur lain tersebut bisa naik berlipat-lipat, saat ide film yang akan digarap menjadi film komedi tak cukup memuaskan bila hanya diisi oleh kelucuan belaka. Sebagaimana Benyamin Biang Kerok 2 ini.

Film komedi yang dibuat hanya berdasarkan seorang tokoh tertentu seperti Benyamin Biang Kerok 2 (juga yang pertama), ataupun merangkum beragam film terdahulu seperti Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss part 1 dan 2 tak mungkin membebaskan diri dari kesan nostalgia. Kendati tanpa embel-embel reboot atau remake sekalipun, boleh jadi memperbesar risikonya. Bisa saja akan ada banyak pemakluman, manakala kelucuan orang-orang yang memerankan seorang legenda tak melebihi atau sekadar menyamai sosok aslinya. Namun, apakah itu memang layak dimaklumi?

PENILAIAN KAMI
Overall
65 %
Artikel SebelumnyaHappiest Season
Artikel BerikutnyaThe Beast
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.