“Karma is a b*cth!”

Bullet Train adalah film aksi komedi arahan David Leitch yang kita kenal melalui film full action, John Wick serta Atomic Blonde. Naskah film ini diadaptasi dari novel Jepang berjudul Maria Beetle (aka Bullet Train) karya Kōtarō Isaka. Film ini dibintangi sederetan bintang-bintang kenamaan, Brad Pitt, Joey King, Aaron Taylor Johnson, Brian Tyree Henry, Hiroyuki Sanada, Michael Shannon, serta dua cameo Channing Tatum dan Sandra Bullock. Berbekal aksi dalam setting terbatas dan sederetan bintang besar di atas, akankah memberikan satu tontonan yang menghibur?

Pembunuh bayaran profesional berinisial Ladybug (Pitt) mendapat tugas sederhana, yakni mencari sebuah koper berinisial khusus di sebuah kereta api peluru (Tokyo-Kyoto) dan keluar pada stasiun berikutnya. Dalam misinya ini, Ladybug bertemu dengan beberapa rekan satu profesinya yang memiliki tujuan yang berbeda, yakni The Wolf, Lemon (Henry) & Tangerine (Johnson), The Prince (King) serta The Hornet. Misi mereka rupanya saling bersinggungan satu sama lain sehingga bentrok pun tak terhindarkan. Mereka tak menyadari bahwa otak di balik semua ini adalah seorang gangster Rusia, White Death (Shannon) yang tengah diincar oleh The Elder (Sanada) yang ingin membalas dendam kematian ayahnya.

Rumit? Jika kamu melewatkan sedikit saja informasi cerita, maka semua akan terlewat. Namun tak perlu khawatir karena segala misteri dan rahasia menjadi tak penting karena sisi humor dan polah konyol tiap karakternya adalah yang menjadi menu utamanya. Sosok Ladybug, Lemon, dan Tangerine menjadi bintang utama yang mencuri perhatian sepanjang film. Lho bukankah ini film aksi? Aksi hanyalah katalis untuk menjual leluconnya semata. Nyawa seperti tidak ada harganya dalam plotnya dan sisi ketegangan pun nyaris tak bisa kita rasakan. Jika kisahnya disajikan lebih serius, rasanya film ini bakal memiliki atmosfir yang berbeda.

Baca Juga  Ruby Gillman, Teenage Kraken

Hal yang ditawarkan Bullet Train, setting terbatas, waktu menerus, sisi komedi dan penampilan sederetan kasting bintangnya, tak lebih. Plot film ini layaknya Lock, Stock and Two Smoking Barrels (Guy Ritchie) pada setting terbatas dalam kereta yang melaju dalam kecepatan tinggi. Kejutan demi kejutan disajikan silih berganti dengan segala aksi yang serba kebetulan. Leitch memang konsisten dengan gayanya yang memang fokus ke aksi ketimbang sisi drama. Jika aksi dan humor yang kamu harapkan, film ini adalah tontonan wajib. Bagi saya, Bullet Train hanya melintas dengan cepat tanpa ada sesuatu yang membekas.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaKung-Fu Zohra
Artikel BerikutnyaJo Sahabat Sejati
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.