Apa yang akan kamu pertaruhkan pada sebuah resepsi pernikahan yang berlangsung dalam sehari untuk seumur hidup? Momen apa saja yang ada di dalamnya? Pencapaian seperti apa yang dianggap penting dalam sebuah acara resepsi pernikahan? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang coba dijawab oleh sang sineas spesialis drama, Andibachtiar Yusuf, bersama kedua penulisnya, Lucky Kuswandi dan Fai Tirta dalam Bridezilla. Sebelumnya, Andi Bachtiar Yusuf dikenal pula melalui Pariban: Idola dari Tanah Jawa, Love for Sale 2, dan terutama yang terakhir ini berhasil masuk nominasi Skenario Asli Terbaik serta penghargaan Pemeran Utama Pria Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2018. Melalui Visinema Pictures, Bridezilla menghadirkan sejumlah bintang, di antaranya Jessica Mila, Rio Dewanto, Sheila Dara Aisha, Rafael Landry Tanubrata, dan terutama keterlibatan Widyawati yang mendapat penghargaan Pencapaian Seumur Hidup juga dalam FFI 2018.
Bridezilla mengisahkan drama pernikahan impian Dara, owner sebuah wedding organizer yang tengah mengalami kejatuhan akibat kesalahan kecil yang terjadi pada resepsi pernikahan rancangan timnya. Di satu sisi, ia harus bangkit dari keterpurukan demi menyelamatkan nasib perusahaannya sekaligus berupaya meraih penghargaan Wedding of The Year dari sebuah media cetak bergengsi. Namun di sisi lain, ia pun tidak mau mengesampingkan orang-orang terdekatnya demi mencapainya. Gagasan untuk menjadikan pernikahannya sendiri dengan calon suaminya Alvin, sebagai “alat” untuk meraih penghargaan pun membuahkan kekecewaan dari orang-orang terdekatnya, bahkan pasangannya sendiri. Sebuah dilema besar bagi Dara menjelang pernikahannya sendiri untuk memutuskan mana yang lebih diprioritaskan dalam satu momen penting dalam hidupnya.
Istilah Bridezilla sendiri merupakan suatu perilaku dari calon pasangan pengantin yang timbul ketika mengurus pesta pernikahannya. Perilaku tersebut timbul biasanya karena mereka menghadapi tekanan dan masalah dalam proses pelaksanaan pernikahan. Sindrom Bridezilla kebanyakan dialami oleh calon pengantin perempuan. Bridezilla pun sebenarnya telah banyak diangkat oleh film maupun serial TV luar.
Alih-alih sineas perempuan, pertanyaan-pertanyaan seputar pernikahan di atas, kini ingin dijawab oleh sineas laki-laki. Tentu ini merupakan keunikan filmnya, di mana sang sineas berupaya mewujudkan sebuah impian seorang perempuan dalam satu momen resepsi pernikahan sesuai interpretasinya. Seperti karya sineas tahun lalu, Love for Sale, ciri khasnya memang berupa drama percintaan. Bridezilla pun mengemas topik yang ingin disampaikan melalui konflik-konflik dramatis yang bisa mengalirkan air mata. Memang terasa agak lebay dan sulit dipercaya, apakah intensitas drama di balik sebuah resepsi pernikahan memang setinggi dan sekompleks itu.
Melihat film ini mengingatkan banyak pada Devil Wears Prada walau kisah film ini lebih terfokus pada masalah pernikahan. Kisahnya sudah dibangun dengan rapi sejak awal melalui konflik pembuka yang memberikan cukup latar cerita bagi pengembangan cerita berikutnya. Alur plotnya dengan segala konflik dan keriwehannya menjelang pernikahan mampu dengan baik membawa sang tokoh untuk mengalami dilema di antara dirinya, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Walau tentu arah cerita sudah terbaca, namun kisahnya cukup mengharukan.
Dalam hal akting, setiap personal dalam film ini dapat dikatakan mampu membawakan peran masing-masing menjadi lebih hidup dan turut mendramatisir momen yang ada. Ikatan relasi antara Jessica Mila (Dara) dan Rio Dewanto ( Alvin) terasa begitu kuat menciptakan aksi-reaksi yang sepadan. Umpan yang diberikan oleh salah satunya dan timbal balik yang diberikan seimbang. Satu kualitas penampilan yang tidak main-main ditunjukkan dari seorang aktris senior kita, Widyawati untuk memerankan sosok pemimpin media cetak dengan sisi prestisius teramat tinggi yang “nyaris” tidak dapat ditawar dan tak mengenal toleransi.
Sebagaimana konsep dari sebuah drama popular, film semacam ini tentu saja memiliki kekuatan pada kuantitas dialognya. Bukan keheningan (minim dialog) dengan banyak mengeksplor aksi-reaksi dalam ekspresi maupun tindakan, seperti dalam Love for Sale. Bridezilla meramaikan cerita melalui taburan dialognya, bahkan saat momen terendah sekali pun. Bisa saja ini dimaksudkan untuk menggambarkan di balik sebuah pesta resepsi pernikahan itu bertele-tele dan riweh. Namun, satu dialog terasa inkonsisten (berlebihan) dengan tone keseluruhan ketika satu dialog berapi-api dari satu tokoh yang mempertanyakan penggunaan teknologi digital dan produk cetak dalam ajang pernikahan.
Dengan keunikan cerita serta penampilan para pemainnya, Bridezilla mampu menyajikan sebuah drama komedi menghibur yang dikemas dalam suatu momen menjelang pernikahan. Jika diresapi dan diikuti dengan perhatian dan sepenuh hati, Bridezilla berhasil mencapai standar yang mengharukan bagi penontonnya. Pada akhirnya, Bridezilla pun bersepaham dengan anggapan bahwa nilai penting sebuah pernikahan terletak pada apa yang ingin dicapai dan bagaimana cara meraihnya tanpa melukai orang-orang terdekat.
Miftachul Arifin – Mahasiswa Magang