Chaos Walking (2021)
109 min|Action, Adventure, Fantasy|05 Mar 2021
5.7Rating: 5.7 / 10 from 57,086 usersMetascore: 38
Two unlikely companions embark on a perilous adventure through the badlands of an unexplored planet as they try to escape a dangerous and disorienting reality where all thoughts are seen and heard by everyone.

Chaos Walking adalah film fiksi ilmiah arahan Doug Liman yang sebelumnya menggarap film-film sci-fi unik, seperti Jumper dan Edge of Tomorrow. Film ini diadaptasi dari novel sci-fi trilogi berjudul sama. Film berbujet USD 100 juta ini dibintangi oleh bintang-bintang top, Tom Holland, Daisy Ridley, Mads Mikkelsen, Nick Jonas, hingga David Oyelowo. Dengan bermodal sang sineas, kasting kelas satu, hingga bujetnya, tentu saja kita memiliki ekspektasi tinggi terhadap filmnya.

Ribuan tahun ke depan, dikisahkan umat manusia telah mencari habitat baru untuk menggantikan bumi. Planet yang distilahkan New World telah dihuni oleh umat manusia sejak gelombang pertama beberapa puluh tahun lalu. Dikisahkan, planet ini rupanya memiliki efek pada manusia, khususnya laki-laki, di mana pikiran mereka akan mampu dibaca oleh orang lain, yang diistilahkan “noise”. Todd (Holland) adalah penghuni termuda di koloninya yang tak ada satu pun perempuan tersisa di sana. Kepala koloni, Prentiss (Mikkelsen) memiliki kemampuan untuk mengontrol pikiran nyaris semua anggota koloninya. Suatu ketika, pesawat induk berasal dari bumi mengirim tim kecil untuk mengetahui keberadaan manusia di planet ini. Sayangnya, akibat satu kecelakaan, tim ini hanya menyisakan Viola (Ridley) yang justru diburu oleh koloni Prentiss karena dianggap mengancam keberadaan mereka.

Baca Juga  Spider-Man: Homecoming

Dari ringkasan plotnya telah tampak kisahnya yang agak membingungkan. Satu hal yang sulit dipahami adalah motif cerita. Ada satu latar cerita yang tidak banyak dijelaskan di sini, yakni latar sosok Prentiss yang sebenarnya yang menjadi kunci utama cerita. Apakah film mau bicara soal superioritas pria? Uh, ini tentu omong kosong dan satu alasan yang konyol. Kaburnya eksposisi membuat sepanjang plotnya menjadi lemah dan kita tak mampu memiliki ikatan banyak terhadap semua karakter yang ada. Jika memang ini dimaksudkan sebagai trilogi, saya pikir ini adalah awal yang sangat buruk.

Tidak hanya premisnya yang lemah, pendekatan estetiknya yang dimaksudkan sebagai kekuatan kisahnya justru adalah titik kelemahan terbesar filmnya. Efek suara “the noise” justru menganggu dan sama sekali tak membuat nyaman dalam menonton. Efek ini membuat lelah untuk mengikuti kisahnya karena seringkali hanya diulang-ulang serta momennya pun sama. Ini berbeda dengan teknik mirip “monolog interior” yang begitu intensif digunakan dalam Dune (1984) yang memang diperuntukkan untuk penonton. Akibat ini semua, para pemain kelas satunya tidak ada satu pun yang mampu memberikan penampilan yang berkesan.

Melalui premis dan kisah yang konyol, Chaos Walking diperburuk oleh penggunaan pendekatan estetik yang tidak nyaman ketimbang untuk melayani plotnya. Arah plotnya sama mudahnya kita membaca pikiran para karakter dalam film ini. Film ini juga membuang talenta para kasting besar dan tentu saja bujetnya. Chaos Walking bisa jadi adalah salah satu film tergagal, baik komersil maupun kritik selama era pandemi. Untuk sang sineas, sejauh ini Chaos Walking adalah karya terburuknya.

Stay safe and Healthy!

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaAsih 2
Artikel BerikutnyaHappy Cleaners
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.