Chaos Walking adalah film fiksi ilmiah arahan Doug Liman yang sebelumnya menggarap film-film sci-fi unik, seperti Jumper dan Edge of Tomorrow. Film ini diadaptasi dari novel sci-fi trilogi berjudul sama. Film berbujet USD 100 juta ini dibintangi oleh bintang-bintang top, Tom Holland, Daisy Ridley, Mads Mikkelsen, Nick Jonas, hingga David Oyelowo. Dengan bermodal sang sineas, kasting kelas satu, hingga bujetnya, tentu saja kita memiliki ekspektasi tinggi terhadap filmnya.
Ribuan tahun ke depan, dikisahkan umat manusia telah mencari habitat baru untuk menggantikan bumi. Planet yang distilahkan New World telah dihuni oleh umat manusia sejak gelombang pertama beberapa puluh tahun lalu. Dikisahkan, planet ini rupanya memiliki efek pada manusia, khususnya laki-laki, di mana pikiran mereka akan mampu dibaca oleh orang lain, yang diistilahkan “noise”. Todd (Holland) adalah penghuni termuda di koloninya yang tak ada satu pun perempuan tersisa di sana. Kepala koloni, Prentiss (Mikkelsen) memiliki kemampuan untuk mengontrol pikiran nyaris semua anggota koloninya. Suatu ketika, pesawat induk berasal dari bumi mengirim tim kecil untuk mengetahui keberadaan manusia di planet ini. Sayangnya, akibat satu kecelakaan, tim ini hanya menyisakan Viola (Ridley) yang justru diburu oleh koloni Prentiss karena dianggap mengancam keberadaan mereka.
Dari ringkasan plotnya telah tampak kisahnya yang agak membingungkan. Satu hal yang sulit dipahami adalah motif cerita. Ada satu latar cerita yang tidak banyak dijelaskan di sini, yakni latar sosok Prentiss yang sebenarnya yang menjadi kunci utama cerita. Apakah film mau bicara soal superioritas pria? Uh, ini tentu omong kosong dan satu alasan yang konyol. Kaburnya eksposisi membuat sepanjang plotnya menjadi lemah dan kita tak mampu memiliki ikatan banyak terhadap semua karakter yang ada. Jika memang ini dimaksudkan sebagai trilogi, saya pikir ini adalah awal yang sangat buruk.
Tidak hanya premisnya yang lemah, pendekatan estetiknya yang dimaksudkan sebagai kekuatan kisahnya justru adalah titik kelemahan terbesar filmnya. Efek suara “the noise” justru menganggu dan sama sekali tak membuat nyaman dalam menonton. Efek ini membuat lelah untuk mengikuti kisahnya karena seringkali hanya diulang-ulang serta momennya pun sama. Ini berbeda dengan teknik mirip “monolog interior” yang begitu intensif digunakan dalam Dune (1984) yang memang diperuntukkan untuk penonton. Akibat ini semua, para pemain kelas satunya tidak ada satu pun yang mampu memberikan penampilan yang berkesan.
Melalui premis dan kisah yang konyol, Chaos Walking diperburuk oleh penggunaan pendekatan estetik yang tidak nyaman ketimbang untuk melayani plotnya. Arah plotnya sama mudahnya kita membaca pikiran para karakter dalam film ini. Film ini juga membuang talenta para kasting besar dan tentu saja bujetnya. Chaos Walking bisa jadi adalah salah satu film tergagal, baik komersil maupun kritik selama era pandemi. Untuk sang sineas, sejauh ini Chaos Walking adalah karya terburuknya.
Stay safe and Healthy!