Black Widow (2021)
134 min|Action, Adventure, Sci-Fi|09 Jul 2021
6.6Rating: 6.6 / 10 from 436,473 usersMetascore: 68
Natasha Romanoff confronts the darker parts of her ledger when a dangerous conspiracy with ties to her past arises.

Black Widow adalah film ke-24 dari Marvel Cinematic Universe (MCU) yang merupakan film solo dari sosok superhero ikonik tertua di Avengers. Seperti kita tahu, Black Widow seharusnya dirilis musim panas tahun lalu, dan rupanya penantian setahun lebih terbayar sudah. Widow digarap oleh sineas perempuan asal Australia, Cate Shortland. Selain sang bintang, Scarlett Johannson, film ini dibintangi pula nama-nama besar, seperti Rachel Weisz, David Harbour, Florence Pugh, dan Olga Kurylenko. Film berbujet USD 200 juta ini dirilis teater juga bersamaan dengan platform Disney + premium. Sayangnya, karena situasi pandemi yang memanas, jaringan bioskop lokal ditutup sementara sehingga kita tidak bisa menontonnya di layar lebar.

Tentu tak berharap banyak, setelah dua masterpiece MCU, Infinity War dan Endgame, apa yang bisa kita harapkan dari film solo sosok Black Widow? Toh, dia juga telah tewas dalam Endgame sehingga terlihat film ini hanyalah sebagai tribute terakhir (baca: formalitas) bagi karakter besar ini. Ternyata opini saya salah besar.

Satu hal yang mengejutkan adalah setting cerita dalam linimasa MCU. Saya berpikir plotnya bakal dimulai jauh sebelum sosok ini menjadi seorang Black Widow. Ya, ada kilasan plot yang menyajikan ini sebagai latar cerita, namun inti kisah secara keseluruhan terjadi sesaat setelah momen peristiwa dalam Captain America: Civil War. Pada momen ini, sosok Black Widow sudah menjadi bagian penting dari Avengers dan punya pengalaman bertempur luar biasa dalam peristiwa di New York, Sokovia, dan tentu saja pertarungan antara saudara di Bandara Leipzig. Intinya, kita sudah tahu benar karakter ini luar dalam, serta kemampuan fisiknya.

Natasha Romanoff (Johansson) kini harus berkolaborasi dengan mantan “keluarganya” untuk melawan komplotan Red Room. Natasha terpaksa harus berhadapan dengan masa lalunya, bertemu sang adik, Yelena (Pugh), ibu, Melina (Weisz), dan ayahnya Alexei (Harbour) yang semuanya juga merupakan bagian dari Red Room. Sang bos jahat, Dreykov memiliki alat serta sistem yang mampu memanipulasi otak ratusan “Black Widow” yang direkrutnya untuk menguasai dunia.

Naskahnya dibuat begitu rapi dan detil mengikuti kontinuiti plot besar MCU. Tentu saja, bagi penonton yang tidak mengikuti seri ini, sudah jelas bakal kehilangan arah. Penulis naskah begitu cerdas mencari celah cerita di antara peristiwa besar dalam MCU sehingga momen plotnya juga tidak memungkinkan sosok superhero lainnya untuk muncul membantu Romanoff.  Agak janggal memang, bagaimana Avengers maupun Wakanda, dengan kemampuan teknologinya tidak mampu melacak “markas besar” Red Room di ruang terbuka semacam itu. Ya, okelah, kita bicara Black Widow bukan Red Room.

Baca Juga  Poltergeist

Dua hal, sungguh di luar ekspektasi. Satu adalah sisi “keluarga” Natasha yang ternyata memiliki ikatan chemistry sangat kuat di antara mereka. Adegan opening mengambil peran penting untuk membangun pondasi ikatan di antara mereka dalam plotnya. Satu adegan meja makan ketika mereka berempat duduk, rasanya adalah adegan paling emosional dan hangat dari semua adegan seri MCU yang pernah ada. Chemistry di antara mereka berempat sungguh luar biasa. Kita tahu melalui ekspresi, mereka sangat peduli dan menyayangi satu sama lain, walau dialog berkata sebaliknya. Baik Weisz, Pugh, dan Harbour bermain luar biasa dalam perannya untuk mendukung sosok Nastasha yang memang kita sudah pahami benar. Untuk Johansson, rasanya ini adalah perannya sebagai Natasha Romanoff yang paling emosional, selain adegan memilukan di Endgame. Mereka berempat memberikan sisi kehangatan unik yang sebelumnya tidak pernah kita lihat dalam seri MCU.

Dua adalah sisi humor. Tak diduga sama sekali, selipan humornya, rasanya adalah yang terbaik dibandingkan seri MCU lainnya. Sosok Natasha yang dalam MCU memang sudah menjadi bagian besar dari Avengers tentu menarik perhatian semua orang di bumi, tidak terkecuali mantan keluarganya. Natasha menjadi bulan-bulanan dari keluarganya, khususnya sang adik. Yelena berkelakar hingga pose superhero yang pasti bakal membuat penonton tertawa riuh jika menonton di bioskop. Lagi-lagi, adegan meja makan memberikan satu humor terbaik sepanjang filmnya yang terlontar dari sang ibu. Betul-betul tidak terbayang seperti apa respon penonton jika menontonnya di bioskop. Jarang sekali saya menonton melihat adegan sederhana (meja makan) yang mampu memadukan sisi emosi, kesedihan, kegembiraan, memori, hingga humor dalam momen yang bersamaan. What a scene!

Black Widow adalah film solo MCU yang nyaris sempurna, tidak hanya aksi, namun yang mengejutkan adalah memiliki hati dan kehangatan, serta sisi humor terbaik dari semua seri MCU. Untuk aksi dan pencapaian visualnya, saya pikir sudah tak perlu komentar lagi. Demikian menghibur dan lagi-lagi ditambah selipan humor yang berkelas. Black Widow jelas masih menyisakan cerita untuk ke depannya. Sosok Yelena menggantikan Romanoff? Bisa jadi, dan sosoknya memang amat pantas menggantikan Romanoff. Black Widow membuktikan jika MCU masih terdepan dan konsisten dalam menjaga kualitas naskahnya melalui formula segar, walau sudah ada puluhan film di belakangnya. Kita lihat, bagaimana puluhan sosok Avenger lainnya beraksi dalam seri MCU berikutnya. Sejauh ini saya masih belum lelah, dan menunggu sampai kapan seri ini mampu bertahan menjaga kualitasnya.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaThe Tides
Artikel BerikutnyaFear Street Part Two: 1978
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.