CODA adalah film drama keluarga arahan Sian Heder yang diadaptasi dari film Perancis La famille Béllier (2014). Film rilisan Apple TV + ini dibintangi oleh Emilia Jones, Marlee Matlin, Troy Katsur,  Daniel Durant, serta Eugenio Derbez. Keunikan film ini adalah kisahnya yang mengetengahkan keluarga tuna rungu yang lebih dari separuh durasi filmnya menggunakan bahasa isyarat. Uniknya pula, para pemain anggota keluarga yang tuna rungu, mereka semua adalah tuna rungu sungguhan di kehidupan nyata. Matlin sendiri adalah aktris senior yang pernah meraih Piala Oscar melalui film Children of a Lesser God (1986).

Keluarga Rossi adalah keluarga tuna rungu yang mencari nafkah dengan melaut mencari ikan di pantai kota Glouchester, Massachusetts, AS. Ruby (Jones) adalah satu-satunya dalam keluarganya yang terlahir normal sehingga ia menjadi tumpuan keluarganya dalam berkomunikasi dengan dunia luar untuk nyaris semua hal. Ruby yang memiliki suara emas memilih untuk bergabung paduan suara di sekolahnya. Dalam perkembangan, Ruby mulai kewalahan untuk membagi waktu antara membantu keluarga dengan menggapai impiannya.

Wow, tak disangka-sangka CODA sungguh mengejutkan dalam banyak sisi. Sebentar, CODA? CODA adalah singkatan dari Child of Deaf Adults. Penjelasan mudahnya adalah sosok Ruby, yakni anggota keluarga yang dilahirkan atau dibesarkan oleh orang tua tuna rungu. Posisi Ruby jelas membuat kisahnya berjalan sangat menarik, karena satu-satunya cara berkomunikasi dengan keluarganya adalah menggunakan bahasa isyarat. Satu segmen pembuka di awal menyajikan satu adegan di rumah, yang jarang sekali kita temui karena mau tak mau, kita mesti membaca subtitel. Satu hal yang banyak kita lakukan sepanjang filmnya. Terasa melelahkan? Jauh dari ini. Kisahnya menyajikan salah satu kisah drama terbaik dalam beberapa dekade terakhir.

Jujur, saya belum melihat film aslinya, La famille BĂ©llier yang konon pula, dua film ini memiliki kemiripan kisah dengan film produksi Jerman, Beyond Silent (1996). Lantas, apakah film ini lalu tidak bisa dikatakan orisinal, ya, bisa jadi, namun tidak lantas pula film ini tidak bisa dibilang istimewa.

CODA memiliki kisah sederhana yang hebatnya mampu menampilkan banyak dimensi cerita. Tidak hanya melulu masalah keluarga (drama), namun juga roman remaja, komedi, serta bahkan “musikal”. Kisah filmnya yang dituturkan secara ringan dan menyenangkan melalui perspektif Ruby, menjadikan segala hal dalam plotnya terasa menyegarkan. Misal saja, sang ayah dan ibu yang diperankan dengan brilian oleh Katsur dan Matlin, sama sekali tidak menggambarkan bahwa keduanya “cacat”, namun justru adalah betapa hangat hubungan keduanya melalui candaan saru mereka. Dijamin, candaan mereka berdua bakal membuatmu terpingkal-pingkal.

Posisi Ruby yang unik (CODA) juga menghasilkan satu bentuk komunikasi yang rasanya belum pernah saya lihat dalam medium film. Ketika Bernardo bertanya, apa yang ia rasakan ketika menyanyi? Ruby tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata, namun justru dengan bahasa isyarat. Bahasa yang ia akrabi dengan sepenuh hati sejak ia lahir. Dengan konflik yang beragam dan kompleks, kisahnya juga tidak lantas bergegas, namun justru sabar membangun intensitas dramatiknya sejalan dengan status emosional Ruby. Tidak bakal ada orang (termasuk kita) yang paham dengan situasi yang dihadapi Ruby, selain ia sendiri, namun naskahnya dengan sangat brilian mampu menyajikan ini dengan sempurna. Simpati dan empati kita pada sosok Ruby berjalan bersamaan dengan konflik batin yang ia hadapi, sehingga kita akhirnya menyadari benar bahwa remaja ini telah dewasa sejak ia kecil.

Baca Juga  Wyrmwood: Apocalypse

Satu lagi kekuatan filmnya adalah tentu saja kastingnya. Rasanya, kuartet ini adalah salah satu yang terbaik yang pernah saya tonton. Chemistry sang ayah dengan dua putra putrinya sungguh luar biasa kuat. Entah mengapa, saya merasakan bahasa isyarat jauh lebih membuat segalanya menjadi lebih masuk ke hati, ketimbang terucap verbal. Satu adegan pungkas, ketika Ruby menyanyi sembari menggunakan bahasa isyarat, rasanya mustahil bagi kita yang menonton tidak tersentuh dengan ini. Tak ada komentar untuk kasting utamanya, mereka semua layak mendapat Oscar. Bicara chemistry lain, saya amat terkesan dengan satu adegan ketika Ruby dan Miles bernyanyi saling membelakangi. Catat, Emilia Jones adalah satu aktris muda berbakat yang benar-benar patut dicermati.

Tidak hanya naskah dan akting, pendekatan estetiknya pun terbilang luar biasa. Sekali lagi, posisi tokoh-tokoh utama yang sebagian besar tuna rungu menyebabkan beberapa kali pendekatan teknis berbeda dalam banyak adegannya, khususnya aspek suara. Satu adegan langka yang paling istimewa adalah ketika Ruby dan Miles menyanyi di panggung. Bukan suara merdu mereka yang kita dengar, namun justru suara di-mute oleh sang sineas. Dalam Band of Outsiders, sineas Perancis ikonik, Jean Luc Goddard menggunakan teknik ini untuk bermain-main dengan medium film. Namun dalam CODA, sang sineas mampu menggunakan melampaui batasan estetiknya dengan melarutkannya begitu dalam dengan adegannya. Untuk pertama kalinya, dalam film ini, kita benar-benar tahu bagaimana rasanya menjadi tuna rungu, dan bagaimana ibu, ayah dan kakaknya, mencoba mencerna apa yang terjadi dengan melihat ekspresi penonton di sekitar mereka yang terkesima dengan suara emas putri mereka. Huff.. Speechless.

CODA menampilkan kisah drama unik yang amat menyentuh dengan kasting, naskah, pencapaian estetik yang sempurna, dan di atas segalanya memiliki hati dan kehangatan keluarga. CODA adalah salah satu film terbaik dalam beberapa dekade terakhir, terlepas film ini adalah remake. CODA adalah satu contoh bagaimana secara estetik, film dapat mengembangkan mediumnya sekaligus mengirimkan pesan yang teramat dalam melalui muatan narasinya. CODA adalah sebuah film yang amat menginspirasi dan wajib ditonton semua orang. Saya berharap film ini dapat bersaing dalam ajang Academy Awards tahun depan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaBeckett
Artikel BerikutnyaSelesai
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

2 TANGGAPAN

    • Terima kasih. Segala aspek yang diperlukan dalam tema drama CODA dikerjakan dengan istimewa, ketika ceritanya sendiri punya keunikan.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.